2.1 Shame Culture (Budaya Malu), Guilt Culture (Budaya Bersalah)
Pada tahun 1948 Ruth Benedict seorang antroplog dalam bukunya
yang berjudul The Chrysanthemum and the Sword, memperkenalkan istilah Shame
Culture (Budaya Malu) dan Guilt
Culture (Budaya Bersalah) yang digunakan sebagai dikotomi pembagian
bagaimana pola pikir Barat dan Timur. Barat di
kategorikan sebagai guilt culture dimana orang merasa bersalah
kalau melakukan sesuatu perbuatan yang salah sekalipun tidak ada yang melihat.
Contohnya di Jerman dan negara negara Eropa Barat (kecuali Inggris), kalau anda
naik kereta api dan bis dalam kota tidak ada yang memeriksa apakah anda
punya tiket atau tidak, tapi orang orang yang menggunakan moda transport
tersebut tetap membeli tiket sesuai dengan tujuannya masing masing karena
mereka merasa bersalah (guilt) kalau naik transportasi umum tidak membayar.
Sebaliknya suatu bangsa yang menganut shame culture,
orang akan terus melakukan sesuatu perbuatan yang salah dan
merasa nyaman saja dan akan merasa malu (shame) jika diketahui orang
lain. Menurut pandangan ini budaya malu (shame culture) adalah kebudayaan
dimana kata kata seperti “hormat”, “reputasi” , “nama baik”,
“status”, dan “gengsi” sangat ditekankan. Bila seseorang melakukan suatu
kejahatan, hal ini tidak dianggap sebagai sesuatu yang buruk begitu
saja, tetapi boleh disembunyikan demi kepentingan yang lebih besar. Malapetaka
hanyalah terjadi bilamana kesalahan tersebut diketahui oleh orang
lain sehingga pelaku kehilangan muka. Jadi jangan heran jika laporan KPK di
intervensi, kasus Century masih kabur, KPK dan Polisi saling berkelahi
semuanya itu dilakukan demi menyelamatkan yang namanya hormat”, “reputasi”
, “nama baik”, “status”, dan “gengsi.
Ketika terjadi promosi jabatan untuk sejumlah bekas terpidana korupsi di
Provinsi Kepulauan Riau beberapa pakar berkomentar: “rasa malu di
kalangan pejabat publik Indonesia semakin menipis”. Jika dibiarkan,
kondisi ini rawan menyuburkan praktik korupsi di pemerintahan. “Kalau punya
malu, mereka semestinya tak bekerja lagi sebagai pegawai negeri sipil (PNS),
apalagi kemudian diangkat menjadi pejabat publik,” kata Guru Besar Ilmu Politik
Universitas Pertahanan Indonesia, Salim Said, di Jakarta, Rabu
(24/10/2012).Menurut Salim Said, pengangkatan para mantan terpidana korupsi
sebagai pejabat itu mencerminkan bahwa orang tak merasa malu lagi untuk bekerja
melayani publik meski cacat moral. Orang yang terbukti korup itu berarti telah
mengkhianati amanat melayani rakyat.
“Enak saja, mereka sudah korup, diadili dan terbukti korupsi, dijatuhi
hukuman, kok malah balik lagi menjadi pejabat. Mereka harus mundur dari
jabatannya,” kata Salim. “Siapa saja yang pernah dihukum karena korupsi
tidak boleh lagi diangkat menjadi pejabat publik dalam semua tingkat
selamanya,” katanya.
Wajar saja Prof Salim geram,
tapi kalau Ruth Benedict masih hidup dan sekalipun terdapat pro dan
kontra terhadap doktrinnya dikalangan para antropolog, melihat fakta di
mana orang yang jelas jelas bersalah (guilt) tapi tetap saja tidak
memiliki rasa malu (shame) mungkin beliau akan menambah satu lagi
tipologi nya menjadi No
Culture khusus kepada orang orang semacam ini. Diawal
awal penelitiannya Ruth Benedict menggunakan sampel Amerika
sebagai guilt culture dan Jepang sebagai shame culture. Tapi
penelitian yang dilakukan oleh Prof. Creighton dari University of British
Columbia Vancouver membuktikan bahwa orang Jepang ternyata lebih ke
guilt culture. Sifat kesahihan penelitian ilmu sosial adalah
tentatif: diterima bila
sementara belum ada teori baru yang menyanggahnya. Lihat
saja tipologi dimensi Hofstede National Culture yang awalnya cuma ada empat:
Power Distance, Uncertainty Avoidance, Masculine vs Feminine,
Collectivism vs Individualism, begitu sampai ke Asia timbul satu dimensi baru
yang namanya Long Term Orientation. Melihat fakta fakta yang terjadi di negara
tercinta, tidak kah anda merasa malu bila satu dimensi yang bernama No
Culture atau apapun namanya akan muncul dengan mengambil sampel
Indonesia? (Ismirajiani, 2012)
2.1.1 Ciri-ciri Shame Culture dan
Guilt Culture
Ciri-ciri Shame Culture
1. Ditandai rasa malu
2. Menekankan pengertian ; hormat, reputasi, nama baik, status dan gengsi
3. Bila melakukan kejahatan harus disembunyikan dari orang lain.
4. Sanksi datang dari luar, yaitu apa yang dipikirkan dan dikatakan oleh orang lain
5. HATI NURANI hampir tidak berperan
Ciri-ciri Guilt Culture
1. Ditandai rasa bersalah
2. Dosa dan kebersalahan
3. Kendati suatu kejahatan tidak diketahui oleh orang lain, pelaku tetap
merasa bersalah
4. Sanksi datang dari dalam, yaitu batin/hati pelaku
5. Hati nurani berperan sangat penting
6. Ditandai oleh martabat manusia (kaskus, 2006)
1. Ditandai rasa malu
2. Menekankan pengertian ; hormat, reputasi, nama baik, status dan gengsi
3. Bila melakukan kejahatan harus disembunyikan dari orang lain.
4. Sanksi datang dari luar, yaitu apa yang dipikirkan dan dikatakan oleh orang lain
5. HATI NURANI hampir tidak berperan
Ciri-ciri Guilt Culture
1. Ditandai rasa bersalah
2. Dosa dan kebersalahan
3. Kendati suatu kejahatan tidak diketahui oleh orang lain, pelaku tetap
merasa bersalah
4. Sanksi datang dari dalam, yaitu batin/hati pelaku
5. Hati nurani berperan sangat penting
6. Ditandai oleh martabat manusia (kaskus, 2006)
2.2 Kebebasan dan Tanggung Jawab
2.2.1
Pengertian Kebebasan
Dalam KBBI bebas adalah lepas sama sekali
(tidak terhalang, terganggu, dsb sehingga dapat bergerak, berbicara, berbuat,
dsb dengan leluasa). Dalam filsafat pengertian kebebasan adalah Kemampuan
manusia untuk menentukan dirinya sendiri. Kebebasan lebih bermakna positif, dan
ia ada sebagai konsekuensi dari adanya potensi manusia untuk dapat berpikir dan
berkehendak. Sudah menjadi kodrat manusia untuk menjadi mahluk yang memiliki
kebebasan, bebas untuk berpikir, berkehandak, dan berbuat.
Lebih jauh, Kamus John Kersey mengartikan
bahwa ‘kebebasan’ adalah sebagai ‘kemerdekaan, meninggalkan atau bebas
meninggalkan.’ Artinya, semua orang bebas untuk tidak melakukan atau melakukan
suatu hal. Pengertian yang lebih banyak memiliki unsur-unsur hukum bisa dilihat
dari definisi ‘kebebasan’ dari Kamus Hukum Black. Menurut Black, ‘kebebasan’
diartikan sebagai sebuah kemerdekaan dari semua bentuk-bentuk larangan kecuali
larangan yang telah diatur didalam undang-undang.
Beberapa
Arti Kebebasan
I.
Kebebasan Sosial Politik
Dalam perspektif etika, kebebasan juga bisa
dibagi antara kebebasan sosial-politik dan kebebasan individual. Subyek
kebebasan sosial-politik –yakni, yang disebut bebas di sini—adalah suatu bangsa
atau rakyat. Kebebasan sosial-politik sebagian besarnya merupakan produk
perkembangan sejarah, atau persisnya produk perjuangan sepanjang sejarah.
Ada dua bentuk kebebasan rakyat dengan
kekuasaan absolute raja, contoh piagam Magna Charta (1215), yang
terpaksa dikeluarkan oleh Raja John untuk memberikan kebebasan-kebebasan
tertentu kepada baron dan uskup Inggris. Kedua kemerdekaan dengan kolinialisme,
contoh The Declaration of Indepndence (1766), dimana Amerika
Serikat merupakan negara pertama yang melepaskan dari kekuasaan Inggris.
II.
Kebebasan Individual
Berbeda dengan kebebasan sosial-politik,
subyek kebebasan individual adalah manusia perorangan. Dari sudut pandang
perorangan, juga terdapat beberapa arti ”kebebasan” yang bisa dipaparkan di
sini. Sebagai contoh, terkadang kebebasan diartikan dengan.
- Kesewenang-wenangan
Orang disebut bebas bila ia dapat berbuat atau
tidak berbuat sesuka hatinya. Di sini “bebas” dimengerti sebagai terlepas dari
segala kewajiban dan keterikatan. Dapat dikatakan bertindak semau gue itulah
kebebasan. Kebebasan dalam arti kesewenang-wenangan sebenarnya tidak pantas
disebut “kebebasan”.
Di sini kata “bebas” disalahgunakan. Sebab,
“bebas” sesungguhnya tidak berarti lepas dari segala keterikatan. Kebebasan
yang sejati mengandaikan keterikan oleh norma-norma. Norma tidak menghambat
adanya kebebasan, tapi justru memungkinkan tingkah laku bebas.
- Kebebasan Fisik
Yakni, ”bebas” diartikan dengan tidak adanya
paksaan atau rintangan dari luar. Ini merupakan pengertian yang dangkal, karena
bisa jadi secara fisik seseorang dipenjara, tetapi jiwanya bebas merdeka.
Sebaliknya, ada orang yang secara fisik bebas, tetapi jiwanya tidak bebas,
jiwanya diperbudak oleh hawa nafsunya, dan lain-lain.
Biarpun dengan kebebasan fisik belum terwujud
kebebasan yang sebenarnya, namun kebebasan ini patut dinilai positif. Jika
kebebasan dalam arti kesewenang-wenangan harus ditolak sebagai penyalahgunaan
kata “kebebasan”, maka kebebasan fisik bisa kita hargai tanpa ragu-ragu.
- Kebebasan Yuridis
Kebebasan ini berkaitan dengan hukum dan harus
dijamin oleh hukum. Kebebasan yuridis merupakan sebuah aspek dari hak-hak
manusia. Sebagaimana tercantum pada Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi
Manusia (HAM), yang dideklarasikan oleh PBB tahun 1948.
Kebebasan dalam artian ini adalah
syarat-syarat fisis dan sosial yang perlu dipenuhi agar kita dapat menjalankan
kebebasan kita secara konkret. Kebebasan yuridis menandai situasi kita sebagai
manusia. Kebebasan ini mengandalkan peran negara, yang membuat undang-undang
yang cocok untuk keadaan konkret.
- Kebebasan yang didasarkan pada hukum kodrat, sama dengan hak asasi manusia seperti dirumuskan dalam deklrasi universal. Manusia bebas bekerja, memilih profesinya dan mempunyai milik sendiri, menikah, dan banyak hal lain lagi. Terdapat pula kebebasan beragama dan hati nurani.
- Kebebasan yang didasarkan pada hukum positif, diciptakan oleh negara melalui penjabaran dan perincian kebebasan yang didasarkan pada hukum kodrat.
- Kebebasan Psikologis
Adalah kemampuan yang dimiliki manusia untuk
mengembangkan serta mengarahkan hidupnya. Nama lain untuk kebebasan psikologis
itu adalah ”kehendak bebas’ (free will). Kemampuan ini menyangkut
kehendak, bahkan ciri khas. Kebebasan ini berkaitan erat dengan kenyataan bahwa
manusia adalah makhluk berrasio.
Jika manusia bertindak bebas, itu berarti ia
tahu apa yang diperbuatnya dan apa sebab diperbuatnya. Berkat kebebasan ini ia
dapat memberikan suatu makna kepada perbuatannya. Kemungkinan untuk memilih
antara pelbagai alternatif merupakan aspek penting dari kebebasan psikologis.
- Kebebasan Moral
Sebetulnya masih terkait erat dengan kebebasan
psikologis, namun tidak boleh disamakan dengannya. Kebebasan moral mengandaikan
kebebasan psikologis, sehingga tanpa kebebasan psikologis tidak mungkin
terdapat kebebasan moral. Namun, kebebasan psikologis tidak berarti otomatis
menjamin adanya kebebasan moral.
Cara yang paling jelas untuk membedakan
kebebasan psikologis dengan kebebasan moral adalah bahwa kebebasan psikologis
berarti bebas begitu saja (free), sedangkan kebebasan moral berarti
suka rela (voluntary) atau tidak terpaksa secara moral, walaupun
ketika mengambil keputusan itu seseorang melakukan secara sadar dan penuh
pertimbangan (kebebasan psikologis).
- Kebebasan Eksistensial
Kebebasan yang menyeluruh yang
menyangkut seluruh pribadi manusia dan tidak terbatas pada salah satu aspek
saja. Kebebasan ekstensial adalah kebebasan tertinggi. Kebebasan ekstensial
adalah konteks etis. Kebebasan ini terutama merupakan suatu ideal atau
cita-cita yang bisa memberi arah dan makna kepada kehidupan manusia.
Orang yang bebas
secara eksistensial seolah-olah “memiliki dirinya sendiri.” Ia mencapai taraf
otonomi, kedewasaan, otentisitas dan kematangan rohani. Ia lepas dari segala
alienasi atau keterasingan, yakni keadaan di mana manusia terasing dari dirinya
dan justru tidak “memiliki” dirinya sendiri. Kebebasan ini selalu patut
dikejar, tapi jarang akan terealisasi sepenuhnya.
Beberapa
Masalah Mengenai Kebebasan
I.
Kebebasan Negatif dan Kebebasan Positif
Beberapa tahun yang lalu, seorang filsuf
politikus terkemuka, Isaiah Berlin secara resmi merangka perbedaan antara dua
prespektif ini sebagai perbedaan antara dua konsep kebebasan yang berlawanan:
kebebasan positif dan kebebasan negatif. sebagai dua aliran dalam filosofi
politik demokratis – dua model yang membedakan John Locke dari Jean-Jacques
Rousseau. Keduanya mempengaruhi motivasi hidup seseorang dalam lingkungan
tertentu.
Kebebasan
negatif adalah adalah bebas dari hambatan dan diperintah oleh orang lain.
William Ernest Hockin, Freedom of the Pers: A Framework of Principle
(1947). Hockin menyatakan definisi kebebasan berbeda dari liberalisme klasik
dimana kebebasan (negatif) berarti tidak adanya batasan.
Kebebasan positif adalah tersedianya
kesempatan untuk menjadi penentu atas kehidupan Anda sendiri dan untuk
membuatnya bermakna dan signifikan. Kebebasan positif adalah poros konseptual
tempat berkembangnya tanggung jawab sosial. Implikasi hukum dari kebebasan
positif dikembangkan oleh Zechariah Chafee dalam karya dua jilid nya Government
and Mass Communciation (1947).
II.
Batas-batas Kebebasan
Kebebasan
mempunyai beberapa batas-batasan. Batasan ini ada agar kita bisa mengendalikan
pemikiran kita mengenai kebebasan itu.
- Faktor-faktor dari dalam
Kebebasan
pertama-tama dibatasi oleh faktor-faktor dari dalam, baik fisik maupun psikis.
- Lingkungan
Kebabasan yang dibatasai oleh lingkungan, baik
ilmiah maupun sosial. Lingkungan ini sangat menentukan pandangan kita mengenai
kebebasan. Karena di setiap lingkungan yang berbeda maka mereka mempunya
pandangan yang berbeda pula.
- Orang Lain
Dalam budaya Barat, undang-undanglah yang
menentukan batasan kebebasan dan undang-undang ini hanya menyoroti masalah
sosial yang ada. Artinya, undang-undang mengatakan bahwa kebebasan seorang
tidak boleh menodai kebebasan orang lain dan membahayakan kepentingan mereka. Setiap
manusia memiliki kebebasannya masing-masing dan hal tersebut menjadi pembatas
bagi kebebasan menusia yang lainnya. Hak setiap manusia atas kebebasan yang
sama.
Sejalan dengan ketentuan peraluran
perundang-undangan yang berlaku dan prinsip hukum internasional sebagaimana
tercantum dalam Pasal 29 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi.
2.4.2
TANGGUNG JAWAB
Tanggungjawab berkaitan dengan “penyebab”.
Yang bertanggung jawab hanya yang menyebabkan atau yang melakukan tindakan.
Tidak ada tanggungjawab tanpa kebebasan dan sebaliknya. Bertanggung jawab
berarti dapat menjawab, bila ditanyai tentang perbuatan-perbuatan yang
dilakukan. Orang yang bertanggung jawab dapat diminta penjelasan tentang
tingkah lakunya dan bukan saja ia bisa menjawab tetapi juga harus menjawab.
Tanggung jawab berarti bahwa orang tidak boleh
mengelak bila diminta penjelasan tentang tingkah laku atau perbuatannya. Dalam
tanggung jawab terkandung pengertian penyebab. Orang bertanggung jawab atas
sesuatu yang disebabkan olehnya. Orang yang tidak menjadi penyebab suatu akibat
maka dia tidak harus bertanggung jawab juga. Tanggung jawab bisa berarti
langsung atau tidak langsung.
Tanggung jawab pun
bisa berarti prospektif ataupun retrospektif.
- Tanggung jawab prospektif, bertanggung jawab atas perbuatan yang akan datang,
- Sedang tanggung jawab retrospektif, adalah tanggung jawab atas perbuatan yang telah berlangsung dengan segala konsekuensinya,
Manusia adalah mahluk sosial. Dalam
kesosialannya diandaikan kebebasan dan setiap kesosialan yang mengandaikan
kebebasan selalu lahir implikasi yang harus dipertanggungjawabkan Kebebasan
yang kita miliki tidak boleh diisi dengan sewenang-wenang, tetapi secara
bermakna. (Semakin bebas, semakin bertanggung jawab).
2.5 nilai dan norma
2.5.1
Penjelasan Nilai Sosial
Nilai sosial adalah sebuah konsep abstrak dalam diri manusia mengenai apa
yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk, indah atau
tidak indah, dan benar atau salah.
Pengertian
Nilai sosial
adalah nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, mengenai
apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk oleh masyarakat.
Untuk menentukan
sesuatu itu dikatakan baik atau buruk, pantas atau tidak pantas harus melalui
proses menimbang. Hal ini tentu sangat dipengaruhi oleh kebudayaan yang dianut
masyarakat. Tak heran
apabila antara masyarakat yang satu dan masyarakat yang lain terdapat perbedaan
tata
nilai.
Klasifikasi
Berdasarkan
ciri-cirinya, nilai sosial dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu nilai
dominan dan nilai
mendarah daging (internalized
value).
Nilai dominan
Nilai dominan
adalah nilai yang dianggap lebih penting daripada nilai lainnya. Ukuran dominan
tidaknya suatu nilai didasarkan pada hal-hal berikut.
- Banyak orang yang menganut nilai tersebut. Contoh, sebagian besar anggota masyarakat menghendaki perubahan ke arah yang lebih baik di segala bidang, seperti politik, ekonomi, hukum, dan sosial.
- Berapa lama nilai tersebut telah dianut oleh anggota masyarakat.
- Tinggi rendahnya usaha orang untuk dapat melaksanakan nilai tersebut. Contoh, orang Indonesia pada umumnya berusaha pulang kampung (mudik) di hari-hari besar keagamaan, seperti Lebaran atau Natal.
- Prestise atau kebanggaan bagi orang yang melaksanakan nilai tersebut. Contoh, memiliki mobil dengan merek terkenal dapat memberikan kebanggaan atau prestise tersendiri.
Nilai mendarah daging (internalized value)
Nilai mendarah
daging adalah nilai yang telah menjadi kepribadian dan kebiasaan sehingga
ketika seseorang melakukannya kadang tidak melalui proses berpikir atau
pertimbangan lagi (bawah sadar). Biasanya nilai ini telah tersosialisasi sejak
seseorang masih kecil. Umumnya bila nilai ini tidak dilakukan, ia akan merasa
malu, bahkan merasa sangat bersalah. Contoh, seorang kepala keluarga yang belum
mampu memberi nafkah kepada keluarganya akan merasa sebagai kepala keluarga
yang tidak bertanggung jawab. Demikian pula, guru yang melihat siswanya gagal dalam ujian akan merasa
gagal dalam mendidik anak tersebut.
Bagi manusia, nilai
berfungsi sebagai landasan, alasan, atau motivasi dalam segala tingkah laku dan
perbuatannya. Nilai mencerminkan kualitas pilihan tindakan dan pandangan hidup
seseorang dalam masyarakat. Menurut Notonegoro,nilai sosial terbagi 3, yaitu:
- Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi fisik/jasmani seseorang.
- Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang mendukung aktivitas seseorang.
- Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi jiwa/psikis seseorang.
Satu bagian penting dari kebudayaan
atau suatu masyarakat adalah nilai sosial. Suatu tindakan dianggap sah, dalam
arti secara moral diterima, kalau tindakan tersebut harmonis dengan nilai-nilai
yang disepakati dan dijunjung tinggi oleh masyarakat di mana tindakan tersebut
dilakukan. Dalam sebuah masyarakat yang menjunjung tinggi kasalehan
beribadah, maka apabila ada orang yang malas beribadah tentu akan menjadi bahan
pergunjingan, cercaan, celaan, cemoohan, atau bahkan makian. Sebaliknya,
kepada orang-orang yang rajin beribadah, dermawan, dan seterusnya, akan dinilai
sebagai orang yang pantas, layak, atau bahkan harus dihormati dan diteladani.
Dalam Kamus Sosiologi yang disusun
oleh Soerjono Soekanto disebutkan bahwa nilai (value) adalah konsepsi-konsepsi abstrak di dalam diri
manusia, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Horton
dan Hunt (1987) menyatakan bahwa nilai adalah gagasan mengenai apakah suatu
pengalaman itu berarti apa tidak berarti. Dalam rumusan lain, nilai merupakan
anggapan terhadap sesuatu hal, apakah sesuatu itu pantas atau tidak pantas,
penting atau tidak penting, mulia ataukah hina. Sesuatu itu dapat berupa benda,
orang, tindakan, pengalaman, dan seterusnya.
Macam-macam
Nilai Sosial
Prof. Notonegoro membedakan nilai menjadi tiga macam, yaitu: (1) Nilai
material, yakni meliputi berbagai konsepsi mengenai segala sesuatu yang
berguna bagi jasmani manusia, (2) Nilai vital, yakni meliputi berbagai
konsepsi yang berkaitan dengan segala sesuatu yang berguna bagi manusia dalam
melaksanakan berbagai aktivitas, dan (3) Nilai kerohanian, yakni
meliputi berbagai konsepsi yang berkaitan dengan segala sesuatu yang
berhubungan dengan kebutuhan rohani manusia: nilai kebenaran, yakni yang
bersumber pada akal manusia (cipta), nilai keindahan, yakni yang bersumber pada
unsur perasaan (estetika), nilai moral, yakni yang bersumber pada unsur
kehendak (karsa), dan nilai keagamaan (religiusitas), yakni nilai yang
bersumber pada revelasi (wahyu) dari Tuhan.
Nilai individual – nilai sosial
Seorang individu mungkin memiliki nilai-nilai yang
berbeda, bahkan bertentangan dengan individu-individu lain dalam masyarakatnya.
Nilai yang dianut oleh seorang individu dan berbeda dengan nilai yang dianut
oleh sebagaian besar anggota masyarakat dapat disebut sebagai nilai individual.
Sedangkan nilai-nilai yang dianut oleh sebagian besar anggota masyarakat
disebut nilai sosial.
Ciri-ciri nilai sosial:
- Nilai sosial merupakan konstruksi abstrak dalam pikiran orang yang tercipta melalui interaksi sosial,
- Nilai sosial bukan bawaan lahir, melainkan dipelajari melalui proses sosialisasi, dijadikan milik diri melalui internalisasi dan akan mempengaruhi tindakan-tindakan penganutnya dalam kehidupan sehari-hari disadari atau tanpa disadari lagi (enkulturasi),
- Nilai sosial memberikan kepuasan kepada penganutnya,
- Nilai sosial bersifat relative,
- Nilai sosial berkaitan satu dengan yang lain membentuk sistem nilai,
- Sistem nilai bervariasi antara satu kebudayaan dengan yang lain,
- Setiap nilai memiliki efek yang berbeda terhadap perorangan atau kelompok,
- Nilai sosial melibatkan unsur emosi dan kejiwaan, dan
- Nilai sosial mempengaruhi perkembangan pribadi.
Fungsi nilai sosial.
Nilai Sosial dapat berfungsi:
- Sebagai faktor pendorong, hal ini berkaitan dengan nilai-nilai yang berhubungan dengan cita-cita atau harapan,
- Sebagai petunjuk arah mengenai cara berfikir dan bertindak, panduan menentukan pilihan, sarana untuk menimbang penghargaan sosial, pengumpulan orang dalam suatu unit sosial,
- Sebagai benteng perlindungan atau menjaga stabilitas budaya.
Kerangka Nilai Sosial
Antara masyarakat yang satu dengan yang lain
dimungkinkan memiliki nilai yang sama atau pun berbeda. Cobalah ingat pepatah
lama dalam Bahasa Indonesia: “Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain
ikannya”, atau pepatah dalam bahasa Jawa: “desa mawa cara, negara mawa tata”. Pepatah-pepatah ini
menunjukkan kepada kita tentang adanya perbedaan nilai di antara masyarakat
atau kelompok yang satu dengan yang lainnya.
Mengetahui sistem nilai yang dianut oleh sekelompok
orang atau suatu masyarakat tidaklah mudah, karena nilai merupakan konsep
asbtrak yang hidup di alam pikiran para warga masyarakat atau kelompok. Namun lima
kerangka nilai dari Cluckhohn yang di Indonesia banyak dipublikasikan oleh
antropolog Koentjaraningrat berikut ini dapat dijadikan acuan untuk mengenali
nilai macam apa yang dianut oleh suatu kelompok atau masyarakat.
Lima kerangka nilai yang dimaksud adalah:
- Tanggapan mengenai hakekat hidup (MH), variasinya: ada individu, kelompok atau masyarakat yang memiliki pandangan bahwa “hidup itu baik” atau “hidup itu buruk”,
- Tanggapan mengenai hakikat karya (MK), variasinya: ada orang yang menganggap karya itu sebagai status, tetapi ada juga yang menganggap karya itu sebagai fungsi,
- Tanggapan mengenai hakikat waktu(MW), variasinya: ada kelompok yang berorientasi ke masa lalu, sekarang atau masa depan,
- Tanggapan mengenai hakikat alam (MA), Variainya: masyarakat Industri memiliki pandangan bahwa manusia itu berada di atas alam, sedangkan masyarakat agraris memiliki pandangan bahwa manusia merupakan bagian dari alam. Dengan pandangannya terhadap alam tersebut, masyarakat industri memiliki pandangan bahwa manusia harus menguasai alam untuk kepentingan hidupnya, sedangkan masyarakat agraris berupaya untuk selalu menyerasikan kehidupannya dengan alam,
Tanggapan
mengenai hakikat manusia (MM),
variasi:
masyarakat tradisional atau feodal memandang orang lain secara
vertikal, sehingga dalam masyarakat tradisional terdapat perbedaan harga
diri (prestige) yang tajam antara para pemimpin (bangsawan) dengan rakyat
jelata. Sedangkan masyarakat industrial memandang manusia
yang satu dengan yang lain secara horizontal (sejajar).
2.5.2Penjelasan
Norma Sosial
PENGERTIAN NORMA SOSIAL
Secara umum, norma merupakan ukuran yang digunakan
oleh masyarakat apakah tindakan yang dilakukan merupakan tindakan dan wajar dan
dapat diterima ataukan merupakan tindakan yang menyimpang karena tidak sesuai
dengan harapan sebagian besar warga masyarakat.
Norma juga merupakan aturan-aturan dengan
sanksi-sanksi yang dimaksudkan untuk mendorong, bahkan menekan anggota
masyarakat secara keseluruhan untuk mencapai nilai-nilai sosial.
Norma dibangun di atas nilai sosial, dan norma sosial
diciptakan untuk mempertahankan nilai sosial.
JENIS – JENIS NORMA SOSIAL
- Tata Cara (Usage)
Tata cara merupakan norma yang menunjuk kepada satu
bentuk perbuatan dengan sanksi yang sangat ringan terhadap pelanggarnya,
misalnya aturan memegang garpu atau sendok ketika makan.
Suatu pelanggaran atau penyimpangan terhadapnya tidak akan mengakibatkan hukuman yang berat, tetapi hanya sekedar celaan atau dinyatakan tidak sopan oleh orang lain.
Beberapa contoh pelanggaran dan sanksi norma sosial berdasarkan tata cara: makan mendecak (mengecap) ketika makan tentu akan dinyatakan tidak sopan oleh orang lain, atau bersendawa ketika makan juga dapat dianggap tidak sopan.
Suatu pelanggaran atau penyimpangan terhadapnya tidak akan mengakibatkan hukuman yang berat, tetapi hanya sekedar celaan atau dinyatakan tidak sopan oleh orang lain.
Beberapa contoh pelanggaran dan sanksi norma sosial berdasarkan tata cara: makan mendecak (mengecap) ketika makan tentu akan dinyatakan tidak sopan oleh orang lain, atau bersendawa ketika makan juga dapat dianggap tidak sopan.
2. Kebiasaan (Folkways)
Kebiasaan atau disebut folkways merupakan cara-cara bertindak yang digemari oleh
masyarakat sehingga dilakukan secara berulang-ulang.
Folkways memiliki kekuatan mengikat yang lebih besar daripada usage, misalnya mengucapkan salam ketika bertemu, atau membukukkan badan sebagai tanda hormat kepada orang yang lebih tua, serta membuang sampah pada tempatnya.
Jika hal-hal tersebut tidak dilakukan, maka dianggap penyimpangan terhadap kebiasaan umum dalam masyarakat dan orang akan menyalahkannya. Sanksinya dapat berupa celaan, cemoohan, teguran, sindiran, atau bahkan digunjingkan masyrakat (gosip).
Folkways memiliki kekuatan mengikat yang lebih besar daripada usage, misalnya mengucapkan salam ketika bertemu, atau membukukkan badan sebagai tanda hormat kepada orang yang lebih tua, serta membuang sampah pada tempatnya.
Jika hal-hal tersebut tidak dilakukan, maka dianggap penyimpangan terhadap kebiasaan umum dalam masyarakat dan orang akan menyalahkannya. Sanksinya dapat berupa celaan, cemoohan, teguran, sindiran, atau bahkan digunjingkan masyrakat (gosip).
3. Tata Kelakuan (Mores)
Tata kelakuan merupakan norma yang bersumber kepada
filsafat, ajaran agama, atau ideologi yang dianut oleh masyarakat. Pelanggarnya
disebut penjahat.
Contoh mores adalah : larangan berzinah, berjudi, minum minuman keras, penggunaan narkotika dan zat-zat adiktif, serta mencuri.
Fungsi mores antara lain :
-Memberikan batas-batas tingkah laku individu.
-Mengidentifikasi individu dengan kelompoknya.
-Menjaga solidaritas antara anggota-anggota masyarakat sehingga mengukuhkan ikatan dan mendorong tercapainya integrasi sosial yang kuat.
Contoh mores adalah : larangan berzinah, berjudi, minum minuman keras, penggunaan narkotika dan zat-zat adiktif, serta mencuri.
Fungsi mores antara lain :
-Memberikan batas-batas tingkah laku individu.
-Mengidentifikasi individu dengan kelompoknya.
-Menjaga solidaritas antara anggota-anggota masyarakat sehingga mengukuhkan ikatan dan mendorong tercapainya integrasi sosial yang kuat.
4. Adat (Customs)
Adat merupakan norma yang tidak tertulis, namun sangat
kuat mengikat sehingga anggota masyarakat yang melanggar adat istiadat akan
menderita karena sanksi keras yang kadang-kadang secara tidak langsung
dikenakan. Misalnya, pada masyarakat Lampung yang melarang terjadinya
perceraian, apabila terjadi suatu perceraian, maka tidak hanya yang
bersangkutan yang mendapat sanksi, tetapi seluruh keluarganya pun ikut
tercemar.
Sanksi atas pelanggaran adat istiadat dapat berupa pengucilan, dikeluarkan dari masyarakat/kastanya, atau harus memenuhi persyaratan tertentu, seperti melakukan upacara tertentu untuk media rehabilitasi diri.
Sanksi atas pelanggaran adat istiadat dapat berupa pengucilan, dikeluarkan dari masyarakat/kastanya, atau harus memenuhi persyaratan tertentu, seperti melakukan upacara tertentu untuk media rehabilitasi diri.
5. Hukum (Laws)
Hukum merupakan norma yang bersifat formal dan berupa
aturan tertulis. Sanksi terhadap pelanggar sifatnya paling tegas dibanding
dengan norma-norma lainnya.
Hukum adalah suatu rangkaian aturan yang ditujukan kepada anggota masyarakat yang berisi ketentuan-ketentuan, perintah, kewajibam, ataupun larangan, agar dalam masyarakat tercipta suatu ketertiban dan keadilan. Ketentuan-ketentuan dalam norma hukum lazimnya dikodifikasikan dalam bentuk kitab undang-undang atau konvensi-konvensi.
Sanksi yang diberikan dapat berupa denda atau hukuman fisik.
Hukum adalah suatu rangkaian aturan yang ditujukan kepada anggota masyarakat yang berisi ketentuan-ketentuan, perintah, kewajibam, ataupun larangan, agar dalam masyarakat tercipta suatu ketertiban dan keadilan. Ketentuan-ketentuan dalam norma hukum lazimnya dikodifikasikan dalam bentuk kitab undang-undang atau konvensi-konvensi.
Sanksi yang diberikan dapat berupa denda atau hukuman fisik.
6. Norma agama
Norma agama adalah peraturan sosial yang sifatnya
mutlak sebagaimana penafsirannya dan tidak dapat ditawar-tawar atau diubah
ukurannya karena berasal dari Tuhan.
Biasanya berasal dari ajaran agama dan kepercayaan-kepeercayaan lainnya.
Pelanggaran terhadap norma agama disebut dosa.
Contoh Norma Agama : sembhayang kepada Tuhan, tidak boleh mencuri, tidak boleh berbohong, tidak boleh membunuh, dan sebagainya.
Biasanya berasal dari ajaran agama dan kepercayaan-kepeercayaan lainnya.
Pelanggaran terhadap norma agama disebut dosa.
Contoh Norma Agama : sembhayang kepada Tuhan, tidak boleh mencuri, tidak boleh berbohong, tidak boleh membunuh, dan sebagainya.
7. Norma kesopanan atau etika
Norma kesopanan adalah peraturan sosial yang mengarah
pada hal-hal yang berkenaan dengan bagaimana seseorang harus bertingkah laku
yang wajar dalam kehidupan bermasyarakat. Pelanggaran terhadap norma ini akan
mendapatkan celaan, kritik, dan lain-lain tergantung pada tingkat pelanggaran.
Norma kesopanan bersifat relatif, artinya apa yang dianggap sebagai norma kesopanan berbeda-beda di berbagai tempat, lingkungan, atau waktu.
Contoh Norma kesopanan :
1. Menghormati orang yang lebih tua
2. Tidak meludah sembarangan
3. Tidak berkata kotor, kasar, dan sombong
Norma kesopanan bersifat relatif, artinya apa yang dianggap sebagai norma kesopanan berbeda-beda di berbagai tempat, lingkungan, atau waktu.
Contoh Norma kesopanan :
1. Menghormati orang yang lebih tua
2. Tidak meludah sembarangan
3. Tidak berkata kotor, kasar, dan sombong
8. Norma kesusilaan
Norma kesusilaan adalah peraturan sosial yang berasal
dari hati nurani yang menghasilkan akhlak, sehingga seseorang dapat membedakan
apa yang dianggap baik dan apa pula yang dianggap buruk.
Pelanggaran terhadap norma ini berakibat sanksi pengucilan secara fisik (dipenjara, diusir) ataupun batin (dijauhi).
Contoh: Orang yang berhubungan intim di tempat umum akan dicap tidak susila,melecehkan wanita atau laki-laki di depan orang.
Pelanggaran terhadap norma ini berakibat sanksi pengucilan secara fisik (dipenjara, diusir) ataupun batin (dijauhi).
Contoh: Orang yang berhubungan intim di tempat umum akan dicap tidak susila,melecehkan wanita atau laki-laki di depan orang.
9. Norma hukum
Norma hukum adalah aturan sosial yang dibuat oleh
lembaga-lembaga tertentu, misalnya pemerintah, sehingga dengan tegas dapat
melarang serta memaksa orang untuk dapat berperilaku sesuai dengan keinginan
pembuat peraturan itu sendiri. Pelanggaran terhadap norma ini berupa sanksi
denda sampai hukuman fisik (dipenjara, hukuman mati).
Ketentuan-ketentuan bersumber pada kitab undang-undang suatu negara.
Ketentuan-ketentuan bersumber pada kitab undang-undang suatu negara.
FUNGSI NORMA SOSIAL
- Sebagai pedoman atau patokan perilaku dalam masyarakat.
- Merupakan wujud konkret dari nilai-nilai yang ada di masyarakat.
- Suatu standar atau skala dari berbagai kategori tingkah laku suatu masyarakat.
4. Hubungan antara nilai dengan norma
sosial
5. Di dalam masyarakat yang terus
berkembang, nilai senantiasa ikut berubah. Pergeseran nilai dalam banyak hal
juga akan mempengaruhi kebiasaan-kebiasaan ataupun tata kelakuan yang berlaku
dalam masyarakat. Di wilayah perdesaan, sejak berbagai siaran dan tayangan
telivisi swasta mulai dikenal, perlahan-lahan terlihat bahwa di dalam
masyarakat itu mulai terjadi pergesaran nilai, misalnya tentang kesopanan.
Tayangan-tayangan yang didominasi oleh sinetron-sinetron mutakhir yang acapkali
memperlihatkan artis-artis yang berpakaian relatif terbuka, sedikit banyak
menyebabkan batas-batas toleransi masyarakat menjadi semakin longgar. Berbagai
kalangan semakin permisif terhadap kaum remaja yang pada mulanya berpakaian
normal, menjadi ikut latah berpakaian minim dan terkesan makin berani. Model
rambut panjang kehitaman yang dulu menjadi kebanggaan gadis-gadis desa, mungkin
sekarang telah dianggap sebagai simbol ketertinggalan. Sebagai gantinya, yang
sekarang dianggap trendy dan sesuai dengan konteks zaman sekarang (modern)
adalah model rambut pendek dengan warna pirang atau kocoklat-coklatan.
Jadi berubahnya nilai akan berpengaruh terhadap norma-norma yang berlaku dalam
masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar