Jumat, 25 September 2015

Tokoh Filsuf Islam


Al-Ghozali terkenal dengan paham yang sangat melawan segala sesuatu yang berbau syirik atau bertentangan dengan Islam, juga mengkritik keras pemahaman yang tidak sesuai dengan Qur`an dan Hadits, serta ajarannyapun banyak diterapkan dan dipahami oleh manusia.
1.      Imam al-Ghazali
Beliau dilahirkan pada tahun 450 Hijrah bersamaan dengan tahun 1058 Masehi di bandat Thus, Khurasan (Iran). Beliau berkun`yah Abu Hamid karena salah seorang anaknya bernama Hamid. Gelar beliau al-Ghazali ath-Thusi berkaitan dengan gelar ayahnya yang bekerja sebagai pemintal bulu kambing dan tempat kelahirannya yaitu Ghazalah di Bandar Thus, Khurasan. Sedangkan gelar asy-Syafi’i menunjukkan bahwa beliau bermazhab Syafi’i. Beliau berasal dari keluarga yang miskin. Ayahnya mempunyai cita-cita yang tinggi yaitu ingin anaknya menjadi orang alim dan saleh. Imam Al-Ghazali adalah seorang ulama, ahli fikir, ahli filsafat Islam yang terkemuka yang banyak memberi sumbangan bagi perkembangan kemajuan manusia. Beliau pernah memegang jawatan sebagai Naib Kanselor di Madrasah Nizhamiyah, pusat pengajian tinggi di Baghdad. Imam Al-Ghazali meninggal dunia pada 4 Jumadil Akhir tahun 505 Hijriah bersamaan dengan tahun 1111 Masehi di Thus. Jenazahnya dikebumikan di tempat kelahirannya.[3]
Imam Ghozali berpendapat bahwasannya  barang siapa yang mengetahui dirinya, maka ia mengetahui Tuhannya. Bukan berarti mengetahui Tuhannya disini adalah mengetahui bentuk secara harfiah dari sosok Tuhan tersebut, tetapi lebih kepada kehadiran rasa ihsan dalam kesehariannya, yaitu dimanapun dia berada ia merasa melihat Tuhannya, atau diamanapun ia berada ia merasa dilihat oleh Tuhannya.
Imam Al Ghozali tentang Eksistensi Allah Swt atau wujudnya Zat Allah Swt dengan methodologi filsafat “tidak ada sesuatupun yang ada kecuali ada yang mengadakan”[5]. Hasyimsyah Nasution berkata dalam bukunya Filsafat Islam, bahwa Al-Ghozali tidak menyetujui pendapat yang menyebutkan bahwasannya Tuhan itu wujudnya sederhana, wujud murni, dan tanpa esensi.[6]
Jadi, Al-Ghozali berpikir bahwasannya Tuhan itu wajibul Wujud, yang mana akan dapat kita rasakan kehadirannya jika kita benar-benar dapat mengetahui sebenarnya /hakikat dari diri kita. Bukan berarti menjadi satu, tetapi lebih menghadirkan sifat-sifat Tuhan, atau berusaha  menerapkan sifat-sifat Tuhan kedalam diri kita. Misalnya, Ar-Rohman, Ar-Rohiim, berarti kita berusaha menjadi penyayang, sehingga dengan cara seperti ini kita mendekatkan diri kepada Sang Kholiq, dan merasakan Sifat-Nya ada dalam diri kita.
Mencapai wujud Allah bukan diartikan AL-Ghozali sebagai penyamaan dengan Allah atau Ittishol atau peleburan diri dengannya (Hulul) atau percampuran hakikat kemanusiaan (Nasut) dengan Hakikat Ilahiyah (Lahut) semuanya ini adalah paham yang sesat. [7]
Peleburan diri Tuhan dengan Hambanya adalah suatu yang mustahil terjadi, karena Tuhan bukanlah manusia itu sendiri, dan jika Tuhan dapat melebur bersama manusia, maka, berapa banyak Tuhan  yang akan ada di dunia ini?. Jika memang wujud Tuhan dapat hadir dalam diri manusia, untuk apalagi adanya sholat, haji, jauh-jauh ke Makkah, sedangkan wujudnya ada di dekat manusia itu sendiri, cukuplah datang kerumahnya, maka sudah hajilah kita. Juga dapat kita berfikir tentang penciptaan, jika sesuatu yang diciptakan itu dapat melebur menjadi satu terhadap ciptaannya, maka apa bedanya dia dengan ciptaannya?. Atau dengan kata lain, jika kita membuat kursi, tidak mungkin kita melebur menjadi satu dengan kursi tersebut.
Bahkan yang lebih benar adalah Wahdatusy Syuhud (Kesatuan Penyaksian). Sebab yang manunggal itu adalah penyaksiannya, bukan DzatNya dengan dzat makhluk. Mencapai Allah itu mampu menumbuhkan sifat-sifat yang mirip dengan sifat-sifat Allah yang ada didalam dirinya. [8]
Diketahui eksistensinya dengan akal, terlihat zat-Nya dengan matahati sebagai kenikmatan dari-Nya, kasih sayang bagi orang-orang yang berbuat baik di negeri keabadian, dan penyempuurnaan dari-Nya bagi kenikmatan yang memandangNya yang Mulia.
Adapun corak tasawwuf yang dihadirkan oleh Al-Ghazali adalah Tasawwuf sunni, yaitu pemikiran dan ajaran Tasawuf yang lebih mengedepankan dhohir dari al-Qur’an dan Hadist dengan membatasi dan memberikan aturan-aturan yang ketat terhadap pengunaan ma’na-ma’na alegoris, serta menyatukan antara ajaran Islam yang bersifat eksternal dengan ajaran internal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar