by : Okta Sariya Putri
e.) Peranan
Etika dalam Dunia Modern
Menurut kamus
besar bahasa Indonesia, etika adalah ilmu tentang apa yang dianggap baik dan
apa yang dianggap buruk, juga tentang hak dan kewajiban moral (akhlak),
kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, serta nilai yang
dianggap benar dan salah yang dianut suatu golongan masyarakat.
Etika tidak dapat
dipisahkan dengan etiket. Kedua hal ini sangatlah berhubungan.
Perbedaannya, etika berarti moral, sedangkan etiket berarti sopan santun. Cara
suatu perbuatan yang harus dilakukan manusia, cara tersebut harus tepat,
artinya cara yang diharapkan serta ditentukan dalam kalangan tertentu.
Misalnya; jika saya menyerahkan amplop kepada atasan harus menggunakan tangan
kanan. Dianggap sebuah pelanggaran jika menyerahkan dengan tangan kiri. Tetapi
etika tidak terbatas pada cara dilakukannya suatu perbuatan; etika memberi
norma terhadap perbuatan itu sendiri. Misal; A menyerahkan amplop kepada B
dengan cara yang sangat sopan, namun B adalah seorang hakim, dan A adalah orang
yang mempunyai perkara dengan hukum, artinya A menyuap B agar membebaskan
dirinya dari jeratan hukum. Dalam hal ini perbuatan yang dilakukan A bisa
dikatakan melanggar etika.
Perbedaan juga
terdapat persamaan diantara keduanya yaitu; 1) sama-sama menyangkut perilaku
manusia; 2) etika maupun etiket mengatur perilaku manusia secara normatif.
Artinya, memberi norma bagi perilaku manusia dan dengan demikian menyatakan apa
yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Justru karena sifat normatif
ini kedua istilah tersebut mudah dicampuradukkan.
Dalam masyarakat
tradisional, nilai dan norma tidak pernah dipersoalkan, secara otomatis
masyarakat menerima nilai dan norma yang telah berlaku. Namun, setiap saat
nilai dan norma tersebut dapat berkembang kearah yang baru, adanya mobilitas
lateral yang dialami oleh masyarakat, juga karena arus globalisasi yang semakin
tak bisa terelakkan. Banyak nilai dan norma etis berasal dari agama, tidak bisa
diragukan bahwa agama merupakan sumber nilai dan norma sangat penting.
Kebudayaan pun
merupakan sumber lain. Walaupun kebudayaan sering kali dilepaskan dari agama.
Selain kebudayaan, kerangka hidup bersama/nasionalisme bisa menjadi sumber
nilai dan norma kebudayaan.
Memandang situasi etis dalam dunia modern seperti saat
ini, banyak sekali perilaku yang
seharusnya masuk pada ruang lingkup moral, mereka banyak berargumentasi
mengenai hal-hal yang dianggap melanggar etika (moral). Kita lihat dari
beberapa contoh yang saat ini banyak terjadi. Misalnya, seiring dengan berkembangnya ilmu
pengetahuan dan teknologi khusunya ilmu-ilmu biomedis. Terdapat berbagai
penemuan-penemuan yang bisa jadi dianggap sangat mengagumkan, namun disisi lain
bisa dikatakan sangat bertentangan atau melanggar dengan etika (moral) yang
telah dijadikan patokan juga panutan oleh masyarakat luas.
Apa kita boleh
memanipulasi kehidupan manusia, seperti bayi tabung yang spermanya diambil dari
orang lain yang tidak ada ikatan pernikahan yang sah, kemudian
bereksperimen dengan embrio, rekayasa genetik. Segala permasalahan tentang
penciptaan manusia super sangatlah mengandung unsur etis (moral) dalam
kehidupan manusia. Juga masalah eutanasia; tindakan mengakhiri dengan sengaja kehidupan makhluk
(orang maupun hewan piaraan) yang sakit berat atau luka parah dengan kematian
yang tenang dan mudah atas dasar perikemanusiaan. Menurut perspektif
saya, semua hal tersebut melanggar nilai-nilai dan norma yang telah diajarkan
kepada kita sebagai manusia.
Agama mengajarkan
kita bagaimana berbuat baik namun dengan cara yang benar, benar menurut nilai
dan norma agama. Bagaimana sikap kita seharusnya menghadapi perkembangan yang
seperti ini? Situasi moral dunia modern ini mengajak kita untuk mendalami studi
etika, hal ini bisa dijadikan salah satu cara yang memberi prospek untuk mengatasi
kesulitan moral yang kita hadapi sekarang.
Menempuh cara
hidup yang etis berarti mempertanggungjawabkan perilaku kita berdasarkan
alasan-alasan, artinya berdasarkan rasio. Melalui jalan rasional perlu kita
bersama-sama diskusi mencari kesepakatan dibidang moral.
f.) AGAMA DAN MORALITAS SOSIAL
Agama secara
harfiah dapat berarti tidak kacaudan jalan, artinya dalam agama
terdapat seperangkat aturan yang akan membuat para penganutnya hidup dalam
suasana keteraturan. Pada saat yang bersamaan keteraturan itu merupakan
prasyarat yang harus dipenuhi oleh manusia untuk menjadi jalantercapainya
suatu kehidupan yang selamat dan sejahtera.
Agama dalam pengertian tertentu dapat
diartikan sebagai suatu keyakinan (di dalamnya memuat aturan) yang dijadikan
pegangan oleh para penganutnya untuk menuju kehidupan yang selamat dan
sejahtera
AGAMA DAN MORALITAS SOSIAL (2)
Moral berasal
dari kata Latin mores, jamak dari kata mos, diartikan dengan adat
kebiasaan. Dalam bahasa Indonesia, moral sering diterjemahkan dengan arti susila.
Kata moral pada
umumnya dipakai untuk menunjuk kepada suatu tindakan atau perbuatan yang sesuai
dengan ide-ide umum yang berlaku dalam suatu masyarakat.
Menunjuk kepada
arti tersebut di atas, kata moral lebih banyak bersifat praktis dari pada
teoritis.
Moralitas sosial dengan demikian
berarti tindakan-tindakan individu dan masyarakat yang merujuk pada atau
berdasarkan kebiasan-kebiasan atau nilai-nilai tertentu yang telah disepakati
bersama.
AGAMA DAN MORALITAS SOSIAL (3)
Moralitas suatu masyarakat (moralitas
sosial) bisa bersumber atau didasarkan pada: nalar sosial, pikiran paraktis
untuk tidak menyakiti pihak lain, dan logika atau akal sehat. Sehingga secaraa
ekstrem ada orang yang mengatakan bahwa tanpa agama pun manusia bisa
mengembangkan perilaku-perilaku yang moralis. Bahkan kadang-kadang ditemukan
kenyataan adanya aorang yang secara moral dianggap baik, tetapi tidak taat
dalam menjalankan ajaran agama. Dalam masyarakat kadang-kadang muncul ungkapan
ekstrem yang lain misalnya “ngapain shalat, kalau kelakuaknnya bejat”.
Ungkapan itu memperlihatkan adanya orang yang “saleh secara individual, tetapi
tidak saleh secara sosial”.
AGAMA DAN MORALITAS SOSIAL (4)
Masih adanya
pandangan yang dikotomik: “saleh secara individual (ritual), tapi tidak saleh
secara sosial”, “saleh secara sosial, tetapi tidak saleh secara individual
(ritual)”.
Berdasarkan nalar sosial kehidupan
suatu masyarakat dapat berjalan dengan baik, meskipun masyarakat itu tidak
menganut suatu agama tertentu. Tetapi nalar sosial akan sangat baik apabila
perilaku moral tersebut didasarkan pada agama, karena manusia pada dasarnya
adalah makhluk Tuhan.
AGAMA DAN MASYARAKAT (5)
Ketika
seseorang melakukan suatu peribadatan, apa sesungguhnya yang terpikir di dalama
benaknya? Apakah ketika itu ia hanya semata-mata sedang melakukan atau
menunaikan kewajiban atau tugas vertikalnya (ibadah kepada Allah)? Atau
memposisikan bahwa ibadah vertikalnya itu merupakan prasyarat yang harus
dipenuhi dalama rangka melakukan dan menunaikan tugas horizontal dan sosialnya,
sehingga dapat dikatakan sebagai seorang hamba yang baik!
Cliffort Gertz mengatakan
bahwa moral adalah bagian dari agama.
Milton Yinger mengatakan bahwa
moralitas sering dipandang oleh kelompok agamawan sebagai bagian dari domein
agama.
AGAMA DAN MASYARAKAT (6)
Keith A. Robert
juga mengatakan bahwa pada umumnya individu penganut agama memandang agama
sangat erat hubungannya dengan ajaran moralitas kehidupan sehari-hari.
Fungsi agama
yang terpenting adalah memberikan dasar metafisika bagi tatanan moral kelompok
sosial, dan memperkuat ketaatan terhadap norma.
Menurut Thomas O’Dea, bahwa dengan
menunjukkan norma-norma dan aturan masyarakat sebagai bagian dari tatanan etik
superempirik yang lebih besar berarti norma atau aturan masyarakat telah
disucikan olek pepercayaan dan ajaran agama.
Ditulis pada
tanggal 24 September 2014
g.)
Moral dan Hukum
Kata moral selalu
mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia (bukan sebagai dosen,
fransiskan, tukang becak). Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat
dari segi kebaikkannya sebagai manusia. Norma-norma moral adalah tolok ukur
untuk menentukan betul salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi
baik-buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu dan
terbatas.
Hukum adalah
norma-norma yang dituntut dengan tegas oleh masyarakat karena dianggap perlu
demi keselamatan dan kesejahteraan umum. Norma hukum adalah norma yang tidak
dibiarkan untuk dilanggar. Orang yang melanggar hukum pasti dikenai hukuman
sebagai sanksi.
Terdapat hubungan
erat antara moral dan hukum; keduanya saling mengandaikan dan sama-sama
mengatur perilaku manusia. Hukum membutuhkan moral. Hukum tidak berarti banyak
kalau tidak dijiwai oleh moralitas. Tanpa moralitas, hukum adalah kosong.
Kualitas hukum sebagian besar ditentukan oleh mutu moralnya. Karena itu, hukum
harus selalu diukur dengan norma moral. Produk hukum yang bersifat imoral tidak
boleh tidak harus diganti bila dalam masyarakat kesadaran moral mencapai tahap
cukup matang.
Di sisi lain,
moral juga membutuhkan hukum. Moral akan mengawang-awang kalau tidak
diungkapkan dan dilembagakan dalam masyarakat dalam bentuk salah satunya adalah
hukum. Dengan demikian, hukum bisa meningkatkan dampak sosial dari moralitas.
"Menghormati milik orang lain" misalnya merupakan prinsip moral yang
penting. Ini berarti bukan saja tidak boleh mengambil dompet orang lain tanpa
izin, melainkan juga milik dalam bentuk lain termasuk milik intelektual,
hal-hal yang ditemukan atau dibuat oleh orang lain (buku, lagu, komposisi
musik, merk dagang dsb).
Hal ini berlaku
karena alasan etis, sehingga selalu berlaku, juga bila tidak ada dasar hukum.
Tetapi justru supaya prinsip etis ini berakar lebih kuat dalam masyarakat, kita
mengadakan persetujuan hukum tentang hak cipta, pada taraf internasional,
seperti konvensi Bern (1889).
Namun perbedaan di
antara keduanya perlu tetap dipertahankan dan tidak semua norma moral dapat
serta perlu dijadikan norma hukum. Kendati pemenuhan tuntutan moral
mengandaikan pemenuhan tuntutan hukum, keduanya tidak dapat disamakan begitu
saja. Kenyataan yang paling jelas membuktikan hal itu adalah terjadinya konflik
antara keduanya.
Di bawah ini akan
ditunjukkan beberapa poin penting perihal perbedaan antara moral dan hukum.
Hukum lebih
dikodifikasikan daripada moralitas, artinya dituliskan dan secara kurang lebih
sistematis disusun dalam kitab undang-undang. Karena itu norma yuridis
mempunyai kepastian lebih besar dan bersifat lebih objektif. Sebaliknya norma
moral bersifat lebih subjef dan akibatnya lebih banyak diganggu oleh
diskusi-diskusi yang mencari kejelasan tentang apa yang dianggap etis atau
tidak etis. Tentu saja di bidang hukum pun terdapat banyak diskusi dan
ketidakpastian tetapi di bidang moral ketidakpastian ini lebih besar karena
tidak ada pegangan tertulis.
Hukum membatasi diri pada tingkah laku lahiriah saja, sedangkan moral menyangkut juga sikap batin seseorang. Itulah perbedaan antara moralitas dan legalitas (bdk Kant). Niat batin tidak termasuk jangkauan hukum. Sebaliknya dalam konteks moralitas sikap batin sangat penting. Orang yang hanya secara lahiriah memenuhi norma-norma moral berlaku "legalistis". Sebab, legalisme adalah sikap memenuhi norma-norma etis secara lahiriah saja tanpa melibatkan diri dari dalam.
Sanksi yang berkaitan dengan hukum berlainan dengan sanksi yang berkaitan dengan moralitas. Hukum untuk sebagian besar dapat dipaksakan; orang yang melanggar hukum akan mendapat sanksi/hukuman. Tetapi norma-norma etis tidak dapat dipaksakan. Menjalankan paksaan dalam bidang etis tidak efektif juga. Sebab paksaan hanya dapat menyentuh bagian luar saja, sedangkan perbuatan-perbuatan etis justru berasal dari dalam. Satu-satunya sanksi dalam bidang moralitas adalah hati nurani yang tidak tenang karena menuduh si pelaku tentang perbuatannya yang kurang baik.
Hukum didasarkan atas kehendak masyarakat dan akhirnya atas kehendak negara. Juga kalau hukum tidak secara langsung berasal dari negara seperti hukum adat maka hukum itu harus diakui oleh negara seupaya berlaku sebagai hukum. Moralitas didasarkan pada norma-norma moral yang melampaui para individu dan masyarakat. Dengan cara demokratis ataupun cara lain masyarakat dapat mengubah hukum tetapi tidak pernah masyarakat mengubah atau membatalkan suatu norma moral. Masalah etika tidak dapat diputuskan dengan suara terbanyak.
Hukum membatasi diri pada tingkah laku lahiriah saja, sedangkan moral menyangkut juga sikap batin seseorang. Itulah perbedaan antara moralitas dan legalitas (bdk Kant). Niat batin tidak termasuk jangkauan hukum. Sebaliknya dalam konteks moralitas sikap batin sangat penting. Orang yang hanya secara lahiriah memenuhi norma-norma moral berlaku "legalistis". Sebab, legalisme adalah sikap memenuhi norma-norma etis secara lahiriah saja tanpa melibatkan diri dari dalam.
Sanksi yang berkaitan dengan hukum berlainan dengan sanksi yang berkaitan dengan moralitas. Hukum untuk sebagian besar dapat dipaksakan; orang yang melanggar hukum akan mendapat sanksi/hukuman. Tetapi norma-norma etis tidak dapat dipaksakan. Menjalankan paksaan dalam bidang etis tidak efektif juga. Sebab paksaan hanya dapat menyentuh bagian luar saja, sedangkan perbuatan-perbuatan etis justru berasal dari dalam. Satu-satunya sanksi dalam bidang moralitas adalah hati nurani yang tidak tenang karena menuduh si pelaku tentang perbuatannya yang kurang baik.
Hukum didasarkan atas kehendak masyarakat dan akhirnya atas kehendak negara. Juga kalau hukum tidak secara langsung berasal dari negara seperti hukum adat maka hukum itu harus diakui oleh negara seupaya berlaku sebagai hukum. Moralitas didasarkan pada norma-norma moral yang melampaui para individu dan masyarakat. Dengan cara demokratis ataupun cara lain masyarakat dapat mengubah hukum tetapi tidak pernah masyarakat mengubah atau membatalkan suatu norma moral. Masalah etika tidak dapat diputuskan dengan suara terbanyak.
Berhadapan dengan
latar belakang pemikiran di atas kita lantas bertanya apakah karena persoalan
moral dan hukum yang begitu erat kaitannya sehingga kasus Soeharto tidak bisa
tuntas di mejahijau. Bapak Pembangunan di satu sisi (persoalan moral) dan
koruptor (yang harus dipecahkan secara hukum) membingungkan seluruh warga
bangsa ini untuk menentukan Soeharto sebagai penjahat atau orang baik? Sulit
memang jika ini menjadi dilema politik bangsa ini.
https://id-id.facebook.com/MoralDanHukum/posts/230677660371634
H.) Peran Hati Nurani Dalam Etika
Setiap
manusia diciptakan untuk memiliki hati nurani. Oleh sebab itu setiap orang pasti memiliki hati
nurani. Akan tetapi apakah hati nurani itu masih ada dan dapat bekerja sesuai
dengan kebutuhan, itu yang berbeda dari setiap orang. Tentu saja hati nurani
antara satu orang dengan yang lainnya berbeda-beda. Orang sering merasa bimbang
saat menghadapi situasi dan kadang pula terjadi konflik dalam memutuskan segala
sesuatu. di satu sisi hatinya berkata iya, di satu sisi lainnya berkata tidak.
Di situlah peran suara hati diperlukan. Hati nurani dapat membantu dalam
mengambil keputusan. hati nurani yang masih luhur, pasti akan memutuskan hal
yang tentunya baik bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain.
Dimana pun kita berada selalu ada aturan yang berlaku. Baik itu dalam keluarga, sekolah, masyarakat, negara, dan setiap tempat pasti ada peraturannya masing-masing. Aturan itu dibuat memang untuk mengatur segala tindakan yang kita lakukan agar tercipta suatu kondisi yang tertib dan aman. Karena apabila tidak ada aturan, orang akan cenderung bertindak seenaknya sendiri dan tidak memperhatikan lingkungan sekitarnya. Bagaimana kita dapat mengetahui apakah perbuatan kita sudah sesuai dengan aturan itu? Jawabannya tentu dengan menanyakan pada hati nurani kita. Hati nurani akan merasa bersalah dan tidak nyaman apabila apa yang kita lakukan sudah melanggar aturan.
Dalam kondisi tertentu manusia kadang dihadapkan pada suatu pilhan yang tentunya harus ia jalani. Pilihan itu pun kadang lebih dari satu dan tidak jarang pula ada yang bertentangan dengan aturan yang berlaku. Pilihan mana yang akan dipilih itu tergantung kata hati nurani mana yang lebih kuat. Namun, apabila kita melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan aturan tetapi itu demi kebaikan bersama, apakah itu salah? Pertanyaan seperti itu sering muncul atau bahkan beberapa diantara kita sudah mengalaminya. Masalah salah atau tidak itu tergantung dari sudut mana kita menilainya. Hati nurani pasti merasa bersalah kalau yang kita lakukan itu memang melanggar aturan. Saat mengambil keputusan, tanyalah pada hati nurani yang paling dalam. Jangan sampai kita melakukan tindakan yang bertentangan dengan hati nurani. Banyak kasus orang menyesal di kemudian hari setelah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kata hatinya dan perbuatan itu pun melanggar aturan yang ada. Oleh sebab itu, jangan mengabaikan apa kata hati kita dan ajgalah hati nurani kita agar tetap luhur, artinya dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Lalu bagaimana peran hati nurani, terutama dalam etika kerja? Dan apakah hati nurani diperlukan dalam menciptakan suatu kondisi kerja yang berpegang pada etika atau norma? Pertanyaan itulah yang akan dibahas juga dalam blog kali ini. Jika seseorang ingin bekerja dengan baik dan profesional, tentu etika dan norma kerja serta hati tentu tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Peraturan kerja telah ditentukan oleh pihak manajemen dan etika kerja tentu tidak lepas dari aturan-aturan yang telah dibuat tersebut. Apabila ada yang menyimpang atau melanggar aturan tersebut, hati lah yang menjadi control terakhir. Di situlah hati diperlukan untuk menilai apakah perbuatan yang dilakukannya itu sudah sesuai dengan aturan, dan jika tidak sesuai dengan aturan apakah perbuatannya itu perlu diperbaiki atau tidak.
Seorang pekerja yang baik seharusnya selalu menaati peraturan yang berlaku di tempat kerjanya. Seorang pekerja juga akan dituntut untuk selalu melakukan pekerjaan atau tugasnya dengan baik serta tidak melanggar aturan yang ada. Oleh karena itu, seorang pekerja perlu memiliki hati nurani yang peka terhadap lingkungan sekitar, terutam terhadap autran yang telah ditetapkan. Tanyakan pada hati nurani apabila akan melakukan suatu pekerjaan, apakah perbuatan itu sudah sesuai dengan aturan yang berlaku atau justru sebaliknya perbuatan itu melanggar aturan. Jika hati nurani bekerja dengan baik dan selalu mengarahkan kita ke perbuatan yang sesuai dengan aturan, niscaya kita akan berhasil.
Orang yang bekerja dengan hati dan orang yang bekerja tanpa hari, tentu berbeda jauh. Orang yang bekerja dengan hari, akan melakukan pekerjaannya dengan senang dan hasilnya juga akan maksimal. Selain itu, apa yang dikerjakannya selalu menaati aturan yang ada. Berbeda dengan orang yang bekerjanya tanpa menggunakan hati. Dia akan bekerja seenaknya sendiri dan dengan terpaksa. Ia cendrung juga untuk melanggar aturan yang ada. Dengan demikian, hasil kerjanya tentu kurang memuaskan. Sehingga hati nurani juga berperan dalam menentukan hasil kerja seseorang. Kinerja seseorang juga dapat didukung oleh adanya hati nurani. Jadi, bekerjalah dengan memegang teguh pada aturan dan selalu mendengarkan suara hati nurani kita.
http://kuliahbersama.com/
Dimana pun kita berada selalu ada aturan yang berlaku. Baik itu dalam keluarga, sekolah, masyarakat, negara, dan setiap tempat pasti ada peraturannya masing-masing. Aturan itu dibuat memang untuk mengatur segala tindakan yang kita lakukan agar tercipta suatu kondisi yang tertib dan aman. Karena apabila tidak ada aturan, orang akan cenderung bertindak seenaknya sendiri dan tidak memperhatikan lingkungan sekitarnya. Bagaimana kita dapat mengetahui apakah perbuatan kita sudah sesuai dengan aturan itu? Jawabannya tentu dengan menanyakan pada hati nurani kita. Hati nurani akan merasa bersalah dan tidak nyaman apabila apa yang kita lakukan sudah melanggar aturan.
Dalam kondisi tertentu manusia kadang dihadapkan pada suatu pilhan yang tentunya harus ia jalani. Pilihan itu pun kadang lebih dari satu dan tidak jarang pula ada yang bertentangan dengan aturan yang berlaku. Pilihan mana yang akan dipilih itu tergantung kata hati nurani mana yang lebih kuat. Namun, apabila kita melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan aturan tetapi itu demi kebaikan bersama, apakah itu salah? Pertanyaan seperti itu sering muncul atau bahkan beberapa diantara kita sudah mengalaminya. Masalah salah atau tidak itu tergantung dari sudut mana kita menilainya. Hati nurani pasti merasa bersalah kalau yang kita lakukan itu memang melanggar aturan. Saat mengambil keputusan, tanyalah pada hati nurani yang paling dalam. Jangan sampai kita melakukan tindakan yang bertentangan dengan hati nurani. Banyak kasus orang menyesal di kemudian hari setelah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kata hatinya dan perbuatan itu pun melanggar aturan yang ada. Oleh sebab itu, jangan mengabaikan apa kata hati kita dan ajgalah hati nurani kita agar tetap luhur, artinya dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Lalu bagaimana peran hati nurani, terutama dalam etika kerja? Dan apakah hati nurani diperlukan dalam menciptakan suatu kondisi kerja yang berpegang pada etika atau norma? Pertanyaan itulah yang akan dibahas juga dalam blog kali ini. Jika seseorang ingin bekerja dengan baik dan profesional, tentu etika dan norma kerja serta hati tentu tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Peraturan kerja telah ditentukan oleh pihak manajemen dan etika kerja tentu tidak lepas dari aturan-aturan yang telah dibuat tersebut. Apabila ada yang menyimpang atau melanggar aturan tersebut, hati lah yang menjadi control terakhir. Di situlah hati diperlukan untuk menilai apakah perbuatan yang dilakukannya itu sudah sesuai dengan aturan, dan jika tidak sesuai dengan aturan apakah perbuatannya itu perlu diperbaiki atau tidak.
Seorang pekerja yang baik seharusnya selalu menaati peraturan yang berlaku di tempat kerjanya. Seorang pekerja juga akan dituntut untuk selalu melakukan pekerjaan atau tugasnya dengan baik serta tidak melanggar aturan yang ada. Oleh karena itu, seorang pekerja perlu memiliki hati nurani yang peka terhadap lingkungan sekitar, terutam terhadap autran yang telah ditetapkan. Tanyakan pada hati nurani apabila akan melakukan suatu pekerjaan, apakah perbuatan itu sudah sesuai dengan aturan yang berlaku atau justru sebaliknya perbuatan itu melanggar aturan. Jika hati nurani bekerja dengan baik dan selalu mengarahkan kita ke perbuatan yang sesuai dengan aturan, niscaya kita akan berhasil.
Orang yang bekerja dengan hati dan orang yang bekerja tanpa hari, tentu berbeda jauh. Orang yang bekerja dengan hari, akan melakukan pekerjaannya dengan senang dan hasilnya juga akan maksimal. Selain itu, apa yang dikerjakannya selalu menaati aturan yang ada. Berbeda dengan orang yang bekerjanya tanpa menggunakan hati. Dia akan bekerja seenaknya sendiri dan dengan terpaksa. Ia cendrung juga untuk melanggar aturan yang ada. Dengan demikian, hasil kerjanya tentu kurang memuaskan. Sehingga hati nurani juga berperan dalam menentukan hasil kerja seseorang. Kinerja seseorang juga dapat didukung oleh adanya hati nurani. Jadi, bekerjalah dengan memegang teguh pada aturan dan selalu mendengarkan suara hati nurani kita.
http://kuliahbersama.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar