Sabtu, 19 September 2015

SHAME CULTURE, GUIT CULTURE, NILA DAN NORMA, KEBEBASAN DAN TANGGUNG JAWAB.


2.1 Shame Culture (Budaya Malu), Guilt Culture (Budaya Bersalah)
Pada  tahun 1948 Ruth Benedict seorang antroplog  dalam bukunya yang berjudul  The Chrysanthemum and the Sword, memperkenalkan istilah Shame Culture (Budaya Malu) dan Guilt Culture (Budaya Bersalah) yang digunakan sebagai dikotomi pembagian  bagaimana pola pikir Barat  dan Timur.  Barat  di kategorikan sebagai guilt culture dimana  orang merasa  bersalah kalau melakukan sesuatu perbuatan yang salah sekalipun tidak ada yang melihat. Contohnya di Jerman dan negara negara Eropa Barat (kecuali Inggris), kalau anda naik kereta api dan bis dalam kota  tidak ada yang memeriksa apakah anda punya tiket atau tidak, tapi orang orang yang menggunakan moda transport tersebut tetap membeli tiket sesuai dengan tujuannya masing masing karena mereka merasa bersalah (guilt) kalau naik transportasi umum tidak membayar.
Sebaliknya suatu bangsa  yang  menganut  shame culture, orang akan terus melakukan sesuatu  perbuatan  yang salah  dan merasa nyaman saja  dan akan merasa malu (shame) jika diketahui orang lain. Menurut pandangan ini budaya malu (shame  culture) adalah kebudayaan dimana  kata kata seperti “hormat”, “reputasi” , “nama baik”,  “status”, dan “gengsi” sangat ditekankan. Bila seseorang melakukan suatu kejahatan, hal ini  tidak dianggap  sebagai sesuatu yang buruk begitu saja, tetapi boleh disembunyikan demi kepentingan yang lebih besar. Malapetaka  hanyalah terjadi  bilamana kesalahan tersebut diketahui oleh orang lain sehingga pelaku kehilangan muka. Jadi jangan heran jika laporan KPK di intervensi, kasus Century masih kabur, KPK dan Polisi  saling berkelahi semuanya itu dilakukan demi menyelamatkan yang namanya hormat”, “reputasi” , “nama baik”,  “status”, dan “gengsi.
Ketika terjadi promosi jabatan untuk sejumlah bekas terpidana korupsi di Provinsi Kepulauan Riau  beberapa pakar berkomentar: “rasa malu di kalangan pejabat publik Indonesia semakin menipis”. Jika dibiarkan, kondisi ini rawan menyuburkan praktik korupsi di pemerintahan. “Kalau punya malu, mereka semestinya tak bekerja lagi sebagai pegawai negeri sipil (PNS), apalagi kemudian diangkat menjadi pejabat publik,” kata Guru Besar Ilmu Politik Universitas Pertahanan Indonesia, Salim Said, di Jakarta, Rabu (24/10/2012).Menurut Salim Said, pengangkatan para mantan terpidana korupsi sebagai pejabat itu mencerminkan bahwa orang tak merasa malu lagi untuk bekerja melayani publik meski cacat moral. Orang yang terbukti korup itu berarti telah mengkhianati amanat melayani rakyat.
“Enak saja, mereka sudah korup, diadili dan terbukti korupsi, dijatuhi hukuman, kok malah balik lagi menjadi pejabat. Mereka harus mundur dari jabatannya,” kata Salim.  “Siapa saja yang pernah dihukum karena korupsi tidak boleh lagi diangkat menjadi pejabat publik dalam semua tingkat selamanya,” katanya.
Wajar saja Prof  Salim geram, tapi kalau  Ruth Benedict masih hidup dan sekalipun terdapat pro dan kontra terhadap doktrinnya dikalangan para antropolog,  melihat fakta di mana  orang yang jelas jelas  bersalah (guilt) tapi tetap saja tidak memiliki rasa malu (shame)  mungkin beliau akan menambah satu  lagi tipologi nya  menjadi  No Culture  khusus  kepada   orang orang semacam ini. Diawal awal penelitiannya  Ruth Benedict menggunakan  sampel  Amerika sebagai guilt culture dan Jepang sebagai  shame culture.  Tapi penelitian yang dilakukan oleh Prof. Creighton dari University of British Columbia  Vancouver  membuktikan bahwa orang Jepang ternyata lebih ke guilt culture.  Sifat  kesahihan penelitian ilmu sosial adalah  tentatif: diterima   bila sementara  belum ada teori baru yang menyanggahnya.  Lihat saja  tipologi dimensi Hofstede National Culture yang awalnya cuma ada empat: Power Distance, Uncertainty Avoidance, Masculine  vs Feminine, Collectivism vs Individualism, begitu sampai ke Asia timbul satu dimensi baru yang namanya Long Term Orientation. Melihat fakta fakta yang terjadi di negara tercinta, tidak kah anda merasa malu bila  satu dimensi yang bernama No Culture atau apapun namanya akan  muncul dengan mengambil sampel  Indonesia? (Ismirajiani, 2012)

2.1.1 Ciri-ciri Shame Culture dan Guilt Culture

Ciri-ciri Shame Culture
1. Ditandai rasa malu
2. Menekankan pengertian ; hormat, reputasi, nama baik, status dan gengsi
3. Bila melakukan kejahatan harus disembunyikan dari orang lain.
4. Sanksi datang dari luar, yaitu apa yang dipikirkan dan dikatakan oleh orang lain
5. HATI NURANI hampir tidak berperan
Ciri-ciri Guilt Culture
1. Ditandai rasa bersalah
2. Dosa dan kebersalahan
3. Kendati suatu kejahatan tidak diketahui oleh orang lain, pelaku tetap
merasa bersalah
4. Sanksi datang dari dalam, yaitu batin/hati pelaku
5. Hati nurani berperan sangat penting
6. Ditandai oleh martabat manusia (kaskus, 2006)
2.2 Kebebasan dan Tanggung Jawab
2.2.1 Pengertian Kebebasan
 Dalam KBBI bebas adalah lepas sama sekali (tidak terhalang, terganggu, dsb sehingga dapat bergerak, berbicara, berbuat, dsb dengan leluasa). Dalam filsafat pengertian kebebasan adalah Kemampuan manusia untuk menentukan dirinya sendiri. Kebebasan lebih bermakna positif, dan ia ada sebagai konsekuensi dari adanya potensi manusia untuk dapat berpikir dan berkehendak. Sudah menjadi kodrat manusia untuk menjadi mahluk yang memiliki kebebasan, bebas untuk berpikir, berkehandak, dan berbuat.
 Lebih jauh, Kamus John Kersey mengartikan bahwa ‘kebebasan’ adalah sebagai ‘kemerdekaan, meninggalkan atau bebas meninggalkan.’ Artinya, semua orang bebas untuk tidak melakukan atau melakukan suatu hal. Pengertian yang lebih banyak memiliki unsur-unsur hukum bisa dilihat dari definisi ‘kebebasan’ dari Kamus Hukum Black. Menurut Black, ‘kebebasan’ diartikan sebagai sebuah kemerdekaan dari semua bentuk-bentuk larangan kecuali larangan yang telah diatur didalam undang-undang.
Beberapa Arti Kebebasan
 I.            Kebebasan Sosial Politik
 Dalam perspektif etika, kebebasan juga bisa dibagi antara kebebasan sosial-politik dan kebebasan individual. Subyek kebebasan sosial-politik –yakni, yang disebut bebas di sini—adalah suatu bangsa atau rakyat. Kebebasan sosial-politik sebagian besarnya merupakan produk perkembangan sejarah, atau persisnya produk perjuangan sepanjang sejarah.
 Ada dua bentuk kebebasan rakyat dengan kekuasaan absolute raja, contoh piagam Magna Charta (1215), yang terpaksa dikeluarkan oleh Raja John untuk memberikan kebebasan-kebebasan tertentu kepada baron dan uskup Inggris. Kedua kemerdekaan dengan kolinialisme, contoh The Declaration of Indepndence (1766),  dimana Amerika Serikat merupakan negara pertama yang melepaskan dari kekuasaan Inggris. 
 II.            Kebebasan Individual
 Berbeda dengan kebebasan sosial-politik, subyek kebebasan individual adalah manusia perorangan. Dari sudut pandang perorangan, juga terdapat beberapa arti ”kebebasan” yang bisa dipaparkan di sini. Sebagai contoh, terkadang kebebasan diartikan dengan.
  • Kesewenang-wenangan
 Orang disebut bebas bila ia dapat berbuat atau tidak berbuat sesuka hatinya. Di sini “bebas” dimengerti sebagai terlepas dari segala kewajiban dan keterikatan. Dapat dikatakan bertindak semau gue itulah kebebasan. Kebebasan dalam arti kesewenang-wenangan sebenarnya tidak pantas disebut “kebebasan”.
 Di sini kata “bebas” disalahgunakan. Sebab, “bebas” sesungguhnya tidak berarti lepas dari segala keterikatan. Kebebasan yang sejati mengandaikan keterikan oleh norma-norma. Norma tidak menghambat adanya kebebasan, tapi justru memungkinkan tingkah laku bebas.
  • Kebebasan Fisik
 Yakni, ”bebas” diartikan dengan tidak adanya paksaan atau rintangan dari luar. Ini merupakan pengertian yang dangkal, karena bisa jadi secara fisik seseorang dipenjara, tetapi jiwanya bebas merdeka. Sebaliknya, ada orang yang secara fisik bebas, tetapi jiwanya tidak bebas, jiwanya diperbudak oleh hawa nafsunya, dan lain-lain.
 Biarpun dengan kebebasan fisik belum terwujud kebebasan yang sebenarnya, namun kebebasan ini patut dinilai positif. Jika kebebasan dalam arti kesewenang-wenangan harus ditolak sebagai penyalahgunaan kata “kebebasan”, maka kebebasan fisik bisa kita hargai tanpa ragu-ragu.
  • Kebebasan Yuridis
 Kebebasan ini berkaitan dengan hukum dan harus dijamin oleh hukum. Kebebasan yuridis merupakan sebuah aspek dari hak-hak manusia. Sebagaimana tercantum pada Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia (HAM), yang dideklarasikan oleh PBB tahun 1948.
 Kebebasan dalam artian ini adalah syarat-syarat fisis dan sosial yang perlu dipenuhi agar kita dapat menjalankan kebebasan kita secara konkret. Kebebasan yuridis menandai situasi kita sebagai manusia. Kebebasan ini mengandalkan peran negara, yang membuat undang-undang yang cocok untuk keadaan konkret.
  1. Kebebasan yang didasarkan pada hukum kodrat, sama dengan hak asasi manusia seperti dirumuskan dalam deklrasi universal. Manusia bebas bekerja, memilih profesinya dan mempunyai milik sendiri, menikah, dan banyak hal lain lagi. Terdapat pula kebebasan beragama dan hati nurani.
  2. Kebebasan yang didasarkan pada hukum positif, diciptakan oleh negara melalui penjabaran dan perincian kebebasan yang didasarkan pada hukum kodrat.
  • Kebebasan Psikologis
 Adalah kemampuan yang dimiliki manusia untuk mengembangkan serta mengarahkan hidupnya. Nama lain untuk kebebasan psikologis itu adalah ”kehendak bebas’ (free will). Kemampuan ini menyangkut kehendak, bahkan ciri khas. Kebebasan ini berkaitan erat dengan kenyataan bahwa manusia adalah makhluk berrasio.
 Jika manusia bertindak bebas, itu berarti ia tahu apa yang diperbuatnya dan apa sebab diperbuatnya. Berkat kebebasan ini ia dapat memberikan suatu makna kepada perbuatannya. Kemungkinan untuk memilih antara pelbagai alternatif merupakan aspek penting dari kebebasan psikologis.
  • Kebebasan Moral
 Sebetulnya masih terkait erat dengan kebebasan psikologis, namun tidak boleh disamakan dengannya. Kebebasan moral mengandaikan kebebasan psikologis, sehingga tanpa kebebasan psikologis tidak mungkin terdapat kebebasan moral. Namun, kebebasan psikologis tidak berarti otomatis menjamin adanya kebebasan moral.
 Cara yang paling jelas untuk membedakan kebebasan psikologis dengan kebebasan moral adalah bahwa kebebasan psikologis berarti bebas begitu saja (free), sedangkan kebebasan moral berarti suka rela (voluntary) atau tidak terpaksa secara moral, walaupun ketika mengambil keputusan itu seseorang melakukan secara sadar dan penuh pertimbangan (kebebasan psikologis).
  • Kebebasan Eksistensial
                Kebebasan yang menyeluruh yang menyangkut seluruh pribadi manusia dan tidak terbatas pada salah satu aspek saja. Kebebasan ekstensial adalah kebebasan tertinggi. Kebebasan ekstensial adalah konteks etis. Kebebasan ini terutama merupakan suatu ideal atau cita-cita yang bisa memberi arah dan makna kepada kehidupan manusia.
Orang yang bebas secara eksistensial seolah-olah “memiliki dirinya sendiri.” Ia mencapai taraf otonomi, kedewasaan, otentisitas dan kematangan rohani. Ia lepas dari segala alienasi atau keterasingan, yakni keadaan di mana manusia terasing dari dirinya dan justru tidak “memiliki” dirinya sendiri. Kebebasan ini selalu patut dikejar, tapi jarang akan terealisasi sepenuhnya.
Beberapa Masalah Mengenai Kebebasan
 I.                   Kebebasan Negatif dan Kebebasan Positif
 Beberapa tahun yang lalu, seorang filsuf politikus terkemuka, Isaiah Berlin secara resmi merangka perbedaan antara dua prespektif ini sebagai perbedaan antara dua konsep kebebasan yang berlawanan: kebebasan positif dan kebebasan negatif. sebagai dua aliran dalam filosofi politik demokratis – dua model yang membedakan John Locke dari Jean-Jacques Rousseau. Keduanya mempengaruhi motivasi hidup seseorang dalam lingkungan tertentu.
Kebebasan negatif adalah adalah bebas dari hambatan dan diperintah oleh orang lain. William Ernest Hockin, Freedom of the Pers: A Framework of Principle (1947). Hockin menyatakan definisi kebebasan berbeda dari liberalisme klasik dimana kebebasan (negatif) berarti tidak adanya batasan.
 Kebebasan positif adalah tersedianya kesempatan untuk menjadi penentu atas kehidupan Anda sendiri dan untuk membuatnya bermakna dan signifikan. Kebebasan positif adalah poros konseptual tempat berkembangnya tanggung jawab sosial. Implikasi hukum dari kebebasan positif dikembangkan oleh Zechariah Chafee dalam karya dua jilid nya Government and Mass Communciation (1947).
 II.                Batas-batas Kebebasan
Kebebasan mempunyai beberapa batas-batasan. Batasan ini ada agar kita bisa mengendalikan pemikiran kita mengenai kebebasan itu.
  • Faktor-faktor dari dalam
Kebebasan pertama-tama dibatasi oleh faktor-faktor dari dalam, baik fisik maupun psikis.
  • Lingkungan
 Kebabasan yang dibatasai oleh lingkungan, baik ilmiah maupun sosial. Lingkungan ini sangat menentukan pandangan kita mengenai kebebasan. Karena di setiap lingkungan yang berbeda maka mereka mempunya pandangan yang berbeda pula.
  • Orang Lain
 Dalam budaya Barat, undang-undanglah yang menentukan batasan kebebasan dan undang-undang ini hanya menyoroti masalah sosial yang ada. Artinya, undang-undang mengatakan bahwa kebebasan seorang tidak boleh menodai kebebasan orang lain dan membahayakan kepentingan mereka. Setiap manusia memiliki kebebasannya masing-masing dan hal tersebut menjadi pembatas bagi kebebasan menusia yang lainnya. Hak setiap manusia atas kebebasan yang sama.
 Sejalan dengan ketentuan peraluran perundang-undangan yang berlaku dan prinsip hukum internasional sebagaimana tercantum dalam Pasal 29 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi.
2.4.2 TANGGUNG JAWAB
 Tanggungjawab berkaitan dengan “penyebab”. Yang bertanggung jawab hanya yang menyebabkan atau yang melakukan tindakan. Tidak ada tanggungjawab tanpa kebebasan dan sebaliknya. Bertanggung jawab berarti dapat menjawab, bila ditanyai tentang perbuatan-perbuatan yang dilakukan. Orang yang bertanggung jawab dapat diminta penjelasan tentang tingkah lakunya dan bukan saja ia bisa menjawab tetapi juga harus menjawab.
 Tanggung jawab berarti bahwa orang tidak boleh mengelak bila diminta penjelasan tentang tingkah laku atau perbuatannya. Dalam tanggung jawab terkandung pengertian penyebab. Orang bertanggung jawab atas sesuatu yang disebabkan olehnya. Orang yang tidak menjadi penyebab suatu akibat maka dia tidak harus bertanggung jawab juga. Tanggung jawab bisa berarti langsung atau tidak langsung.
Tanggung jawab pun bisa berarti prospektif ataupun retrospektif.
  • Tanggung jawab prospektif, bertanggung jawab atas perbuatan yang akan datang,
  • Sedang tanggung jawab retrospektif, adalah tanggung jawab atas perbuatan yang telah berlangsung dengan segala konsekuensinya,
 Manusia adalah mahluk sosial. Dalam kesosialannya diandaikan kebebasan dan setiap kesosialan yang mengandaikan kebebasan selalu lahir implikasi yang harus dipertanggungjawabkan Kebebasan yang kita miliki tidak boleh diisi dengan sewenang-wenang, tetapi secara bermakna. (Semakin bebas, semakin bertanggung jawab).
2.5  nilai dan norma
2.5.1 Penjelasan Nilai Sosial
Nilai sosial adalah sebuah konsep abstrak dalam diri manusia mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk, indah atau tidak indah, dan benar atau salah.

Pengertian

Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk oleh masyarakat.
Untuk menentukan sesuatu itu dikatakan baik atau buruk, pantas atau tidak pantas harus melalui proses menimbang. Hal ini tentu sangat dipengaruhi oleh kebudayaan yang dianut masyarakat. Tak heran apabila antara masyarakat yang satu dan masyarakat yang lain terdapat perbedaan tata nilai.

Klasifikasi

Berdasarkan ciri-cirinya, nilai sosial dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu nilai dominan dan nilai mendarah daging (internalized value).

Nilai dominan

Nilai dominan adalah nilai yang dianggap lebih penting daripada nilai lainnya. Ukuran dominan tidaknya suatu nilai didasarkan pada hal-hal berikut.
  • Banyak orang yang menganut nilai tersebut. Contoh, sebagian besar anggota masyarakat menghendaki perubahan ke arah yang lebih baik di segala bidang, seperti politik, ekonomi, hukum, dan sosial.
  • Berapa lama nilai tersebut telah dianut oleh anggota masyarakat.
  • Tinggi rendahnya usaha orang untuk dapat melaksanakan nilai tersebut. Contoh, orang Indonesia pada umumnya berusaha pulang kampung (mudik) di hari-hari besar keagamaan, seperti Lebaran atau Natal.
  • Prestise atau kebanggaan bagi orang yang melaksanakan nilai tersebut. Contoh, memiliki mobil dengan merek terkenal dapat memberikan kebanggaan atau prestise tersendiri.

Nilai mendarah daging (internalized value)

Nilai mendarah daging adalah nilai yang telah menjadi kepribadian dan kebiasaan sehingga ketika seseorang melakukannya kadang tidak melalui proses berpikir atau pertimbangan lagi (bawah sadar). Biasanya nilai ini telah tersosialisasi sejak seseorang masih kecil. Umumnya bila nilai ini tidak dilakukan, ia akan merasa malu, bahkan merasa sangat bersalah. Contoh, seorang kepala keluarga yang belum mampu memberi nafkah kepada keluarganya akan merasa sebagai kepala keluarga yang tidak bertanggung jawab. Demikian pula, guru yang melihat siswanya gagal dalam ujian akan merasa gagal dalam mendidik anak tersebut.
Bagi manusia, nilai berfungsi sebagai landasan, alasan, atau motivasi dalam segala tingkah laku dan perbuatannya. Nilai mencerminkan kualitas pilihan tindakan dan pandangan hidup seseorang dalam masyarakat. Menurut Notonegoro,nilai sosial terbagi 3, yaitu:
  1. Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi fisik/jasmani seseorang.
  2. Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang mendukung aktivitas seseorang.
  3. Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi jiwa/psikis seseorang.
Satu bagian penting dari kebudayaan atau suatu masyarakat adalah nilai sosial. Suatu tindakan dianggap sah, dalam arti secara moral diterima, kalau tindakan tersebut harmonis dengan nilai-nilai yang disepakati dan dijunjung tinggi oleh masyarakat di mana tindakan tersebut dilakukan.  Dalam sebuah masyarakat yang menjunjung tinggi kasalehan beribadah, maka apabila ada orang yang malas beribadah tentu akan menjadi bahan pergunjingan, cercaan, celaan, cemoohan, atau bahkan makian.  Sebaliknya, kepada orang-orang yang rajin beribadah, dermawan, dan seterusnya, akan dinilai sebagai orang yang pantas, layak, atau bahkan harus dihormati dan diteladani.
Dalam Kamus Sosiologi yang disusun oleh Soerjono Soekanto disebutkan bahwa nilai (value) adalah konsepsi-konsepsi abstrak di dalam diri manusia, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Horton dan Hunt (1987) menyatakan bahwa nilai adalah gagasan mengenai apakah suatu pengalaman itu berarti apa tidak berarti. Dalam rumusan lain, nilai merupakan anggapan terhadap sesuatu hal, apakah sesuatu itu pantas atau tidak pantas, penting atau tidak penting, mulia ataukah hina. Sesuatu itu dapat berupa benda, orang, tindakan, pengalaman, dan seterusnya.
Macam-macam Nilai Sosial
Prof. Notonegoro membedakan nilai menjadi tiga macam, yaitu: (1) Nilai material, yakni meliputi berbagai konsepsi mengenai segala sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia, (2) Nilai vital, yakni meliputi berbagai konsepsi yang berkaitan dengan segala sesuatu yang berguna bagi manusia dalam melaksanakan berbagai aktivitas, dan (3) Nilai kerohanian, yakni meliputi berbagai konsepsi yang berkaitan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan kebutuhan rohani manusia: nilai kebenaran, yakni yang bersumber pada akal manusia (cipta), nilai keindahan, yakni yang bersumber pada unsur perasaan (estetika), nilai moral, yakni yang bersumber pada unsur kehendak (karsa), dan nilai keagamaan (religiusitas), yakni nilai yang bersumber pada revelasi (wahyu) dari Tuhan.
Nilai individual – nilai sosial
Seorang individu mungkin memiliki nilai-nilai yang berbeda, bahkan bertentangan dengan individu-individu lain dalam masyarakatnya. Nilai yang dianut oleh seorang individu dan berbeda dengan nilai yang dianut oleh sebagaian besar anggota masyarakat dapat disebut sebagai nilai individual. Sedangkan nilai-nilai yang dianut oleh sebagian besar anggota masyarakat disebut nilai sosial.
Ciri-ciri nilai sosial:
  • Nilai sosial merupakan konstruksi abstrak dalam pikiran orang yang tercipta melalui interaksi sosial,
  • Nilai sosial bukan bawaan lahir, melainkan dipelajari melalui proses sosialisasi, dijadikan milik diri melalui internalisasi dan akan mempengaruhi tindakan-tindakan penganutnya dalam kehidupan sehari-hari disadari atau tanpa disadari lagi (enkulturasi),
  • Nilai sosial memberikan kepuasan kepada penganutnya,
  • Nilai sosial bersifat relative,
  • Nilai sosial berkaitan satu dengan yang lain membentuk sistem nilai,
  • Sistem nilai bervariasi antara satu kebudayaan dengan yang lain,
  • Setiap nilai memiliki efek yang berbeda terhadap perorangan atau kelompok,
  • Nilai sosial melibatkan unsur emosi dan kejiwaan, dan
  • Nilai sosial mempengaruhi perkembangan pribadi.
Fungsi nilai sosial.
Nilai Sosial dapat berfungsi:
  • Sebagai faktor pendorong, hal ini berkaitan dengan nilai-nilai yang berhubungan dengan cita-cita atau harapan,
  • Sebagai petunjuk arah mengenai cara berfikir dan bertindak, panduan menentukan pilihan, sarana untuk menimbang penghargaan sosial, pengumpulan orang dalam suatu unit sosial,
  • Sebagai benteng perlindungan atau menjaga stabilitas budaya.
Kerangka Nilai Sosial
Antara masyarakat yang satu dengan yang lain dimungkinkan memiliki nilai yang sama atau pun berbeda. Cobalah ingat pepatah lama dalam Bahasa Indonesia:  “Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”, atau pepatah dalam bahasa Jawa:  “desa mawa cara, negara mawa tata”. Pepatah-pepatah ini menunjukkan kepada kita tentang adanya perbedaan nilai di antara masyarakat atau kelompok yang satu dengan yang lainnya.
Mengetahui sistem nilai yang dianut oleh sekelompok orang atau suatu masyarakat tidaklah mudah, karena nilai merupakan konsep asbtrak yang hidup di alam pikiran para warga masyarakat atau kelompok. Namun lima kerangka nilai dari Cluckhohn yang di Indonesia banyak dipublikasikan oleh antropolog Koentjaraningrat berikut ini dapat dijadikan acuan untuk mengenali nilai macam apa yang dianut oleh suatu kelompok atau masyarakat.
Lima kerangka nilai yang dimaksud adalah:
  • Tanggapan mengenai hakekat hidup (MH), variasinya: ada individu, kelompok atau masyarakat yang memiliki pandangan bahwa “hidup itu baik” atau “hidup itu buruk”,
  • Tanggapan mengenai hakikat karya (MK), variasinya: ada orang yang menganggap karya itu sebagai status, tetapi ada juga yang menganggap karya itu sebagai fungsi,
  • Tanggapan mengenai hakikat waktu(MW), variasinya: ada kelompok yang berorientasi ke masa lalu, sekarang atau masa depan,
  • Tanggapan mengenai hakikat alam (MA), Variainya:  masyarakat Industri memiliki pandangan bahwa manusia itu berada di atas alam, sedangkan masyarakat agraris memiliki pandangan bahwa manusia merupakan bagian dari alam.  Dengan pandangannya terhadap alam tersebut, masyarakat industri memiliki pandangan bahwa manusia harus menguasai alam untuk kepentingan hidupnya, sedangkan masyarakat agraris berupaya untuk selalu menyerasikan kehidupannya dengan alam,
Tanggapan mengenai hakikat manusia (MM),            variasi: masyarakat tradisional  atau feodal  memandang orang lain secara vertikal, sehingga dalam masyarakat tradisional terdapat perbedaan  harga diri (prestige) yang tajam antara para pemimpin (bangsawan) dengan rakyat jelata.  Sedangkan masyarakat industrial memandang  manusia  yang satu dengan yang lain secara horizontal (sejajar).
2.5.2Penjelasan Norma Sosial
PENGERTIAN NORMA SOSIAL
Secara umum, norma merupakan ukuran yang digunakan oleh masyarakat apakah tindakan yang dilakukan merupakan tindakan dan wajar dan dapat diterima ataukan merupakan tindakan yang menyimpang karena tidak sesuai dengan harapan sebagian besar warga masyarakat.
Norma juga merupakan aturan-aturan dengan sanksi-sanksi yang dimaksudkan untuk mendorong, bahkan menekan anggota masyarakat secara keseluruhan untuk mencapai nilai-nilai sosial.
Norma dibangun di atas nilai sosial, dan norma sosial diciptakan untuk mempertahankan nilai sosial.
JENIS – JENIS NORMA SOSIAL
  1. Tata Cara (Usage)
Tata cara merupakan norma yang menunjuk kepada satu bentuk perbuatan dengan sanksi yang sangat ringan terhadap pelanggarnya, misalnya aturan memegang garpu atau sendok ketika makan.
Suatu pelanggaran atau penyimpangan terhadapnya tidak akan mengakibatkan hukuman yang berat, tetapi hanya sekedar celaan atau dinyatakan tidak sopan oleh orang lain.
Beberapa contoh pelanggaran dan sanksi norma sosial berdasarkan tata cara:  makan mendecak (mengecap) ketika makan tentu akan dinyatakan tidak sopan oleh orang lain, atau bersendawa ketika makan juga dapat dianggap tidak sopan.
2.       Kebiasaan (Folkways)
Kebiasaan atau disebut folkways merupakan cara-cara bertindak yang digemari oleh masyarakat sehingga dilakukan secara berulang-ulang.
Folkways memiliki kekuatan mengikat yang lebih besar daripada usage, misalnya mengucapkan salam ketika bertemu, atau membukukkan badan sebagai tanda hormat kepada orang yang lebih tua, serta membuang sampah pada tempatnya.
Jika hal-hal tersebut tidak dilakukan, maka dianggap penyimpangan terhadap kebiasaan umum dalam masyarakat dan orang akan menyalahkannya. Sanksinya dapat berupa celaan, cemoohan, teguran, sindiran, atau bahkan digunjingkan masyrakat (gosip).
3.       Tata Kelakuan (Mores)
Tata kelakuan merupakan norma yang bersumber kepada filsafat, ajaran agama, atau ideologi yang dianut oleh masyarakat. Pelanggarnya disebut penjahat.
Contoh mores adalah : larangan berzinah, berjudi, minum minuman keras, penggunaan narkotika dan zat-zat adiktif, serta mencuri.
Fungsi mores antara lain :
-Memberikan batas-batas tingkah laku individu.
-Mengidentifikasi individu dengan kelompoknya.
-Menjaga solidaritas antara anggota-anggota masyarakat sehingga mengukuhkan ikatan dan mendorong tercapainya integrasi sosial yang kuat.
4.       Adat (Customs)
Adat merupakan norma yang tidak tertulis, namun sangat kuat mengikat sehingga anggota masyarakat yang melanggar adat istiadat akan menderita karena sanksi keras yang kadang-kadang secara tidak langsung dikenakan. Misalnya, pada masyarakat Lampung yang melarang terjadinya perceraian, apabila terjadi suatu perceraian, maka tidak hanya yang bersangkutan yang mendapat sanksi, tetapi seluruh keluarganya pun ikut tercemar.
Sanksi atas pelanggaran adat istiadat dapat berupa pengucilan, dikeluarkan dari masyarakat/kastanya, atau harus memenuhi persyaratan tertentu, seperti melakukan upacara tertentu untuk media rehabilitasi diri.
5.       Hukum (Laws)
Hukum merupakan norma yang bersifat formal dan berupa aturan tertulis. Sanksi terhadap pelanggar sifatnya paling tegas dibanding dengan norma-norma lainnya.
Hukum adalah suatu rangkaian aturan yang ditujukan kepada anggota masyarakat yang berisi ketentuan-ketentuan, perintah, kewajibam, ataupun larangan, agar dalam masyarakat tercipta suatu ketertiban dan keadilan. Ketentuan-ketentuan dalam norma hukum lazimnya dikodifikasikan dalam bentuk kitab undang-undang atau konvensi-konvensi.
Sanksi yang diberikan dapat berupa denda atau hukuman fisik.
6.       Norma agama
Norma agama adalah peraturan sosial yang sifatnya mutlak sebagaimana penafsirannya dan tidak dapat ditawar-tawar atau diubah ukurannya karena berasal dari Tuhan.
Biasanya berasal dari ajaran agama dan kepercayaan-kepeercayaan lainnya.
Pelanggaran terhadap norma agama disebut dosa.
Contoh Norma Agama : sembhayang kepada Tuhan, tidak boleh mencuri, tidak boleh berbohong, tidak boleh membunuh, dan sebagainya.
7.       Norma kesopanan atau etika
Norma kesopanan adalah peraturan sosial yang mengarah pada hal-hal yang berkenaan dengan bagaimana seseorang harus bertingkah laku yang wajar dalam kehidupan bermasyarakat. Pelanggaran terhadap norma ini akan mendapatkan celaan, kritik, dan lain-lain tergantung pada tingkat pelanggaran.
Norma kesopanan bersifat relatif, artinya apa yang dianggap sebagai norma kesopanan berbeda-beda di berbagai tempat, lingkungan, atau waktu.
Contoh Norma kesopanan :
1. Menghormati orang yang lebih tua
2. Tidak meludah sembarangan
3. Tidak berkata kotor, kasar, dan sombong
8.       Norma kesusilaan
Norma kesusilaan adalah peraturan sosial yang berasal dari hati nurani yang menghasilkan akhlak, sehingga seseorang dapat membedakan apa yang dianggap baik dan apa pula yang dianggap buruk.
Pelanggaran terhadap norma ini berakibat sanksi pengucilan secara fisik (dipenjara, diusir) ataupun batin (dijauhi).
Contoh: Orang yang berhubungan intim di tempat umum akan dicap tidak susila,melecehkan wanita atau laki-laki di depan orang.
9.       Norma hukum
Norma hukum adalah aturan sosial yang dibuat oleh lembaga-lembaga tertentu, misalnya pemerintah, sehingga dengan tegas dapat melarang serta memaksa orang untuk dapat berperilaku sesuai dengan keinginan pembuat peraturan itu sendiri. Pelanggaran terhadap norma ini berupa sanksi denda sampai hukuman fisik (dipenjara, hukuman mati).
Ketentuan-ketentuan bersumber pada kitab undang-undang suatu negara.
FUNGSI NORMA SOSIAL
  1. Sebagai pedoman atau patokan perilaku dalam masyarakat.
  2. Merupakan wujud konkret dari nilai-nilai yang ada di masyarakat.
  3. Suatu standar atau skala dari berbagai kategori tingkah laku suatu masyarakat.
4.       Hubungan antara nilai dengan norma sosial
5.       Di dalam masyarakat yang terus berkembang, nilai senantiasa ikut berubah. Pergeseran nilai dalam banyak hal juga akan mempengaruhi kebiasaan-kebiasaan ataupun tata kelakuan yang berlaku dalam masyarakat. Di wilayah perdesaan, sejak berbagai siaran dan tayangan telivisi swasta mulai dikenal, perlahan-lahan terlihat bahwa di dalam masyarakat itu mulai terjadi pergesaran nilai, misalnya tentang kesopanan. Tayangan-tayangan yang didominasi oleh sinetron-sinetron mutakhir yang acapkali memperlihatkan artis-artis yang berpakaian relatif terbuka, sedikit banyak menyebabkan batas-batas toleransi masyarakat menjadi semakin longgar. Berbagai kalangan semakin permisif terhadap kaum remaja yang pada mulanya berpakaian normal, menjadi ikut latah berpakaian minim dan terkesan makin berani. Model rambut panjang kehitaman yang dulu menjadi kebanggaan gadis-gadis desa, mungkin sekarang telah dianggap sebagai simbol ketertinggalan. Sebagai gantinya, yang sekarang dianggap trendy dan sesuai dengan konteks zaman sekarang (modern) adalah model rambut pendek dengan warna pirang atau kocoklat-coklatan.  Jadi berubahnya nilai akan berpengaruh terhadap norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar