Selasa, 13 Oktober 2015

TAFSIRAN SURAT AN-NISA 36 DAN BIRUL WALIDAIN


Tafsir An Nisa Ayat 36-39
Ayat 36-39: Kewajiban terhadap Allah dan terhadap sesama manusia, perintah beribadah kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala saja, arahan dalam hubungan kemasyarakatan, dan perintah berinfak
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالا فَخُورًا (٣٦) الَّذِينَ يَبْخَلُونَ وَيَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ وَيَكْتُمُونَ مَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا (٣٧) وَالَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ رِئَاءَ النَّاسِ وَلا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلا بِالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَنْ يَكُنِ الشَّيْطَانُ لَهُ قَرِينًا فَسَاءَ قَرِينًا (٣٨) وَمَاذَا عَلَيْهِمْ لَوْ آمَنُوا بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقَهُمُ اللَّهُ وَكَانَ اللَّهُ بِهِمْ عَلِيمًا     (٣٩)
Terjemah Surat An Nisa Ayat 36-39
36. Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun[1]. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua[2], karib-kerabat[3], anak-anak yatim[4], orang-orang miskin[5], tetangga dekat dan tetangga jauh[6], teman sejawat[7], ibnu sabil[8] dan apa yang kamu miliki[9]. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri[10],
37. (yaitu) orang-orang yang kikir[11], dan menyuruh orang lain berbuat kikir[12], dan menyembunyikan karunia yang telah diberikan Allah kepadanya[13]. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir[14] azab yang menghinakan.
38. Dan (juga) orang-orang yang meinfakkan hartanya karena riya[15] kepada orang lain, dan tidak beriman kepada Allah dan kepada hari kemudian[16]. Barang siapa yang menjadikan setan sebagai temannya[17], maka ketahuilah dia (setan) itu teman yang sangat jahat.
39.[18] Apa mudharatnya bagi mereka, jika mereka beriman kepada Allah dan hari kemudian serta menginfakkan sebagian rezki yang telah diberikan Allah kepadanya?[19] Dan Allah Maha Mengetahui keadaan mereka.

[1] Allah Ta'ala dalam ayat ini memerintahkan kita hanya menyembah kepada-Nya saja dan mengarahkan berbagai bentuk ibadah kepada-Nya, baik berdoa, meminta pertolongan dan perlindungan, ruku' dan sujud, berkurban, bertawakkal dsb. serta masuk ke dalam pengabdian kepada-Nya, tunduk kepada perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya dengan rasa cinta, takut dan harap serta berbuat ikhlas dalam semua ibadah baik yang nampak (ibadah lisan dan anggota badan) maupun yang tersembunyi (ibadah hati). Allah Ta'ala juga melarang berbuat syirk, baik syirk akbar (besar) maupun syirk asghar (kecil).
Syirk Akbar (besar) adalah syirk yang biasa terjadi dalam uluhiyyah maupun rububiyyah. Syirk dalam Uluhiyyah yaitu dengan mengarahkan ibadah kepada selain Allah Ta’ala, misalnya berdo’a dan meminta kepada selain Allah, ruku’ dan sujud kepada selain Allah, berkurban untuk selain Allah (seperti membuat sesaji untuk jin atau penghuni kubur), bertawakkal kepada selain Allah dan mengarahkan segala bentuk penyembahan/ibadah lainnya kepada selain Allah Ta’ala. Sedangkan syirk dalam rububiyyah yaitu menganggap bahwa di samping Allah ada juga yang ikut serta mengurus alam semesta. Syirk dalam uluhiyyah dan rububiyyah termasuk syirk akbar. Sedangkan Syirk Asghar (kecil) adalah perbuatan, ucapan atau niat yang dihukumi oleh agama Islam sebagai Syirk Asghar karena bisa mengarah kepada Syirk Akbar contohnya adalah:
q Bersumpah dengan nama selain Allah.
q Memakai jimat dengan keyakinan bahwa jimat tersebut sebagai sebab terhindar dari madharat (namun bila berkeyakinan bahwa jimat itu dengan sendirinya bisa menghindarkan musibah atau mendatangkan manfaat maka menjadi Syirk Akbar).
q Meyakini bahwa bintang sebagai sebab turunnya hujan. Hal ini adalah Syirk Asghar karena ia telah menganggap sesuatu sebagai sebab tanpa dalil dari syara’, indra, kenyataan maupun akal. Dan hal itu bisa menjadi Syirk Akbar bila ia beranggapan bahwa bintang-bintanglah yang menjadikan hujan turun.
q Riya’ (beribadah agar dipuji dan disanjung manusia). Contohnya adalah seseorang memperbagus shalat ketika ia merasakan sedang dilihat orang lain.
q Beribadah dengan tujuan mendapatkan keuntungan dunia.
q Thiyarah (merasa sial dengan sesuatu sehingga tidak melanjutkan keinginannya). Misalnya, ketika ia mendengar suara burung gagak ia beranggapan bahwa bila ia keluar dari rumah maka ia akan mendapat kesialan sehingga ia pun tidak jadi keluar, dsb. Pelebur dosa thiyarah adalah dengan mengucapkan,
اَللّهُمَّ لَا خَيْرَ اِلَّا خَيْرُكَ وَلَا طَيْرَ اِلَّا طَيْرُكَ وَلاَ اِلهَ غَيْرُكَ
َ“Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan-Mu dan tidak ada nasib sial kecuali yang Engkau tentukan. Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau.”(HR. Ahmad)
Termasuk syirk juga adalah apa yang disebutkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma berikut ketika menafsirkan ayat "Falaa taj'aluu lillahi andaadaa…"artinya: "Maka janganlah kamu adakan bagi Allah tandingan-tandingan sedang kamu mengetahui" (Al Baqarah: 22) :
الْأَنْدَادُ: هُوَ الشِّرْكُ أَخْفَى مِنْ دَبِيْبِ النَّمْلِ عَلَى صَفَاةٍ سَوْدَاءَ فِي ظُلْمَةِ اللَّيْلِ؛ وَهُوَ أَنْ تَقُوْلَ: وَاللهِ، وَحَيَاتِكَ يَا فُلاَنُ وَحَيَاتِيْ، وَتَقُوْلُ: لَوْلاَ كُلَيْبَةُ هَذَا لَأَتَانَا اللَّصُوْصُ، وَلَوْلَا الْبِطُّ فِي الدَّارِ لَأَتَانَا اللَّصُوْصُ، وَقَوْلُ الرَّجُلِ لِصَاحِبِهِ: مَا شَاءَ اللهُ وَشِئْتَ، وَقَوْلُ الرَّجُلِ: لَوْلَا اللهُ وَفُلاَنٌ. لاَ تَجْعَلْ فِيْهَا فُلاَناً هَذَا كُلُّهُ بِهِ شِرْكٌ                                               (رواه ابن أبي حاتم)
"Tandingan-tandingan tersebut adalah perbuatan syirk, di mana ia lebih halus daripada semut di atas batu yang hitam di kegelapan malam, yaitu kamu mengatakan "Demi Allah dan demi hidupmu hai fulan", "Demi hidupku", juga mengatakan "Jika seandainya tidak ada anjing kecil ini tentu kita kedatangan pencuri", dan kata-kata "Jika seandainya tidak ada angsa di rumah ini tentu kita kedatangan pencuri", juga pada kata-kata seseorang kepada kawannya "Atas kehendak Allah dan kehendakmu", dan pada kata-kata seseorang "Jika seandainya bukan karena Allah dan si fulan (tentu…)", janganlah kamu tambahkan fulan padanya, semua itu syirk."
Kata-kata "Jika seandainya tidak ada anjing kecil ini tentu kita kedatangan pencuri" adalah syirk jika yang dilihat hanya sebab tanpa melihat kepada yang mengadakan sebab itu, yaitu Allah Subhaanahu wa Ta'aala atau seseorang bersandar kepada sebab dan lupa kepada siapa yang mengadakan sebab itu, yaitu Allah Azza wa Jalla.
Namun, tidak termasuk syirk jika seseorang menyandarkan kepada sesuatu yang memang sebagai sebab berdasarkan dalil syar'i atau hissiy (inderawi) atau pun waqi' (kenyataan), ssebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tentang Abu Thalib, "Jika seandainya bukan karena saya, tentu ia berada di lapisan neraka yang paling bawah."
Demikian pula termasuk syirk:
- Meyakini ramalan bintang (zodiak),
- Melakukan pelet, sihir/santet,
- Membaca jampi-jampi syirk,
- Mengatakan bahwa hujan turun karena bintang ini dan itu, padahal hujan itu turun karena karunia Allah dan rahmat-Nya.
- Mengatakan “Hanya Allah dan kamu saja harapanku”, “Aku dalam lindungan Allah dan kamu”, “Dengan nama Allah dan nama fulan” dan kalimat lain yang terkesan menyamakan dengan Allah Ta’ala.
Perbedaan Syirk Akbar dengan Syirk Asghar adalah bahwa Syirk Akbar mengeluarkan seseorang dari Islam, sedangkan Syirk Asghar tidak. Syirk Akbar menghapuskan seluruh amal sedangkan Syirk Asghar tidak dan Syirk Akbar mengekalkan pelakunya di neraka bila pelakunya meninggal di atas perbuatan itu sedangkan Syirk Asghar tidak (yakni tahtal masyii'ah; jika Allah menghendaki, maka Dia akan menyiksanya dan jika Allah menghendaki, maka Dia akan mengampuninya), kalau pun pelakunya disiksa, namun tidak kekal.
Setelah Allah memerintahkan memenuhi hak-Nya, yaitu dengan mentauhidkan-Nya, Dia juga memerintahkan untuk memenuhi hak hamba, dari mulai yang terdekat lebih dahulu, yaitu kedua orang tua.
[2] Yakni berbuat baiklah kepada mereka baik dalam hal ucapan maupun dalam hal perbuatan. Dalam hal ucapan misalnya dengan berkata-kata yang lembut dan baik kepada kedua orang tua, sedangkan dalam hal perbuatan misalnya menaati kedua orang tua dan menjauhi larangannya, menafkahi orang tua dan memuliakan orang yang mempunyai keterkaitan dengan orang tua serta menyambung tali silaturrahim dengan mereka.
[3] Baik kerabat dekat maupun jauh, yakni kita diperintah berbuat baik kepada mereka dalam ucapan maupun perbuatan, serta tidak memutuskan tali silaturrahim dengan mereka.
[4] Anak yatim adalah anak-anak yang ditinggal wafat bapaknya saat mereka masih kecil. Mereka memiliki hak yang harus ditunaikan oleh kaum muslimin. Misalnya menanggung mereka, berbuat baik kepada mereka, menghilangkan rasa sedih yang menimpa mereka, mengajari adab dan mendidik mereka sebaik-baiknya untuk maslahat agama maupun dunia mereka.
[5] Misalnya dengan memenuhi kebutuhan mereka, mendorong orang lain memberi mereka makan serta membantu sesuai kemampuan.
[6] Dekat dan jauh di sini ada yang mengartikan dengan tempat, ada pula yang mengartikan dengan hubungan kekerabatan. Yakni tetangga dekat maksudnya tetangga yang memiliki hubungan kekerabatan. Sedangkan maksud tetangga jauh adalah tetangga yang tidak memiliki hubungan kekerabatan.
Tetangga yang memiliki hubungan kekerabatan memiliki dua hak, hak tetangga dan hak sebagai kerabat. Oleh karenanya, tetangga tersebut berhak mendapatkan haknya sebagai tetangga dan berhak diberlakukan secara ihsan yang ukurannya sesuai uruf (kebiasaan yang berlaku). Demikian juga tetangga yang jauh, yakni yang tidak memiliki hubungan kekerabatan pun berhak mendapatkan haknya sebagai tetangga, semakin dekat tempatnya (rumahnya), maka haknya pun semakin besar. Selaku tetangganya, hendaknya ia tidak lupa memberinya hadiah, sedekah, mengundang, bertutur kata yang baik serta bersikap yang baik dan tidak menyakitinya.
[7] Ada yang mengartikan "teman sejawat" dengan teman dalam perjalanan, ada pula yang mengartikan istri, dan ada pula yang mengartikan dengan "teman" secara mutlak. Selaku teman hendaknya diberlakukan secara baik, misalnya dengan membantunya, menasehatinya, bersamanya dalam keadaan senang maupun sedih, lapang maupun sempit, mencintai kebaikan didapatkannya dsb.
[8] Ibnu sabil ialah orang yang dalam perjalanan bukan untuk maksiat dan bekalnya habis sehingga tidak dapat melanjutkan perjalanan. Termasuk juga anak yang tidak diketahui ibu bapaknya. Ibnu Sabil memiliki hak yang ditanggung oleh kaum muslimin, yaitu dengan menyampaikan ibnu sabil ke tempat tujuannya atau kepada sebagian tujuannya, memuliakannya dan bersikap ramah terhadapnya.
[9] Mencakup budak maupun hewan yang dimilikinya. Berbuat baik kepada mereka adalah dengan memberikan kecukupan kepada mereka dan tidak membebani mereka dengan beban-beban yang berat, membantu mereka mengerjakan beban itu dan membimbing mereka terhadap hal yang bermaslahat bagi mereka.
Orang yang berbuat baik kepada mereka yang disebutkan dalam ayat di atas, maka sesungguhnya dia telah tunduk kepada Allah dan bertawadhu' (berendah hati) kepada hamba-hamba Allah; tunduk kepada perintah Allah dan syari'at-Nya, di mana ia berhak memperoleh pahala yang besar dan pujian yang indah. Sebaliknya, barang siapa yang tidak berbuat baik kepada mereka yang disebutkan itu, maka sesungguhnya dia berpaling dari Tuhannya, tidak tunduk kepada perintah-Nya serta tidak bertawadhu' kepada hamba-hamba Allah, bahkan sebagai orang yang sombong; orang yang bangga terhadap dirinya lagi membanggakan diri di hadapan orang lain.
[10] Di hadapan manusia terhadap apa yang dimilikinya.
[11] Terhadap sesuatu yang wajib diberikan oleh mereka atau ada hak-hak wajib yang mesti mereka keluarkan.
[12] Baik dengan ucapan maupun dengan sikap mereka.
[13] Berupa ilmu dan harta. Seperti halnya orang-orang Yahudi. Mereka menyembunyikan pengetahuan tentang kenabian Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, menggantinya dengan menampilkan yang batil sehingga menghalangi manusia dari masuk ke dalam agama yang dibawa Beliau. Mereka menggabung antara sikap kikir terhadap harta, kikir terhadap ilmu dan ditambah dengan upaya merugikan diri dan orang lain. Sifat seperti ini adalah sifat yang ada dalam diri orang-orang kafir. Oleh karena itu, di akhir ayat Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman, "Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir…dst."
[14] Ada yang mengatakan bahwa maksud "kafir" di sini adalah kufur terhadap nikmat Allah (tidak bersyukur). Hal itu, karena kikir, menyuruh orang lain berbuat kikir dan menyembunyikan karunia Allah berarti tidak mensyukuri nikmat Allah.
[15] Riya ialah melakukan sesuatu karena ingin dilihat dan dipuji orang lain.
[16] Infak mereka tidak didasari keikhlasan, keimanan kepada Allah dan mengharap pahala di hari kemudian.
[17] Tindakan mereka seperti yang disebutkan dalam ayat di atas tidak lain disebabkan mereka menjadikan setan sebagai kawannya. Padahal setan adalah seburuk-buruk kawan, karena usahanya untuk membinasakan kawannya dan berusaha merugikannya.
[18] Sebagaimana kikir terhadap karunia Allah dan menyembunyikan apa yang diberikan Allah merupakan kemaksiatan, demikian pula orang yang berinfak dan beribadah karena selain Allah, ia pun berdosa dan bermaksiat. Hal itu, karena Allah Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan menaati-Nya dengan cara ikhlas, amalan yang didasari keikhlasan itulah yang diterima Allah. Oleh karena itu, di ayat ini Allah Subhaanahu wa Ta'aala mengajak mereka yang berbuat seperti itu untuk berpikir, yakni apa keberatannya mereka beriman kepada Allah dan beribadah kepada-Nya dengan ikhlas.
[19] Yakni tidak ada mudharatnya, bahkan yang ada mudharat atau bahayanya adalah apa yang mereka yakini selama ini.

http://www.tafsir.web.id/2013/01/tafsir-surat-al-baqarah-ayat-8-16.htmlTafsir Al Quran Al Karim



Perintah Birrul Walida’in dalam Al-Qur’an

Perintah untuk berbuat baik kepada kedua orangtua dalam Al-Qur’an kurang lebih berulang sebanyak 13 kali. Seperti surah Al-Baqarah, ayat 83, 180 dan 215, An-Nisa ayat 36, An-Na’am: 151, Isra’: 23 dan 24, Al Ahkaf: 15, Al Ankabut: 8, Luqman: 14, Ibrahim: 41, An Naml: 10 dan surah Nuh: 28. Jika melihat dari ayat-ayat tersebut, setidaknya kita bisa mengklasifikasikan ada 6 macam bentuk perintah Allah SWT untuk berbuat baik kepada kedua orangtua.
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada kedua orang tua dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (Qs. Al-Israa: 23)
Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi penghormatan dan pemuliaan kepada kedua orangtua. Apapun bentuk pelecehan dan sikap merendahkan orangtua maka Islam lewat pesan-pesan moralnya telah melarang dan mengharamkannya. Bahkan durhaka kepada kedua orangtua termasuk diantara dosa-dosa besar yang dilarang keras. Dengan melihat ayat di atas, terutama pada frase, “wa laa taqullahumaa ‘uff’, janganlah kamu mengatakan kepada keduanya, perkataan ‘ah’…” menunjukkan untuk bentuk pelecehan dan sikap merendahkan kedua orangtua yang paling kecil sekalipun Islam tidak luput untuk memberikan penegasan atas pelarangannya.
Imam Shadiq as bersabda, “Kalau sekiranya dalam berhubungan dengan kedua orangtua ada bentuk pelecehan yang lebih rendah dari melontarkan kata ‘ah’, niscaya Allah telah melarangnya.” (Ushul Kafi, Jilid 2, hal. 349).
Birrul Walidain berasal dari dua kata, birru dan al-walidain. Imam Nawawi ketika mensyarah Shahih Muslim memberi penjelasan, bahwa kata-kata Birru mencakup makna bersikap baik, ramah dan taat yang secara umum tercakup dalam khusnul khuluq (budi pekerti yang agung). Sedangkan, walidain mencakup kedua orangtua, termasuk kakek dan nenek. Jadi, birrul walidain adalah sikap dan perbuatan baik yang ditujukan kepada kedua orangtua, dengan memberikan penghormatan, pemuliaan, ketaatan dan senantiasa bersikap baik termasuk memberikan pemeliharaan dan penjagaan dimasa tua keduanya.
Perintah untuk berbuat baik kepada kedua orangtua dalam Al-Qur’an kurang lebih berulang sebanyak 13 kali. Seperti surah Al-Baqarah, ayat 83, 180 dan 215, An-Nisa ayat 36, An-Na’am: 151, Isra’: 23 dan 24, Al Ahkaf: 15, Al Ankabut: 8, Luqman: 14, Ibrahim: 41, An Naml: 10 dan surah Nuh: 28. Jika melihat dari ayat-ayat tersebut, setidaknya kita bisa mengklasifikasikan ada 6 macam bentuk perintah Allah SWT untuk berbuat baik kepada kedua orangtua.
Pertama, dalam bentuk perintah untuk berbuat baik dengan sebaik-baiknya, seperti dalam surah Al-Isra’ ayat 23 dan 24. Termasuk dalam hal ini, memberikan penjagaan dan pemeliharaan di hari tua keduanya dan mengucapkan kepada keduanya perkataan yang mulia.
Kedua, dalam bentuk wasiat. Allah SWT berfirman, “Dan Kami berwasiat kepada manusia untuk (berbuat) kebaikan kepada dua orang tuanya.” (Qs. Al-Ankabut: 8). Begitupun pada surah Al-Ahqaf ayat 15, Allah SWT berfirman, “Kami wasiatkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah (pula).”
Ketiga, dalam bentuk perintah untuk bersyukur. Allah SWT berfirman, “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu, karena hanya kepada-Ku-lah kembalimu.” (Qs. Luqman: 14).
Keempat, perintah untuk mendo’akan kedua orangtua. Allah SWT berfirman, “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, “Wahai Tuhan-ku, kasihilah mereka berdua, sebagaimana mereka berdua telah mendidikku pada waktu kecil.” (Qs. Al-Israa: 24). Mendo’akan kedua orangtua adalah tradisi para Anbiyah as. Nabi Ibrahim as dalam do’anya mengucapkan, “Ya Tuhan kami, ampunilah aku, kedua orang tuaku, dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat ).” (Qs. Ibrahim: 41). Begitu juga Nabi Nuh as, dalam lantunan do’anya, beliau berujar, “. Ya Tuhan-ku, ampunilah aku dan kedua orang tuaku..” (Qs. Nuh: 28).
Kelima, perintah untuk berwasiat kepada kedua orangtua. Allah SWT berfirman, “Diwajibkan atas kamu, apabila (tanda-tanda) kematian telah menghampiri salah seorang di antara kamu dan ia meninggalkan harta, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” (Qs. Al-Baqarah: 180).
Keenam, perintah untuk berinfaq kepada keduanya. Allah SWT berfirman, “… Setiap harta yang kamu infakkan hendaklah diberikan kepada kedua orang tua, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Dan setiap kebajikan yang kamu lakukan, sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.” (Qs. Al-Baqarah: 215).
Allah SWT dalam tujuh tempat pada Al-Qur’an setelah memerintahkan untuk hanya menyembah kepada-Nya dan tidak mempersekutukannya, perintah selanjutnya adalah berbuat baik kepada kedua orangtua. Dalam surah An-Nisa’ ayat 36 Allah SWT berfirman, “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua..” Perintah Allah SWT untuk berbuat baik kepada kedua orangtua, setelah perintah untuk mentauhidkanNya lainnya terdapat pada surah Al-Baqarah: 83, Al-An’am: 151, Al-Israa: 23, An-Naml: 19, Al-Ahqaaf: 15 dan surah Al-Luqman  ayat 13 dan 14. Dari ayat-ayat ini, telah sangat jelas dan terang betapa agung dan mulianya berbuat baik kepada kedua orangtua. Perintah untuk berbuat baik kepada keduanya, ditempatkan setelah perintah untuk hanya menyembah kepada-Nya. 
Berhubungan dengan ketaatan kepada kedua orangtua, Al-Qur’an hanya dalam satu hal memberikan sebuah pengecualian. Allah SWT berfirman, “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti mereka, dan pergaulilah mereka di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lantas Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Qs. Luqman: 15). Ketaatan seorang hamba kepada Allah adalah ketaatan mutlak, tanpa pengecualian. Sementara ketaatan kepada orangtua dengan pengecualian, selama keduanya tidak meminta untuk mempersekutukan Tuhan. Kalau kita memperhatikan ayat-ayat Allah berkenaan dengan hubungan kaum muslimin dengan kaum musyrikin, maka akan kita temukan perintah Allah untuk berlepas diri dari kaum musyrikin disampaikan secara keras dan tegas. Terutama pada ayat-ayat awal surah At-Taubah. Namun berkenaan dengan kedua orangtua, Allah SWT menyampaikan perintah secara lembut, dikatakan, kalau permintaan keduanya berkaitan dengan syirik kepada Allah, janganlah menaati keduanya. Selanjutnya ditambahkan, kekafiran dan kemusyrikan kedua orangtua tidaklah menjadi penyebab secara mutlak terputusnya hubungan dengan keduanya, namun tetap diperintahkan untuk berbuat ahsan kepada keduanya di dunia.
Perintah untuk tetap berhubungan, memuliakan, menyayangi dan berbuat baik kepada kedua orangtua meskipun keduanya kafir ataupun musyrik juga masih memiliki pengecualian ataupun persyaratan. Yakni, selagi keduanya tidak menunjukkan permusuhan dan penentangan kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah SWT berfirman, “Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (Qs. Al-Mujaadilah: 22). Perintah yang lebih tegas mengenai hal ini, disampaikan oleh Allah SWT pada awal surah Al-Mumtahanah, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu.”  Dan selagi keduanya meskipun termasuk golongan orang-orang kafir ataupun musyrik tidak ada halangan untuk tetap berlaku adil terhadap keduanya, yakni tetap berbuat baik dan berkasih sayang kepada keduanya selagi keduanya tidak menunjukkan permusuhan dan kebencian kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah SWT berfirman, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Qs. Al-Mumtahanah: 8).
Apabila, kedua orangtua termasuk dari golongan orang-orang kafir ataupun musyrik, perintah Allah SWT untuk tetap mempergauli, menjalin hubungan dan berbuat baik kepada keduanya hanya sebatas di dunia ini atau sebatas keduanya masih hidup. Tidak ada hak bagi setiap orang yang beriman untuk mendo’akan keselamatan bagi kedua orangtuanya di akhirat, yang meninggalnya dalam keadaan tidak berserah diri kepada Allah, tidak mengimani-Nya ataupun mempersekutukan-Nya dengan yang lain. Mengenai hal ini, Allah SWT berfirman, “Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat  (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam.” (Qs. At-Taubah: 113).
Namun, jika kedua orangtua termasuk orang-orang yang beriman, maka berbuat baik kepada keduanya tidak hanya berlaku di dunia saja, namun hatta keduanya telah meninggal dunia, perintah untuk tetap berbuat baik kepada keduanya masih terus berlaku, dan menjadi kewajiban bagi segenap kaum mukminin untuk menunaikannya. Diantara bentuk berbuat baik kepada orangtua setelah meninggalnya adalah memohonkan ampun bagi keduanya. Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, mendo’akan kedua orangtua adalah juga perintah dari Allah SWT dan termasuk diantara tradisi para Anbiyah as. Sebagaimana do’a Nabi Ibrahim as, “Ya Tuhan kami, ampunilah aku, kedua orang tuaku, dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat ).” (Qs. Ibrahim: 41). Pada hakikatnya, mendo’akan keselamatan bagi kedua orangtua, bukan hanya setelah keduanya wafat, namun juga termasuk bentuk kebaikan semasa hidup keduanya, dalam keadaan dekat maupun jauh.
Satu hal yang mesti kita ingat, kebaikan hidup, keimanan ataupun kesalehan yang kita peroleh, tidak semata dari jerih upaya sendiri, kemungkinan ada kaitannya dengan do’a dan kesalehan orang-orang tua sebelum kita yang terijabah oleh Allah SWT. Sebagaimana telah diceritakan dalam Al-Qur’an mengenai do’a Nabi Ibrahim as, “Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (Qs. Al-Baqarah: 128). Ataupun secara umum disampaikan oleh Allah SWT dalam surah Al-A’raaf ayat 189, “Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur."
Pada ayat lainnya, “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri." (Qs. Al-Ahqaaf: 15)
Diceritakan pula, mengenai dua anak yatim piatu yang mendapat pertolongan dari Allah SWT lewat perantaraan dua nabi-Nya, Nabi Musa as dan Nabi Khidir as, karena kesalehan kedua orangtua mereka sebelumnya, “Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh,  maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya." (Qs. Al-Kahfi: 82). Dari penjabaran ayat-ayat ini, kita bisa mengambil sebuah falsafah hidup, bahwa jika mendoa’kan keselamatan dan kesalehan bagi anak adalah fitrah dari orangtua, maka sebuah tuntunan nurani pula jika sebagai anak, kita tidak boleh luput dalam mendo’akan keselamatan dan memohonkan ampunan bagi kedua orangtua dan orang-orang sebelumnya.
Izinkanlah saya mengakhiri tulisan ini, dengan mengutip nasehat Imam Ja’far Shadiq as mengenai betapa pentingnya perintah berbuat baik kepada kedua orangtua.
Imam Shadiq as bersabda, “Apa yang menghalangi seseorang berbuat baik kepada kedua orang tuanya?, apakah keduanya masih hidup atau telah meninggal dunia, shalatlah, bersedekahlah, naik hajilah dan berpuasalah dengan menghadiahkan pahala untuk keduanya.” (Ushul Kafi, Jilid 2, hal. 159).
Pada kesempatan lain Imam Shadiq as bersabda, “Seseorang yang berbuat baik kepada kedua orangtuanya semasa keduanya masih hidup namun ketika keduanya telah meninggal dunia, hutang-hutangnya tidak dilunasi, dan tidak pernah memohonkan ampun bagi kedua orangtunya, maka Allah mencatatnya sebagai anak yang durhaka. Sementara seseorang yang berbuat durhaka kepada kedua orangtuanya semasa hidupnya, namun ketika keduanya telah wafat, melunasi hutang-hutang keduanya dan memohonkan ampun bagi kedua orang tuanya, maka Allah akan mencatatnya sebagai anak yang berbakti kepada kedua orangtuanya.” (Ushul Kafi, jilid 2, hal. 163). (Ismail Amin)

Wajibnya Berbakti Dan Haramnya Durhaka Kepada Kedua Orang Tua

Rabu, 3 Maret 2004 13:30:23 WIB
Kategori : Risalah : Orang Tua
AYAT-AYAT YANG MEWAJIBKAN UNTUK BERBAKTI DAN MENGHARAMKAN DURHAKA KEPADA ORANG TUA


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas



Allah memerintahkan dalam Al-Qur'an agar berbakti kepada kedua orang tua. Mengenai wajibnya seorang anak berbakti kepada orang tua, Allah berfirman di dalam surat Al-Isra' ayat 23-24.

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

"Dan Rabb-mu telah memerintahkan kepada manusia janganlah ia beribadah melainkan hanya kepadaNya dan hendaklah berbuat baik kepada kedua orang tua dengan sebaik-baiknya. Dan jika salah satu dari keduanya atau kedua-duanya telah berusia lanjut disisimu maka janganlah katakan kepada keduanya 'ah' dan janganlah kamu membentak keduanya" [Al-Isra : 23]

وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا

"Dan katakanlah kepada keduanya perkataan yang mulia dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang. Dan katakanlah, "Wahai Rabb-ku sayangilah keduanya sebagaimana keduanya menyayangiku di waktu kecil" [Al-Isra : 24]

Juga An-Nisa ayat 36.

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا

"Dan sembahlah Allah dan janganlah menyekutukanNya dengan sesuatu, dan berbuat baiklah kepada kedua ibu bapak....." [An-Nisa : 36]

Juga terdapat dalam surat Luqman ayat 14-15.

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

"Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada orang tuanya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah lemah dan menyapihnya dalam dua tahun, bersyukurlah kalian kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada-Ku lah kalian kembali" [Luqman : 14]

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَىٰ أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۖ وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا ۖ وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ۚ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

"Dan jika keduanya memaksamu mempersekutukan sesuatu dengan Aku yang tidak ada pengetahuanmu tentang Aku maka janganlah kamu mengikuti keduanya dan pergaulilah keduanya di dunia dengan cara yang baik dan ikuti jalan orang-orang yang kembali kepada-Ku kemudian hanya kepada-Ku lah kembalimu maka Aku kabarkan kepadamu apa yang kamu kerjakan" [Luqman : 15]

Berbakti dan taat kepada orang tua terbatas pada perkara yang ma'ruf. Adapun apabila orang tua menyuruh kepada kekafiran, maka tidak boleh taat kepada keduanya. Allah berfirman.

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا ۖ وَإِنْ جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا

"Dan Kami wajibkan kepada manusia (berbuat) kebaikan kepada kedua orang tuanya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya.." [Al-Ankabut : 8]

Serta surat Al-Ahqaaf ayat 15-16.

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا ۖ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا ۖ وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا ۚ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي ۖ إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

" Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun, ia berdo'a "Ya Rabb-ku, tunjukilah aku untuk menysukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan supaya aku dapat berbuat amal yang shalih yang Engkau ridlai, berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri" [Al-Ahqaaf : 15]

أُولَٰئِكَ الَّذِينَ نَتَقَبَّلُ عَنْهُمْ أَحْسَنَ مَا عَمِلُوا وَنَتَجَاوَزُ عَنْ سَيِّئَاتِهِمْ فِي أَصْحَابِ الْجَنَّةِ ۖ وَعْدَ الصِّدْقِ الَّذِي كَانُوا يُوعَدُونَ

" Mereka itulah orang-orang yang Kami terima dari mereka amal yang baik yang telah mereka kerjakan dan Kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka, bersama penghuni-penghuni surga, sebagai janji yang benar yang telah dijanjikan kepada mereka" [Al-Ahqaaf : 16]

Sedangkan tentang anak durhaka kepada kedua orang tuanya terdapat di dalam surat Al-Ahqaaf ayat 17-20.

وَالَّذِي قَالَ لِوَالِدَيْهِ أُفٍّ لَكُمَا أَتَعِدَانِنِي أَنْ أُخْرَجَ وَقَدْ خَلَتِ الْقُرُونُ مِنْ قَبْلِي وَهُمَا يَسْتَغِيثَانِ اللَّهَ وَيْلَكَ آمِنْ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ فَيَقُولُ مَا هَٰذَا إِلَّا أَسَاطِيرُ الْأَوَّلِينَ

"Dan orang yang berkata kepada kedua orang tuanya, 'Cis (ah)' bagi kamu keduanya, apakah kamu keduanya memperingatkan kepadaku bahwa aku akan dibangkitkan, padahal sungguh telah berlalu beberapa umat sebelumku ? lalu kedua orang tua itu memohon pertolongan kepada Allah seraya mengatakan, "Celaka kamu, berimanlah ! Sesungguhnya janji Allah adalah benar" Lalu dia berkata, "Ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu" [Al-Ahqaaf : 17]

أُولَٰئِكَ الَّذِينَ حَقَّ عَلَيْهِمُ الْقَوْلُ فِي أُمَمٍ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِمْ مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ ۖ إِنَّهُمْ كَانُوا خَاسِرِينَ

"Mereka itulah orang-orang yang telah pasti ketetapan (adzab) atas mereka, bersama-sama umat-umat yang telah berlalu sebelum mereka dari jin dan manusia. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang merugi" [Al-Ahqaaf : 18]

Sedangkan dalam surat Al-Baqarah ayat 215

يَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ ۖ قُلْ مَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۗ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ

"Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang apa yang mereka infakkan. Jawablah, "Harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu bapakmu, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Dan apa saja kebajikan yang kamu perbuat sesungguhnya Allah Maha Mengetahui" [Al-Baqarah : 215]

Banyak sekali ayat-ayat di dalam Al-Qur'an yang menerangkan tentang wajibnya berbakti kepada kedua orang tua. Dalam surat Luqman, Allah menyebutkan wajibnya seorang anak berbakti kepada kedua orang tua dan bersyukur kepadanya serta disebutkan juga tentang larangan mengikuti orang tua jika orang tua tersebut mengajak kepada syirik.

[Disalin dari Kitab Birrul Walidain, edisi Indonesia Berbakti Kepada Kedua Orang Tua, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Darul Qolam. Komplek Depkes Jl. Raya Rawa Bambu Blok A2, Pasar Minggu - Jakarta. Cetakan I Th 1422H /2002M]
http://almanhaj.or.id/content/358/slash/0/wajibnya-berbakti-dan-haramnya-durhaka-kepada-kedua-orang-tua/

Tafsir An Nisa Ayat 36-39

75

Ayat-ayat Al Qur'an Tentang Berbakti Kepada Orang Tua

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEimnqmxFSOzuHt12P27XiSu_12Ct7riXawaXvj-kF6KQkl2eWQM7c4NVkgcepbSLWADJcLLBXbaKdCrVam5hNJLh98NtmuopN5D3xRCJPvggwNvzatIoLH07sXdwtBBV0JMR76scsducOKl/s1600/ayah.jpg
1. Taat kepada orang tua

“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapa-bapa dan saudara-saudaramu menjadi wali(mu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”. (Q.S At Taubah, 9:23)


“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”. (Q.S Al Israa’, 17:23)



“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (Q.S Al Israa’, 17:24)


“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (Q.S Al ‘Ankabuut, 29:8)


“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. (Q.S Luqman, 31:15)


“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (Q.S Ash Shaafaat, 37:102)

2. Mendo’akan orang tua

“Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapaku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat).” (Q.S Ibrahim, 14:41)


“…”Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (Q.S Al Israa’, 17:24)


“…”Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memintakan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku. (Q.S Maryam, 19:47)


“dan ampunilah bapakku, karena sesungguhnya ia adalah termasuk golongan orang-orang yang sesat, (Q.S Asy Syu’araa’, 26:86)


“Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kebinasaan.” (Q.S Nuh, 71:28)

3. Berbakti kepada orang tua


“Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling”. (Q.S Al Baqarah, 2:83)

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri”, (Q.S An Nisaa’, 4:36)


“Katakanlah: “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya)”. (Q.S Al An’aam, 6:151)


“Maka tatkala mereka masuk ke (tempat) Yusuf: Yusuf merangkul ibu bapanya dan dia berkata: “Masuklah kamu ke negeri Mesir, insya Allah dalam keadaan aman.” Dan ia menaikkan kedua ibu-bapanya ke atas singgasana. Dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf.
Dan berkata Yusuf:
“Wahai ayahku inilah ta’bir mimpiku yang dahulu itu; sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan. Dan sesungguhnya Tuhanku telah berbuat baik kepadaku, ketika Dia membebaskan aku dari rumah penjara dan ketika membawa kamu dari dusun padang pasir, setelah syaitan merusakkan (hubungan) antaraku dan saudara-saudaraku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Lembut terhadap apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S Yusuf, 12:99-100)


“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”. (Q.S Al Israa’, 17:23)


“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (Q.S Al Israa’, 17:24)


“dan seorang yang berbakti kepada kedua orang tuanya, dan bukanlah ia orang yang sombong lagi durhaka”. (Q.S Maryam, 19:14)


“dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka”. (Q.S Maryam, 19:32)


“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu- bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. (Q.S Al Ankabuut, 29:8)

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu”. (Q.S Luqman, 31:14)


“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa:
“Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (Q.S Al Ahqaaf, 46:15)

4. Memberi nafkah kedua orang tua

“Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.” Dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya”. (Q.S Al Baqarah, 2:215)


“Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridhaan Allah; dan mereka itulah orang-orang beruntung”. (Q.S Ar Ruum, 30:38)

5. Nasihat anak kepada orang tua

“Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya; “Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun?” (Q.S Maryam, 19:42)


“Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus”. (Q.S Maryam, 19:43)


“Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah”. (Q.S Maryam, 19:44)


“Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi syaitan.” (Q.S Maryam, 19:45)

BAB IV
TELAAH SURAT AN-NISA’ AYAT 36
TENTANG KEPRIBADIAN MUSLIM DALAM PERSPEKTIF
KONSELING ISLAM
4.1. Telaah terhadap Pesan yang Terkandung dalam Surat an-Nisa’ Ayat 36
Islam adalah agama wahyu yang mengatur sistem kehidupan yang paripurna
dengan berpedoman pada dasar hukum yang absolut ketetapannya yaitu pada al-
Qur'an dan al-Hadits, yang didalamnya mentendensikan pada tiga aspek ajaran, yaitu
ajaran aqidah, ajaran syari’ah dan ajaran akhlak (El-Jazairi, 1993: v). Dari ketiga
aspek tidak dapat difungsikan secara berat sebelah sebagai wujud ke-kaaffah-an
agama Islam sebagaiamana yang tersirat QS. Al-Baqarah: 208, yaitu : “Hai orangorang
yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya (kaffah), dan
janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh
yang nyata bagimu” (Depag RI, 1989: 50). Meskipun memang diakui bahwa aspek
pertama amat menentukan, tanpa integritas kedua aspek berikutnya dalam perilaku
kehidupan muslim, maka makna realitas kesempurnaan Islam menjadi kurang utuh
dan bersamaan dengan itu bahwa eksistensi perilaku lahiriyah manusia adalah
perlambang hatinya.
Dari sini penulis mencoba mengamati secara mendalam makna atau pesan
yang terkandung dalam al-Qur'an surat an-Nisa’ ayat 36 kaitannya dengan realisasi
76
ajaran Islam yang mencakup aspek ajaran aqidah, syari’ah dan akhlak mengenai
pembentukan kepribadian muslim.
Berdasarkan tafsir al-Qur'an surat an-Nisa’ ayat 36 yang telah diterangkan
secara rinci dalam bab III, dapat penulis simpulkan sebagai berikut:
Pertama, munasabah surat dan ayat sebagai bentuk hubungan antara surat
dan ayat baik sebelum dan sesudahnya. Adapun munasabah surat An-Nisa’ dengan
surah sebelumnya, yaitu surat Ali Imran diketahui bahwa pada bagian akhir surat Ali
Imran disebutkan perintah untuk bertakwa, perintah yang sama juga disebutkan pada
permulaan surat an-Nisa’. Dan munasabah surat An-Nisa’ dengan surat sesudahnya,
yaitu surat Al-Maidah. Surat An-Nisa’ dimulai dengan perintah bertakwa dan
menyatakan bahwa asal itu adalah satu, kemudian menerangkan hukum-hukum yang
berhubungan dengan anak yatim, rumah tangga, warisan, wanita yang haram dinikahi
serta hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan. Pengutaraan hukum perang dan
hukum keluarga dalam surat ini, merupakan hujjah-hujjah yang dikemukakan kepada
ahli kitab, yang mana hujjah-hujjah ini ditegaskan pada bagian terakhir dari surat ini.
Akhirnya surat ini ditutup dengan perintah kepada para mukmin supaya mereka
bersabar, mengeratkan hubungan sesama manusia dan bertakwa kepada Allah, agar
mendapat keberuntungan dunia dan akhirat (Depag RI, 1989: 154). Selain itu juga
dijelaskan dalam surat An-Nisa’ ini tentang beberapa macam akad, baik akad
perkawinan, perceraian, warisan, dan perjanjian. Sedangkan surat Al-Maidah pada
bagian awal surat agar hamba-hamba Allah memenuhi segala macam aqad yang telah
dilakukan baik terhadap Allah maupun terhadap sesama manusia.
77
Sedangkan Surat an-Nisa’ ayat 36 menggambarkan bahwa ayat ini memberi
peringatan kepada masyarakat muslim supaya waspada dan berhati-hati terhadap ahli
kitab yaitu kaum Yahudi dan Nasrani dengan segala keburukan dan kemurkaannya,
dalam upaya merombak tatanan sosial dan kehidupan manusia yang sesuai dengan
ajaran agama Islam. Keterkaitan surat an-Nisa’ ayat 36 dengan ayat sebelum dan
sesudahnya, di dalamnya mengandung peraturan-peraturan yang wajib dipelihara dan
dijalankan di dalam menegakkan tatanan kehidupan manusia menjadi muslim yang
berkepribadian baik (akhlakul karimah) terhadap tatanan keluarga, masyarakat dan
umat manusia, juga terkandung peraturan tanggung jawab suami dan ketaatan istri
dan sikap keluarga luar (masyarakat sosial) jika terjadi perselisihan, termasuk juga
peraturan pembagian harta waris. Peraturan yang terkandung dalam ajaran Islam ini
memberikan tatanan kehidupan yang membawa rahmat bagi yang menjalankan,
supaya terbentuk suatu keluarga, masyarakat dan umat yang baik, harmonis dan
memiliki integritas yang kuat.
Kedua, sebab musabab turunnya (asbabun nuzul) al-Qur'an khususnya dalam
surat an-Nisa’ ayat 36 tidak diketahui secara pasti tentang sebab turunnya ayat ini,
sehingga menunjukkan bahwa eksistensi ayat ini berdiri sendiri dan bersifat universal
(absolut). Namun keberadaan ayat ini terdapat keterkaitan yang menghubungkan
antara ayat sebelum dan sesudahnya, yaitu pelajaran yang merupakan permulaan
proses perjalanan pengaturan kehidupan muslim dari konteks jahiliyah menuju
konteks ajaran Rasulullah SAW. Di mana korelasi dan relevansi aktual ayat ini
dengan era kekinian merupakan produk identitas Islam mengenai “moslem ideal”,
khususnya mengenai aturan dan hukum sebagai kewajiban manusia terhadap Allah
78
SWT dan sesama manusia dalam tatanan masyarakat sosial yang selama ini perlu
dilestarikan, dijaga secara berkesinambungan sehingga terbentuk tatanan kehidupan
muslim yang kaffah dari zaman Rasulullah SAW sampai akhir zaman.
Dari sini dapat diketahui bahwa kandungan Al-Quran surat an-Nisa’ ayat 36
memberikan petunjuk-petunjuk dan nasehat-nasehat dalam pembinaan kepribadian
umat manusia. Hal ini dapat dicermati sebagaimana yang telah ditafsirkan oleh para
mufasir yang menegaskan bahwa substansi ayat tersebut dapat dijadikan sebagai
cerminan, pelajaran dan contoh dalam membimbing dan mengarahkan umat manusia
agar tercipta kepribadian yang berakhlak mulia (Depag RI, 1985: 166). Sebagimana
yang dikutip Shihab (2000: 414-415) dalam al-Biqa’i yang menilai bahwa ayat ini
sebagai penekanan terhadap tuntunan dan bimbingan ayat-ayat sebelumnya, di
dalamnya menjelaskan bahwa cukup banyak nasehat yang dikandung, yang
kesemuanya mengarahkan kepada nasehat tentang ketaqwaan, keutamaan serta
anjuran “meraih” dan ancaman “mengabaikan”. Nasehat tersebut tidak hanya
ditujukan kepada orang-orang mukmin melainkan juga kepada semua manusia
dengan meyebutkan pada ayat pertama dalam surat an-Nisa’ “Hai sekalian manusia,
sembahlah Allah yang Maha Esa dan menciptakan kamu serta pasanganmu, dan
janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun selain-Nya. Dan dengan
dua orang ibu-bapak persembahkanlah kebajikan yang sempurna, dan jangan abai
berbuat baik dengan karib kerabat, dan anak-anak yatim serta orang-orang miskin
hingga …. diterangkan sampai akhir ayat”.
Surat an-Nisa’ ayat 36 menggambarkan bahwa ayat ini memberi peringatan
kepada masyarakat muslim supaya waspada dan berhati-hati terhadap ahli kitab yaitu
79
kaum Yahudi dan Nashrani dengan segala keburukan dan kemurkaannya, dalam
upaya merombak tatanan sosial umat manusia yang sesuai dengan ajaran agama
Islam. Keterkaitan surat an-Nisa’ ayat 36 dengan ayat sebelum dan sesudahnya, telah
dijelaskan oleh Hamka (1984: 60) di dalamnya mengandung peraturan-peraturan
yang wajib dipelihara dan dijalankan di dalam menegakkan rumah tangga, peraturan
tanggung jawab suami dan ketaatan istri dan sikap keluarga luar jika terjadi
perselisihan, termasuk juga peraturan pembagian harta waris. Peraturan yang
terkandung dalam ajaran Islam ini memberikan tatanan kehidupan yang membawa
rahmat bagi yang menjalankan, supaya terbentuk suatu keluarga, masyarakat dan
umat manusia yang berakhlak mulia.
Berkaitan dengan pendapat para mufasir mengenai surat an-Nisa’ ayat 36,
maka eksistensi ayat tersebut bila ditinjau dari munasabah dan asbabun nuzul, dapat
ketahui bahwa terdapat nilai-nilai dan pesan yang terkandung di dalamnya, yaitu
sebagai berikut:
1. Kewajiban manusia kepada Allah SWT ialah dengan menyembah-Nya dan
beribadah kepada-Nya dengan khusu’ dan ta’at.
2. Tidak boleh mempersekutukan Allah SWT dengan sesuatu.
3. Hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak, karena keduanya itu adalah manusia
yang berjasa.
4. Termasuk kewajiban sesama manusia, ialah berbuat baik kepada kerabat karib,
anak yatim, orang-orang miskin, tetangga, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba
sahaya.
80
5. Hendaknya jangan menjadi orang yang sombong dan takabur, suka
membanggkan diri, sebab sifat ini sangat dibenci oleh Allah SWT (Depag RI,
1985: 178).
Dari tafsiran ayat di atas dapat penulis ketahui bahwa pesan dari kandungan
surat an-Nisa’ ayat 36 secara eksplisit menjelaskan tentang perintah Allah SWT yang
mengarah kepada ajakan kepada seluruh alam termasuk di dalamnya manusia untuk
menciptakan tatanan kehidupan yang selaras, seimbang, dan harmonis (rahmatan lil
‘alamin) dalam mencapai petunjuk dan ridha-Nya. Namun secara implisit ayat
tersebut dapat diketahui bahwa dalam mengaplikasikan konsep yang terkandung
dalam al-Qur'an surat an-Nisa’ ayat 36 tersebut mengarah pada kerangka
pembentukan kepribadian muslim. Di mana manusia “moslem ideal” berkedudukan
sebagai pelaku ajaran agama yang diwajibkan untuk melaksanakan “perintah Allah
SWT” guna menselaraskan, menyeimbangkan dan mengharmoniskan serta
melestarikan tatanan kehidupan manusia di muka bumi (dunia), yang berlanjut
kepada kebahagiaan akhirat.
Dari sini penulis dengan mengutip (Hasyimi: 2001) dapat menyimpulkan dan
menggarisbawahi secara rinci bahwa nilai-nilai atau pesan yang termaktub dalam al-
Qur'an surat an-Nisa’ ayat 36 mengenai pembentukan kepribadian muslim mencakup
hal-hal sebagai berikut :
1. Pribadi muslim kepada Allah SWT
Beberapa hal yang menjadi point penting dalam pembentukan
kepribadian muslim khususnya kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Kepribadian
atau akhlak muslim kepada Allah SWT dan Rasul-Nya adalah sebagai berikut:
81
a. Orang Mukmin selalu waspada dan mengingat Allah SWT
Islam menyerukan kepada umatnya agar benar-benar beriman dan
bersikap tulus kepada Allah SWT, berhubungan akrab dengan-Nya, selalu
mengingat-Nya dan tawakal kepada-Nya. Seorang muslim harus merasakan
di kedalaman jiwanya bahwa ia senantiasa memerlukan pertolongan dan
dukungan Allah SWT. Dia menyadari bahwa Allah lah yang mengontrol
segala urusan dunia dan kehidupan manusia, mengenal tanda-tanda
kekuasaan-Nya yang tidak terbatas pada setiap aspek ciptaan-Nya, sehingga
dengan demikian keimanannya kepada Allah SWT akan semakin meningkat.
Hal ini dipertegas dalam firman-Nya:
اِنَّ فِى خلْقِ ال سمواتِ وْا َ لارضِ واختِ َ لافِ الَّيلِ والنهارِ ََ لايتٍ لأُِولِى ْالاَلْبابِ ()
َالَّذِي ن يذْكُرو َ ن اللهَ قِي ما وُقع ودا و عَلى جنوبِهِم ويتَفكَّرو َ ن فِى خلْقِ ال سمواتِ
- وْا َ لارضِ ربنا ما خَلقْ ت ه َ ذا باطِ ً لا سبحان ك َفقِنا عذَا ب النارِ (ال امران: 190
(191
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang
yang berakal (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil
berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): Ya
Tuhan kami, tiada Engkau menciptaan ini dengan sia-sia. Maha Suci
Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (QS. Ali Imran:
190-191).
b. Memahami perintah Tuhan
Seorang muslim yang tulus harus patuh kepada Allah SWT dalam
keadaam bagaimanapun. Ujian keimanan seorang muslim terletak dalam
mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya dalam segala keadaan baik
persoalan besar maupun kecil tanpa ragu dan tanpa syarat. Tanpa kepatuhan
82
mutlak kepada keduanya, tidak ada yang disebut iman, demikian juga Islam.
Oleh karena itu, seorang muslim yang tulus tidak boleh menyimpang dari
bimbingan Allah dan mengabaikan ajaran Rasul-Nya.
c. Menerima kehendak dan ketentuan Allah SWT
Seorang muslim yang sejati bahwa iman kepada kehendak dan
ketentuan Allah merupakan salah satu rukun iman. Apapun yang menimpa
dirinyadalam hidup tidak bisa dihindarinya karena Allah SWT telah
memutuskannya. Sikap menerima kehendak dan ketentuan Allah akan
membuatnya menerima pahala dari sisi Allah SWT.
d. Bersegera taubat kepada Allah SWT
Seorang muslim boleh jadi lalai dan menyimpang dari jalan yang lurus,
sehingga ia berbuat dosa yang tidak sesuai dengan jiwanya sebagai berikut
seorang mukmin yang rendah hati. Namun jika telah berbuat demikian ia
akan segera ingat kepada Allah SWT, menghentikan segala kesalahannya dan
mohon ampunan atas kesalahan itu.
اِنَّ الَّذِي ن اتَق وا اَِذا مس ه م َ طئِ ف مِ ن ال شيطَانِ ت َ ذكَّروا َفاَِذا ه م مبصِرو َ ن (الاعراف:
(201
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila dalam dirinya timbul
perasaan was-was dari setan, mereka segera ingat kepada Allah. Maka
seketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya” (QS. al-
A’raf: 201).
Hati yang dipenuhi dengan cinta dan ketakwaan kepada Allah SWT
tidak akan dirasuki kelalaian. Bagi seorang muslim selalu berhasrat untuk
menyesal dan mohon ampunan, serta berusaha dalam kepatuhan, bimbingan
dan ridha Allah SWT.
83
e. Perhatian utamanya adalah ridha Allah SWT
Seorang muslim selalu mencari ridha Allah SWT dalam setiap apa yang
dilakukannya, dan tidak berusaha untuk mencari persetujuan selain-Nya, dan
sungguh ia boleh jadi akan dimarahi atau dibenci orang dalam upayanya
untuk mengutamakan Tuhan.
f. Taat dalam melaksanakan kewajiban dan amal shalih yang diajarkan Islam
Kewajiban muslim kepada Tuhannya adalah melaksanakan seluruh
kewajiban dan rukun Islam secara sempurna dan tekun. Ia tidak menundanundanya
dan tidak mencari alasan untuk meninggalkannya. Kewajiban
melaksanakan shalat lima waktu pada waktunya, karena shalat merupakan
salah satu pokok keimanan, siapapun yang menegakkan shalat berarti
menegakkan agama.
2. Pribadi muslim terhadap diri sendiri
Seorang muslim yang berkepribadian muslim berkeyakinan bahwa
kebahagiaan di dunia dan akhirat bergantung pada sikap, perbuatan dan akhlak
terhadap dirinya sendiri; bagaimana ia menyucikan dan membersihkan
pribadinya, demikian pula penderitaannya bergantung pada kerusakan dirinya.
Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT:
(10- َق د َافَْل ح م ن زكَّا ها وَقد خا ب م ن د سا ها (الشمش: 9
“Sesungguhnya berbahagialah orang yang menyucikan dirinya dan
celakalah orang yang mengotorinya” (QS. asy-Syams: 9-10)
Dengan menjaga dirinya sendiri, seorang muslim berarti berusaha
menanamkan kepribadaian (akhlak) muslim yang ditujukan kepada dirinya
84
sendiri adalah meliputi: pemenuhan kebutuhan jasmani (lahiriyah), berupa sikap
dalam makan dan minum, kesehatan terjaga dengan baik, olahraga dan istirahat
teratur serta penampilan yang baik; pemenuhan kebutuhan rohani, seperti
beribadah dengan tekun, berdzikir dan berdoa secara istiqomah; dan pemenuhan
kebutuhan ilmu pengetahuan, dengan cara belajar yang sungguh dan mendalami
bidang kajiannya.
3. Pribadi muslim terhadap sesama makhluk
Islam menganjurkan agar kaum muslimin bergaul dan berkomunikasi
dengan orang lain. Keberadaan mereka dapat dibedakan dengan mudah dari
kepribadian dan akhlaknya sehari-hari, penampilan, pakaiannya, sehingga
menjadi teladan dan berguna bagi orang lain.
Adapun pribadi muslim terhadap sesama makhluk, meliputi berbuat baik
dan berakhlak luhur kepada :
a. Pribadi muslim terhadap kedua orang tua
Salah satu karakteristik utama dari seorang muslim sejati adalah
perlakuannya yang bijak dan baik kepada kedua orang tuanya. Seorang
muslim yang benar-benar mengikuti perintah ini merupakan tema tetap dalam
kitab Allah SWT dan Sunnah Rasul-Nya, yang dengan tegas mengenai
tingginya kedudukan orang tua, sehingga sepatutnya memperlakukan dengan
bijaksana sejak usia senja sampai mencapai masa uzur. Firman Allah SWT:
وَق ضى رب ك َالاَّ تعبدوا اِلاَّ اِياه وبِالْوالِ دينِ اِح سانا اِما يبلُغ ن عِن د ك الْكِبر َا ح د ه ما
َا وكِ َ لا ه ما َف َ لا تُق ْ ل َل همَا ُاف و َ لاتن ه ر ه ما وُق ْ ل َل ه ما َقو ً لا َ كرِي ما () وا خفِ ض َل ه ما
85
24- جنا ح الذُّلِّ مِ ن الرح مةِ وُق ْ ل ر ب ا ر ح م ه ما َ ك ما ربيانِى صغِيرا (الاسرأ: 23
(
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada
bapak ibumu dengan sebaik-baiknya, jika salah seorang di antara
keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu maka janganlah kamu sekali-kali mengatakan
kepada keduanya perkataan “Ah” dan janganlah kamu membentak
mereka dan ucapkanlah kepada mereka ucapan yang mulia. Dan
rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh
kesayangan dan ucapkanlah “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka
berdua sebagaimana mereka berdua telah mendidikku sewaktu masih
kecil” (QS. Al-Isra’: 23-24).
Dari keterangan ayat di atas mengenai “Berbuat baik kepada bapak
ibumu” menujukkan adanya sikap dan perilaku muslim yang mulia, di
antaranya: memperlakukan orang tua dengan bijak dan baik, menyadari status
orang tua dan mengerti tanggung jawabnya kepada mereka.
b. Pribadi muslim terhadap tetangga
Seorang muslim yang benar-benar paham akan ajaran agamanya
biasanya menjadi orang yang terbaik dalam berhubungan dengan
tetangganya. Tetangga dekat adalah orang yang dengannya mempunyai
ikatan keluarga atau agama, sedangkan tetangga jauh adalah seorang dengan
seseorang yang lain tidak memiliki ikatan agama.
Perlakuan yang baik kepada tetangga dan penghindaran diri dari
perilaku yang membahayakan dan merisaukan tetangga demikian penting
sehingga nabi mensabdakan sebagai satu dari tanda-tanda keimanan yang
benar kepada Allah SWT dan hari akhir. Dalam sabdanya disebutkan:
86
م ن َام ن بِاللهِ والْيومِ ْا َ لاخِرِ َفْلي ْ كرِ م جا ره ومن َام ن بِاللهِ والْيومِ ْا َ لاخِرِ َفْلي ْ كرِ م ضيَفه
م ن َام ن بِاللهِ والْيومِ ْا َ لاخِرِ َفْليُق ْ ل خيرا َا ولِي ص م ت (رواه بخارى ومسلم)
“Barang siapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir,
hendaknya dia memperlakukan tetangganya dengan baik; barang
siapa beriman kepada Allah SWT dan hari akhir hendaknya dia
memuliakan tamunya; barang siapa beriman kepada Allah SWT dan
hari akhir hendaknya dia mengucapkan kata-kata yang baik atau
diam” (Mutafaq ‘alaih).
c. Pribadi muslim terhadap saudara
Sifat muslim terpuji yang menonjolkan kepribadian atau akhlak mulia
salah satunya adalah terhadap saudaranya, baik saudara sekandung maupun
saudara seagama. Batas-batas yang menghubungkan seorang muslim dengan
saudaranya melampaui batas ras, warna kulit atau bahasa, yang mendasar
adalah batas keimanan kepada Allah SWT.
Persaudaraan seiman merupakan ikatan paling kuat di antara hati dan
pikiran. Tidak mengherankan, persaudaraan yang unik ini melahirkan buah
cinta yang benar-benar mulia, suci, mendalam dan abadi. Dalam al-Qur'an
diterangkan: “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara” (QS.
al-Hujurat: 10).
d. Pribadi muslim terhadap masyarakat
Seorang muslim yang menyadari ajaran-ajaran agamanya akan menjadi
pribadi yang berjiwa sosial, karena dia memiliki misi dalam hidupnya. Orang
yang memiliki misi dalam hidupnya tidak akan mempunyai pilihan lain
kecuali harus berhubungan dengan orang lain, bergaul dan barbaur dengan
mereka serta terlibat dalam kegiatan memberi dan menerima.
87
Seorang muslim akan bergaul dalam kehidupan sosial dengan cara yang
terbaik sesuai pemahamannya atas agama yang benar dan memiliki
kemanusiaan yang mulian yang dianjurkan dalam bidang interaksi sosial.
Kepribadian sosial seorang muslim yang diwarnai tuntunan al-Qur'an dan as-
Sunnah merupakan kepribadian yang unik yang tidak bisa dibandingkan
dengan kepribadian sosial lain yang dibangun oleh sistem buatan manusia
atau oleh hukum-hukum terdahulu maupun yang dikemukakan oleh para
pemikir.
Kepribadian muslim adalah kepribadian sosial yang berkualitas
tertinggi yang terdiri dari sejumlah karakter mulia yang disebutkan dalam al-
Qur'an dan as-Sunnah.
Dengan demikian makna dari konsep al-Qur'an surat an-Nisa’ ayat 36
menujukkan adanya korelasi yang erat antara manusia dengan Khaliqnya dan
manusia terhadap sesama dalam rangka beriman dan bertaqwa kepada-Nya. Di mana
ayat “perintah” tersebut berkaitan dengan materi keimanan dan ibadah sebagaimana
yang dijelaskan di dalamnya mengenai hal ihwal hidup manusia dalam menata
kehidupannya secara dinamis, yang berujung pada tatanan kehidupan keluarga,
masyarakat, negara dan umat manusia yang rahmatan lil ‘alamin. Maka hal yang
paling mendasar dari ayat “perintah” ini adalah diisyaratkan untuk berupaya menata
dan memelihara eksistensi manusia dalam mengembangkan potensi hidup yang
memiliki kepribadian muslim yang berakhlak mulia (Depag RI, 1984: 166). Dalam
rangka merubah, membangun, menata dan membimbing umat manusia kepada
kebenaran dan akhlak mulia perlu adanya pemahaman dan penerapan konsep yang
88
ditawarkan al-Qur'an dalam surat an-Nisa’ ayat 36, kemudian dikembangkan secara
sistematis dalam perilaku dan kepribadian manusia secara harmonis, maka dari sini
dapat diharapkan suatu tatanan kehidupan manusia yang beradab (beriman dan
bertaqwa kepada Allah SWT) sekaligus menjaga harkat, martabat, dan hak asasi
manusia sehingga terwujud masyarakat madani. Ajaran yang terkandung dalam al-
Qur'an surat an-Nisa’ ayat 36 menujukkan adanya korelasi erat dengan proses
pembentukan kepribadian umat manusia yang beradab (moralitas umat), dalam hal
ini memiliki akhlak mulia dan beradab sehingga tercermin dalam pribadi muslim.
Dari keseluruhan aspek nilai-nilai dan pesan yang terkandung dalam surat an-
Nisa’ ayat 36 dapat penulis simpulkan bahwa ayat tersebut memberikan petunjuk dan
nasehat dengan kandungan “perintah” yang perlu dipegang teguh dan diamalkan
dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam urusan beribadah kepada Allah SWT
dengan tanpa menyekutukannya dengan sesuatu apapun, berbuat baik terhadap kedua
orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat
dan jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu. Langkah ini sebagai
aktualisasi ajaran agama yang tercermin dalam al-Qur'an surat an-Nisa’ ayat 36
dalam membentuk tatanan sosial yang memiliki peradaban “kepribadian muslim”.
4.2. Implementasi Al-Qur'an Surat An-Nisa’ Ayat 36 tentang Pembentukan
Kepribadian Muslim dalam Perpektif Konseling
Merujuk pada sebagian besar definisi konseling Islam menunjukkan bahwa
pengaruh dan hasil konseling adalah peningkatan atau perubahan tingkah laku,
sebagimana yang dirumuskan oleh para pemikir muslim, seperti Ainur Rahim Faqih,
Hallen dan Adz-Dzaky, yang menyebutkan bahwa orientasi konseling Islam adalah:
89
“Suatu aktivitas memberikan bimbingan, pelajaran dan pedoman kepada individu
yang meminta (klien) yang mengalami penyimpangan perkembangan fitrah
beragama, dengan mengembangkan potensi akal pikirannya, kepribadiannya,
keimanan dan keyakinan yang dimilikinya sehingga klien dapat menanggulangi
problematika hidup secara mandiri yang berpandangan pada al-Quran dan as-Sunnah
Rasulullah SAW demi tercapainya kebahagiaan di dunia dan akhirat”.
Surat an-Nisa’ ayat 36 menujukkan bahwa seorang yang memiliki pribadi
yang muslim perlu mengembangkan etika berinteraksi yang bersifat hirarkis, gradual
(bertingkat) terdapat tahapan-tahapan yang perlu dikembangkan dalam berinteraksi
dengan sesama, yang dimulai dengan pengembangan interaksi yang baik dengan
berbakti kepada orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya, dan
tidak boleh berbuat sombong dan membanggakan diri.
Prinsip etika interaksi yang diarahkan terhadap diri sendiri pada dasarnya
merupakan implementasi dari konsep munasabatun ‘ala nafs, seorang pribadi
muslim senantiasa mengembangkan budaya untuk introspeksi diri dengan cara
menjauhkan diri dari sifat-sifat tercela. Konsep pengembangan pribadi yang seperti
ini akan menimbulkan efek yang positif dan teratur.
Gambaran tentang konsep pribadi muslim dalam surat an-Nisa’ ayat 36 dapat
dikembangkan dalam sebuah skema berikut ini.
Lingkungan Diri Manusia
Allah SWT
Pribadi Konselor
90
Keterangan :
1. Berdasarkan orientasi Konseling Islam di atas, maka dapat disebutkan bahwa
pelaksanaan konseling Islam selalu diarahkan kepada penjagaan fitrah manusia
sebagai makhluk yang religius, aspek seperti ini bila dicermati sesuai dengan
nilai kandungan surat an-Nisa’ ayat 36, yaitu aspek interaksi yang bersifat
vertikal.
2. Mengembangkan potensi diri. Dalam pengembangan potensi diri ini bila ditinjau
dari kandungan surat an-Nisa’ ayat 36 dapat disimpulkan bahwa apapun
pengembangan potensi seseorang harus selalu dalam frime tauhid. Dengan kata
lain pengembangan pribadi seorang pribadi muslim harus merupakan perwujudan
diri sebagai ‘abdullah dan khalifah Allah SWT. Berdasarkan surat an-Nisa’ ayat
36 sebenarnya masih terdapat orientasi konseling Islam lain yang terkait dengan
orientasi etik. Ini diarahkan pada pengembangan pribadi muslim dalam kerangka
interaksinya dengan sesama manusia dan dengan dirinya sendiri.
Berdasarkan pada keterangan skema di atas, konsep al-Qur'an dalam surat an-
Nisa’ ayat 36 menjelaskan tentang perintah Allah SWT kepada hambanya untuk
berbuat baik kepada semua ciptaan-Nya, hal ini wujud dari akhlak atau kepribadian
muslim yang diridhai Allah SWT. Berkaitan dengan pengertian konseling Islam
sebagai ilmu terapan dakwah Islam (al-Irsyad) yang bertujuan membantu muslim
untuk mengaplikasikan ajaran agama Islam dengan baik yang mendasar pada al-
Qur'an dan as-Sunnah dengan cara membentuk akhlak atau kepribadian yang baik
terhadap Allah SWT, terhadap sesama makhluk, berbuat baik kepada seisi alam.
Dari sini dapat penulis ketahui bahwa konseling Islam berperan penting dan
memberi kontribusi bagi pelaksanaan ajaran agama Islam sebagaimana yang
ditegaskan dalam al-Qur'an surat an-Nisa’ ayat 36 mengenai pembentukan
91
kepribadian muslim. Peran konselor Islam dalam membimbing dan mengarahkan
umat manusia kepada akhlakul karimah (kepribadian muslim) merupakan suatu
bentuk kewajiban bersama dan tanggung jawab yang diemban dalam menjalankan
misi dakwah Islam.
Adapun bila ditinjau dari fungsi konseling Islam, menurut penulis usaha
membimbing yang dilakukan konselor Islam kepada klien dalam hal ini umat Islam
tentang pembentukan kepribadian muslim berakhlakul karimah ditempuh dengan
berbagai fungsi konseling Islam, yang meliputi: Pertama, usaha preventif, yaitu
menjaga dan mencegah pribadi muslim yang telah melanggar aturan agama untuk
kembali pada ketentuan yang digambarkan dalam surat an-Nisa’ ayat 36. Kedua,
usaha kuratif, yaitu membantu individu muslim agar dapat memecahkan dan
menyelesaikan masalah yang sedang dialami. Ketiga, usaha preservatif, yaitu
membantu pribadi muslim menjaga agar situasi dn kondisi yang semula tidak baik
(mengandung masalah) menjadi baik (terpecahkan) dan kebaikan itu bertahan lama.
Keempat, developmental, yaitu memelihara pribadi muslim yang telah baik tidak
menjadi buruk kembali serta mengembangkan pribadi muslim yang sudah baik
menjadi lebih baik. Usaha konseling Islam ini dijadikan sebagai rumusan guna
membantu pribadi dalam merubah dan membentuk kepribadian muslim yang
mardhatillah, sehingga memungkinkan tatanan kehidupan umat manusia menjadi
selaras dengan apa yang termaktub dalam surat an-Nisa’ ayat 36.
Dari keempat fungsi konseling tersebut, penulis lebih menekankan pada
usaha developmental. Dengan penekanan upaya pengembangan (developmental)
pada pribadi muslim, hal ini mengarah pada status atau eksistensi manusia yang jelas
92
sekali berperan sebagai makhluk individu, makhluk beragama, makhluk sosial dan
makhluk berbudaya, di mana status tersebut mengacu pada hubungan yang
siginifikan, berkesinambungan, dan interaktif antara manusia dengan Tuhan-Nya dan
manusia dengan sesama makhluk yang harus dibarengi oleh sikap, perilaku,
kepribadian dan akhlak mulia guna tercapainya kehidupan yang selaras dan harmonis
menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat. Adapun penekanan usaha developmental
ini sebagaimana yang dirumuskan oleh Marimba, ada tiga taraf dalam pembentukan
kepribadian seseorang, yaitu:
a. Pembiasaan.
Pembiasan dilakukan dengan cara dengan mengontrol dan mempergunakan
tenaga-tenaga kejasmanian dan dengan bantuan kejiwaan. Seorang konselor
Islam membiasakan klien dengan amalan-amalan yang dikerjakan dan diucapkan
sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam, seperti bertutur kata dan memperlakukan
baik kepada kedua orang tuanya, berbuat baik kepada kerabat, tetangga,
mengasihi anak yatim dan orang miskin dan orang-orang yang membutuhkan
pertolongan (ibnu sabil). Dengan sikap pembiasaan atau tauladan yang terus
menerus tercipta usaha kerjasama yang baik yang mengarah pada kepribadian
muslim.
b. Pembentukan pengertian, minat dan sikap.
Dalam taraf ini perlu ditanamkan dasar-dasar kesusilaan yang rapat hubungannya
dengan kepercayaan. Dalam hal ini konselor Islam menggunakan tenaga-tenaga
kejiwaan, karsa, rasa, dan cipta dalam mendeteksi dan mengukur semangat
individu dalam merealisasikan akhlak yang baik dalam perilaku hidupnya seharihari.
c. Pembentukan keruhanian yang luhur.
Pembentukan ini dengan menanamkan kepercayaan yang terdiri atas, iman
kepada Allah SWT, iman kepada malaikat, iman kepada kitab Allah SWT, iman
kepada Rasul-Nya, iman kepada qadha’ dan qodar dan hari kesudahan. Usaha
konselor dalam pembentukan keruhanian kepada klien (umat manusia) dalam
membentuk akhlak luhur yang mana lebih diprioritaskan pada kebesaran dan
kekuasaan Allah SWT.
93
Berdasarkan konsep pengertian Konseling Islam sebagai “proses pemberian
bantuan terhadap individu agar dalam keagamaannya senantiasa selaras dengan
ketentuan dan petunjuk Allah SWT sehingga dapat mencapai kebahagiaan hidup di
dunia dan akhirat”, maka upaya yang dilakukan oleh konselor Islam dalam
pembentukan kepribadian muslim menekankan pada proses untuk membantu
individu (personality) agar tertanam kepribadian, yaitu:
a. Memahami bagaimana ketentuan dan petunjuk Allah SWT tentang kehidupan
beragama
b. Menghayati ketentuan Allah SWT dan petunjuk tersebut
c. Mampu menjalankan ketentuan dan petunjuk Allah SWT untuk beragama dengan
benar (beragama Islam) (Faqih, 2001: 61).
Ketiga pokok tersebut oleh konselor dapat refleksikan dalam kandungan al-Qur'an
surat an-Nisa’ ayat 36 dalam konteks sekarang berdasarkan pada perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat.
Beberapa hal yang harus dijadikan rumusan teoritis dalam kajian Konseling
Islam oleh konselor dalam membentuk kepribadian muslim, sebagaimana
diungkapkan Rusli Amin (2005) antara lain :
a. Konselor membentuk pribadi muslim pada aspek aqidah (tauhid)
Manusia tidaklah terjadi dengan sendirinya, melainkan diciptakan oleh
Allah SWT dan ada tujuan hidup yang digariskannya untuk manusia (QS. adz-
Dzariyat: 56). Ada beberapa “perencanaan Allah” untuk kehidupan manusia di
bumi tempat persinggahan sementara dalam rentang waktu yang ditentukan, yaitu
meliputi:
94
1). Iman kepada Allah SWT (QS. al-Baqarah: 21)
2). Hidup selamat berpedoman al-Qur'an (QS. Ali Imraan: 164)
3). Hidup sesuai ukuran yang ditetapkan Allah SWT (QS. al-Qamar: 49,53)
4). Berakhlak mulia (QS. al-Qalam: 4)
Pencapaian integritas pribadi muslim dilandasi keimanan yang kuat akan
mampu mengapresiasi diri secara baik dan dinamis, apapun kondisi fisik,
materialnya serta apapun status sosialnya.
b. Konselor membentuk pribadi muslim pada aspek syari’ah dan akhlak
1). Membentuk pribadi muslim terhadap dirinya sendiri
- Mulailah suatu perbuatan dan pekerjaan dengan membaca “basmalah
- Memiliki sifat malu terhadap suatu kemaksiatan
- Selalu menampakkan wajah yang berseri
- Mempunyai pola hidup dalam meraih kesuksesan
- Mengutamakan hal-hal yang bermanfaat (QS. al-Mukminun: 3)
- Selalu memperbaharui diri dengan sifat terpuji (QS. ar-Rad: 11)
- Menjaga keseimbangan urusan dunia dan akhirat
- Satu kata dan perbuatan dalam menggali kehidupan (QS. ash-Shaaf: 2-3)
- Melihat kekurangan diri dan jangan mencari kesalahan orang lain (QS.
al-Hujurat: 12)
- Pandai bersyukur dan berterima kasih.
2). Membentuk pribadi muslim terhadap makhluk lain
- Selalu ingin berbuat baik dan menolong orang lain (QS. al-Qashash: 77)
- Kerjasama yang dilandasi iman (QS. al-Hujurat: 10).
- Beri’tikad baik dibalik kesulitan (QS. al-Ankabut: 2)
- Tidak mudah percayaa desas-desus atau gossip
- Mudah melupakan kesalahan orang lain dan memaafkannya
- Tidak suka mencela orang lain
- Bersilaturrahim tanpa pandang bulu
- Beramal dengan ketulusan (ikhlas).
Beberapa hal tersebut perlu mendapatkan perhatian, karena dilihat secara
dimensi psikologis, dimensi spiritual keagamaan dan dimensi sosiologis dari aspek
aqidah, syari’ah dan akhlak tersebut merupakan sebagai langkah Konseling Islam
dalam mengembangkan dan membentuk kepribadian muslim yang ideal (Latipun,
2001: 201).
95
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah penulis kemukakan mulai dari bab I sampai
bab IV, maka skripsi dengan judul “Konsep Al-Qur’an tentang Pembentukan
Kepribadian Muslim (Telaah Surat An-Nisa’ ayat 36 dalam Perspektif Konseling
Islam) dapat penulis simpulkan sebagai berikut:
Berdasarkan tafsir al-Qur'an surat an-Nisa’ ayat 36 yang telah diterangkan
secara rinci di atas, dapat diketahui bahwa ayat tersebut mengandung petunjuk dan
perintah dari Allah SWT yang mencakup: Kewajiban manusia kepada Allah SWT
ialah dengan menyembah-Nya dan beribadah kepada-Nya dengan khusu’ dan ta’at,
tidak boleh mempersekutukan Allah SWT dengan sesuatu, hendaklah berbuat baik
kepada ibu bapak, karena keduanya itu adalah manusia yang berjasa, termasuk
kewajiban sesama manusia, ialah berbuat baik kepada kerabat karib, anak yatim,
orang-orang miskin, tetangga, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya,
hendaknya jangan menjadi orang yang sombong dan takabur, suka membanggakan
diri, sebab sifat ini sangat dibenci oleh Allah SWT. Nasehat dan petunjuk tersebut
merupakan manifestasi dari kepribadian muslim dalam menjunjung tinggi ajaran
agama yang diemban Rasulullah SAW, dimana peraturan yang terkandung dalam
ajaran Islam ini memberikan tatanan kehidupan yang membawa rahmat bagi yang
96
menjalankan, supaya terbentuk suatu keluarga, masyarakat dan umat yang baik,
harmonis dan memiliki integritas yang kuat.
Implementasi konsep al-Qur'an surat an-Nisa’ ayat 36 tentang pembentukan
kepribadian muslim dalam perspektif Konseling Islam merupakan sebagai ilmu
terapan dakwah (al-Irsyad) yang berperan penting dan memberi kontribusi bagi
pelaksanaan ajaran agama Islam dalam menyeru, menasehati, mengajak manusia
kepada jalan kebenaran. Peran konselor Islam dalam membimbing dan mengarahkan
umat manusia kepada pembentukan kepribadian muslim merupakan suatu bentuk
kewajiban bersama dan tanggung jawab yang diemban dalam menjalankan misi
dakwah Islam. Usaha pemberian bantuan yang dilakukan konselor mengarah pada
fungsi konseling Islam, yang meliputi: Pertama, usaha preventif, yaitu menjaga dan
mencegah pribadi muslim yang telah melanggar aturan agama untuk kembali pada
ketentuan yang digambarkan dalam surat an-Nisa’ ayat 36. Kedua, usaha kuratif,
yaitu membantu individu muslim agar dapat memecahkan dan menyelesaikan
masalah yang sedang dialami. Ketiga, usaha preservatif, yaitu membantu pribadi
muslim menjaga agar situasi dan kondisi yang semula tidak baik (mengandung
masalah) menjadi baik (terpecahkan) dan kebaikan itu bertahan lama. Keempat,
developmental, yaitu memelihara pribadi muslim yang telah baik tidak menjadi
buruk kembali serta mengembangkan pribadi muslim yang sudah baik menjadi lebih
baik. Usaha konseling Islam ini dijadikan sebagai rumusan guna membantu pribadi
dalam merubah dan membentuk kepribadian muslim yang mardhatillah, sehingga
memungkinkan tatanan kehidupan umat manusia menjadi selaras dengan apa yang
termaktub dalam surat an-Nisa’ ayat 36. Dari keempat fungsi konseling tersebut,
97
mengacu pada tiga taraf dalam pembentukan kepribadian seseorang, yaitu:
pembiasaan atau keteladanan, pembentukan pengertian, minat dan sikap,
pembentukan keruhanian yang luhur. Ketiga taraf pembentukan kepribadian tersebut
merupakan sebagai upaya yang dilakukan oleh konselor Islam dalam pembentukan
kepribadian muslim, yang substansinya menekankan pada proses untuk membantu
individu (personality) agar tertanam kepribadian, yaitu: memahami bagaimana
ketentuan daan petunjuk Allah SWT tentang kehidupan beragama; menghayati
ketentuan Allah SWT dan petunjuk tersebut, dan mampu menjalankan ketentuan dan
petunjuk Allah SWT untuk beragama dengan benar (beragama Islam).
5.2. Saran-saran
Yang menjadi bahan pertimbangan penulis serta beberapa persoalan yang
muncul dari penelitian penulis, maka ada beberapa hal yang dapat penulis
kemukakan sebagai saran, yaitu sebagai berikut:
1. Sebagaimana yang terkandung dalam al-Qur'an surat an-Nisa’ ayat 36 yang
menjelaskan tentang perintah Allah SWT mengenai pembentukan kepribadian
muslim, perlu sekali direalisasikan secara optimal khususnya oleh konselor
Islam, mubaligh, da’i, para juru penerang sebagai bentuk keteladanan dalam
membimbing umat kepada langkah yang lebih progresif guna mencapai
kebahagiaan di dunia dan akhirat.
2. Perlu adanya kerja sama dari berbagai pihak komponen umat Islam secara sadar
dan menyeluruh memahami ajaran agama Islam tentang pentingnya hidup yang
harmonis, saling mendukung dan saling melengkapi kemaslahatan umat guna
98
tercapai tatanan kehidupan umat yang selaras, merata, madani (mawaddah wa
rahmah) sesuai dengan tuntunan ajaran Allah SWT dan Rasulullah SAW. Kerja
sama ini diterapkan dalam segi kehidupan, misalnya penegakan zakat untuk
membantu anak yatim dan fakir miskin, fasilitas dan mutu pendidikan agama
ditingkatkan dan lain sebagainya.
5.3. Penutup
Dengan terselesaikannya penulisan skripsi dari bab pertama hingga bab
kelima, berarti terselesaikan sudah kewajiban bagi penulis untuk membuat skripsi
sebagai syarat kelulusan. Atas itu semua penulis memanjatkan syukur ke hadirat
Allah Swt yang telah memberikan jalan kemudahan bagi penulis. Harapan penulis,
semoga hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang
berkepentingan, di balik segala kekurangan dan kelebihan di dalamnya. Menyadari
akan hal ini, maka penulis tidak menutup diri atas segala masukan dalam bentuk
kritik dan saran. Kesemuanya itu akan penulis jadikan sebagai bahan pertimbangan
dalam perbaikan kelak di kemudian hari.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan
khasanah keilmuan Islam, khususnya kepada penulis dan umumnya kepada pembaca
budiman. Amin ya Rabbal ‘Alamin.

Dan di edisi kali ini akan lebih banyak menampilkan dalil dari Al-Qur’an yang menggambarkan betapa pentingnya berbakti kepada orang tua. Sebelum itu mari lihat pengertian dari berbakti kepada orang tua.


“Birrul walidaini” yaitu ihsan atau berbuat baik dan bakti kepada orang tua dengan memenuhi hak-hak kedua orang tua serta menaati perintah keduanya selama tidak melanggar syariat.

Lawan katanya yaitu “Aqqul walidaini”, yaitu durhaka kepada orang tua dengan melakukan apa yang menyakiti keduanya dengan berbuat jahat baik melalui perkataan ataupun perbuatan serta meninggalkan kebaikan kepada keduanya.

Hukum bakti kepada orang tua wajib ‘ainiy (mutlak) sedangkan durhaka kepada keduanya haram.

Bagaimana berbakti kepada orang tua menurut Al-Qur’an, sebagaimana ayat-ayat Al-Qur’an berikut :



1. Perkataan “Ah” saja termasuk suatu dosa kepada orang tua apalagi, membentak, memukul, atau hal lainnya yang lebih kejam. Selain itu juga perlu berlemah lembut kepada orang tua selalu mendoakan keduanya agar dikasihi oleh Allah SWT.

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا . وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنْ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا .الإسراء 23- 24  



Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (Al Isra(17):23)

 “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil." (Al Isra(17):24)



2. Perintah berbakti kepada orang tua setelah perintah untuk beribadah kepada Allah tanpa mempersekutukannya. Hal ini menggambarkan pentingnya berbakti kepada orang tua. Dalam ayat lain Allah SWT menjelaskan bahwa bersyukur kepada orang tua (dengan berbakti kepada keduanya) merupakan kesyukuran kepada Allah SWT, karena Allah menciptakan semua manusia dari rahim orang tua.

قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلَّا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا .الأنعام : 151



yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, (Al-An’am 151).



3.  Meskipun orang tua menyuruh kepada suatu perbuatan yang menyekutukan Allah SWT, atau orang tua tersebut masih belum memeluk Islam, sikap berbakti kepada orang tua tetap menjadi suatu kewajiban oleh seorang anak tanpa harus mematuhi perintah mereka yang menyalahi syariat.

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ  [ لقمان 15



15. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.



4.  Jasa orang tua terutama ibu diungkapkan dalam suatu ayat Al-Qur’an, dimana seorang ibu rela berkorban dalam mengandung anaknya, kemudian menyusuinya. Semua jasa orang tua di kala anak masih kecil dan lemah perlu diingat dan dikenang untuk selamanya.



وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنْ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ [ لقمان 14 ]



14. Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.



Untuk menutup part 3, ada sebuah kisah nyata yang diceritakan Rasulullah SAW, mengenai 3 orang yang terjebak dalam gua, kemudian berdoa kepada Allah dengan menyebutkan amal saleh yang mereka lakukan agar Allah berkenan menolong mereka dari gua yang tertutupi batu-batu.



Salah satu orang dari mereka menyebutkan bahwa amal shalehnya ialah “aku memiliki orang tua yang telah usia lanjut, dan aku selalu mendahulukan kepentingan mereka dibandingkan keluarga dan hartaku, aku biasanya membawakan minuman (susu) bagi mereka dan tidak membiarkan siapapun meminumnya kecuali setelah mereka minum. Apabila ini merupakan merupakan amal shaleh yang mengharap ridha-Mu maka keluarkanlah kami dari gua ini."



Pada akhir cerita, setelah setiap orang menceritakan amal shalehnya maka akhirnya pintu gua yang tertutupi bebatuan akhirnya terbuka dan mereka akhirnya keluar dengan selamat.



Marilah para sahabat kita merawat orang tua kita sebaik-baiknya, dan senantiasa mendahulukan kepentingan mereka.  Merupakan suatu kesalahan bila terlalu memanjakan anak dan pasangan tetapi mengacuhkan kepentingan orang tua yang seharusnya dijunjung tinggi dalam suatu keluarga. Orang tua memang membutuhkan materi (uang) tetapi masih ada yang lebih penting bagi mereka yaitu kasih sayang. Menyapa, menanyakan kabar mereka, kesehatan mereka, apa yang mereka inginkan merupakan suatu hal sepele namun berarti besar bagi mereka.

Tafsir Surat An Nisa Ayat 36 (Silaturahim, Keindahan Akhlak Islami)


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjPPd-AQJoruW81J0CaX2NaCzagbiPnYYuAb7o7F0LkPJnsLwkYCmyZ5aG_o0yu6NSWTP6NmIJ3SpLvFHJAIzpezDZwYXdyZyNc0uOD1GAddY-l3nWAby2mbt7e8X2ibp75m_miHhz7UXI/s400/114490015496594662_KDhA9it2_c.jpg

Penulis : Al-Ustadz Abu ‘Awanah Jauhari, Lc
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh0HAHCm0lqO74zLJZtZ4jdavsdFGOWMSHGliALOyHBsSA7ArOaXGcUPmt-YHB-ULg4BFT5aHVEKtsRE64_Yy0J-dDAM6mcOa5dt-SK2m6wrOj_EPtWxR-wJXlfrXU1cdg59cChmR-cZQQ/s400/nisa+36.png
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (An-Nisa`: 36)
Mukadimah
Syariat Islam sungguh indah. Ia mengajarkan adab nan tinggi dan akhlak yang mulia. Menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, dan selalu berusaha menjaga keutuhan keluarga. Membersihkan berbagai noda di dada yang akan merusak hubungan sesama manusia yang satu keluarga. Menyantuni yang tidak punya dan tidak iri dengki kepada yang kaya.
Silaturahim adalah resep mustajab untuk ini semua. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa silaturahim termasuk inti dakwah Islam, sebagaimana diriwayatkan Abu Umamah, dia berkata: Amr bin ‘Abasah As-Sulamiradhiyallahu ‘anhu berkata:
Aku berkata: “Dengan apa Allah mengutusmu?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallammenjawab: “Allah mengutusku dengan silaturahim, menghancurkan berhala dan agar Allah ditauhidkan, tidak disekutukan dengan-Nya sesuatupun.” (HR. Muslim, Kitab Shalatul Musafirin, Bab Islam ‘Amr bin ‘Abasah, no. 1927)
An-Nawawi rahimahullahu menjelaskan hadits ini dengan menyatakan: “Dalam hadits ini terdapat dalil yang sangat jelas untuk memotivasi silaturahim. Karena NabiShallallahu ‘alaihi wa sallam mengiringkannya dengan tauhid dan tidak menyebutkan bagian-bagian Islam yang lain kepadanya (‘Amr). Beliau hanya menyebutkan yang terpenting, dan beliau awali dengan silaturahim.” (Syarh Shahih Muslim, 5/354-355, cet. Darul Mu`ayyad)
Makna Silaturahim
Silaturahim berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata صِلَةٌ dan الرَّحِمُ . Kata صِلَةٌ adalah bentuk mashdar (gerund) dari kata وَصَلَ- يَصِلُ , yang berarti sampai, menyambung. Ar-Raghib Al-Asfahani berkata: “وَصَلَ – الْاِتِّصَالُ yaitu menyatunya beberapa hal, sebagian dengan yang lain.” (Al-Mufradat fi Gharibil Qur`an, hal. 525)
Adapun kata الرَّحِمُ, Ibnu Manzhur berkata: “الرَّحِمُ adalah hubungan kekerabatan, yang asalnya adalah tempat tumbuhnya janin di dalam perut.” (Lisanul ‘Arab)
Jadi, silaturahim artinya adalah menyambung tali persaudaraan kepada kerabat yang memiliki hubungan nasab.
Penjelasan Ayat
 “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.”
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu menjelaskan: “AllahSubhanahu wa Ta’ala memerintahkan hamba-Nya untuk beribadah kepada-Nya saja, tiada sekutu bagi-Nya. Yaitu masuk dalam penghambaan diri kepada-Nya dan taat terhadap perintah dan larangan-Nya, dengan kecintaan, ketundukan, dan ikhlas untuk-Nya pada semua jenis ibadah, lahiriah maupun batiniah, serta melarang dari menyekutukan sesuatu dengan-Nya. Baik syirik kecil maupun besar, baik dengan malaikat, nabi, wali, ataupun makhluk lainnya yang tidak memiliki bagi diri mereka sendiri manfaat, mudarat, kematian, kehidupan, maupun pembangkitan. Bahkan yang menjadi keharusan (kewajiban) yang pasti adalah mengikhlaskan ibadah bagi Dzat yang memiliki kesempurnaan dari segala sisi, yang milik-Nya lah segala pengaturan. Tidak ada yang menandingi-Nya. Tidak ada yang membantu-Nya.”
Setelah Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk beribadah kepada-Nya dan menunaikan hak-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk menunaikan hak-hak hamba-Nya secara berurutan (sesuai skala prioritas), yang lebih dekat dan seterusnya. Maka AllahSubhanahu wa Ta’ala mengatakan:
 “Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak.
Artinya, berbuat baiklah kalian kepada mereka dengan ucapan yang mulia, tutur kata yang lembut, dan perbuatan yang baik, dengan menaati perintah mereka berdua dan menjauhi larangan mereka, memberikan nafkah kepada mereka, memuliakan orang yang memiliki hubungan dengan mereka berdua, dan menyambung tali silaturahim, yang mana tidak akan ada kerabat bagimu kecuali dengan perantaraan mereka berdua.
Berbakti kepada kedua orangtua memiliki dua lawan, yaitu berbuat jelek (durhaka) dan tidak berbuat baik. Kedua hal ini terlarang.
 “(Dan kepada) karib kerabat.”
Yakni, berbuat baiklah juga kepada mereka. Kerabat di sini meliputi semuanya, yang dekat ataupun jauh. Berbuat baik kepada mereka dengan perkataan dan perbuatan, serta tidak memutuskan silaturahim dengan mereka, baik dalam bentuk perkataan maupun perbuatan.
 “(Dan kepada) anak-anak yatim.
Anak yatim yaitu orang yang ditinggal mati ayah mereka dalam keadaan masih kecil. Mereka punya hak atas kaum muslimin. Baik anak yatim tersebut termasuk kerabat atau bukan. Bentuk perbuatan baik terhadap mereka yaitu dengan menanggung biaya hidup mereka, berbuat baik dan melipur derita mereka, mendidik mereka dengan pendidikan terbaik, dalam urusan agama maupun dunia.
 “(Dan kepada) orang-orang miskin.”
Yaitu orang-orang yang tertahan dengan kebutuhan mereka sehingga tidak mendapatkan kecukupan untuk diri mereka dan orang yang mereka tanggung. Bentuk perbuatan baik kepada mereka adalah dengan menutupi kekurangan mereka, membantu mereka sehingga tercukupi kebutuhannya. Juga dengan mengajak orang lain untuk melakukan hal tersebut dan melakukan apa yang mampu untuk dilakukan.
 “(Dan kepada) tetangga yang dekat.
Artinya, kerabat yang rumahnya dekat dengan kita. Sehingga dia mempunyai dua hak atas kita, hak sebagai kerabat dan hak sebagai tetangga. Perbuatan baik di sini dikembalikan kepada adat yang berlaku.
Demikian juga dengan:
 “Tetangga yang jauh.”
Yaitu tetangga yang tidak mempunyai hubungan kekerabatan. Dalam hal ini, tetangga yang lebih dekat pintunya lebih besar pula haknya. Sehingga dianjurkan bagi seseorang untuk selalu memerhatikan tetangganya, dengan memberikan hadiah, shadaqah, dengan dakwah, kesopanan, baik dalam ucapan maupun perbuatan. Juga tidak menyakitinya, baik dengan ucapan maupun perbuatan.
 “(Dan kepada) teman sejawat.”
Ada yang mengatakan bahwa maksudnya adalah teman dalam perjalanan. Ada juga yang mengatakan maksudnya adalah istri. Ada yang mengatakan maksudnya teman secara mutlak. Dan mungkin pendapat (terakhir) ini lebih benar, karena mencakup teman di rumah, di perjalanan, serta istri.
Sehingga, seorang teman memiliki kewajiban terhadap temannya lebih daripada hak Islamnya, untuk membantunya dalam urusan agama maupun dunia, menasihatinya, menepati janji terhadapnya, ketika senang ataupun susah, ketika sedang bersemangat ataupun malas. Hendaknya ia mencintai untuk temannya apa yang dia sukai untuk dirinya, dan membenci apa yang ia benci untuk dirinya. Semakin lama pergaulan dengannya, semakin besar pula haknya.
 “(Dan kepada) ibnu sabil.”
Yaitu orang asing di negeri lain, yang membutuhkan bantuan materi ataupun tidak. Ia punya hak atas kaum muslimin, karena dia sangat butuh atau karena dia berada di negeri asing. Dia memerlukan bantuan agar sampai ke tempat tujuannya atau tercapai sebagian maksud dan cita-citanya. Juga dengan memuliakan dan menemaninya agar tidak kesepian.
 “(Dan kepada) hamba sahayamu.”
Yaitu apa yang kalian miliki, baik dari kalangan Bani Adam atau dari hewan. Perbuatan baik di sini yaitu dengan mencukupi kebutuhan mereka dan tidak membebani sesuatu yang memberatkan mereka. Membantu mereka melaksanakan hal yang menjadi tanggung jawab mereka. Mendidik mereka untuk kemaslahatan mereka.
Maka barangsiapa yang melaksanakan perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’aladan syariat-Nya, berhak mendapatkan pahala yang besar dan pujian yang indah. Sedangkan orang yang tidak melaksanakan perintah-perintah tersebut, dialah orang yang menjauh dari Rabb-Nya dan tidak taat terhadap perintah-perintah-Nya, tidak rendah hati kepada makhluk-Nya. Bahkan dia adalah orang yang sombong terhadap hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala, teperdaya dengan dirinya dan bangga dengan ucapannya.
Oleh karena itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
 “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong….
Maksudnya, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mencintai orang yang teperdaya dengan dirinya, sombong terhadap hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala.
 “…dan membangga-banggakan diri.”
Yakni, memuji dirinya dan menyanjungnya untuk membanggakan dan menyombongkan dirinya kepada hamba Allah l. (Tafsir As-Sa’di, hal. 191-192, cet. Darus Salam)
Dari ayat dan penafsiran di atas, kita bisa berbuat baik kepada seluruh hamba-Nya. Terlebih kepada kerabat-kerabat dekat yang juga muslim, mereka memiliki hak-hak yang banyak atas kita. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 “Sesungguhnya Allah mewajibkan perbuatan baik kepada segala sesuatu.” (HR. Muslimdari Abu Ya’la Syaddad bin Aus radhiyallahu ‘anhu)
Targhib (Motivasi)
Allah Subhanahu wa Ta’ala melengkapi perintah untuk menyambung tali silaturahim dengan memberikan janji dan ancaman. Di antara janji-janji tersebut adalah:
1. Surga adalah balasan bagi orang yang menyambung tali silaturahim.
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan:
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjDzxESwEGv3Kzol8FepX4IB18-8Dp6QmS4LDHEPWwlNUGzm0IryEQX4PGUqlLGe8jFlLKMMEiskSHsfbWwQnWCa65S4Smqq5bKpfeppYpO1qvs3BvWqj-xHQxgYffMBpL2HxUJYFxY_LE/s400/rad21.png
 “Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Rabbnya dan takut kepada hisab yang buruk.”(Ar-Ra’d: 21)
‘Allamatul Qashim Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu menyatakan:
 “Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan.”
Ini umum meliputi semua perkara yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan untuk menyambungnya, baik berupa iman kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mencintai-Nya dan mencintai Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, taat beribadah kepada-Nya semata dan taat kepada Rasul-Nya. Termasuk juga, menyambung kepada bapak dan ibu dengan berbuat baik kepada mereka, dengan perkataan dan perbuatan, tidak durhaka kepada mereka. Juga, menyambung karib kerabat, dengan berbuat baik kepada mereka dalam bentuk perkataan dan perbuatan. Juga menyambung dengan para istri, teman, dan hamba sahaya, dengan memberikan hak mereka secara sempurna, baik hak-hak duniawi ataupun agama.” (Tafsir As-Sa’di, hal. 481, cet. Darus Salam)
Kemudian dalam ayat 22-24 dari surat Ar-Ra’d ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan:
 “Orang-orang itulah1 yang mendapat tempat kesudahan (yang baik), (yaitu) surga `Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, istri-istri dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu; (sambil mengucapkan): ‘Salamun ‘alaikum bima shabartum’. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memberikan penjelasan yang sama sebagaimana dalam hadits dari Abu Ayyub Khalid bin Zaid Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu:
 “Seseorang berkata: ‘Ya Rasulullah, beritahukan kepadaku amalan yang akan memasukkan aku ke surga dan menjauhkanku dari neraka.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan sesuatu dengan-Nya, menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan menyambung silaturahim’.” (HR. Al-Bukhari, 3/208-209, Muslim no. 13)
2. Shadaqah kepada kerabat berpahala ganda.
Dari Salman bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu, dari Nabiyullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata:
 “Shadaqah kepada orang miskin itu satu shadaqah. Dan shadaqah kepada kerabat itu dua shadaqah; shadaqah dan penyambung silaturahim.” (HR. At-Tirmidzi no. 685, Abu Dawud no. 2335, An-Nasa`I 5/92, Ibnu Majah no. 1844. At-Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan. Ibnu Hibban menshahihkannya)
3. Orang yang menyambung tali silaturahim akan dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya.
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 “Siapa yang ingin dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, hendaknya ia menyambung tali silaturahimnya.” (HR. Al-Bukhari 10/348, Muslim no. 2558, Abu Dawud no. 1693)
Tarhib (Ancaman)
Di samping janji-janji, syariat juga melengkapi perintah untuk bersilaturahim dengan ancaman-ancaman keras bagi yang memutuskannya. Di antara ancaman-ancaman tersebut adalah:
1. Laknat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tempat kembali yang buruk (neraka) bagi yang memutus tali silaturahim
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan dalam surat Ar-Ra’d ayat 25:
 “Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam).”
Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dalam hadits dari Abu Muhammad Jubair bin Muth’im radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliauShallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 “Tidak akan masuk surga, orang yang memutuskan.”
Sufyan Ats-Tsauri rahimahullahu mengatakan dalam riwayatnya: “Maksudnya, orang yang memutuskan tali silaturahim.” (HR. Al-Bukhari 10/347 dan Muslim no. 2556)
2. Dijadikan buta dan tuli
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
 “Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan silaturahim kalian? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.” (Muhammad: 22-23)
Ayat ini merupakan ancaman bagi orang yang memutuskan tali silaturahim, sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:
 “Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk. Setelah selesai dari mereka, berdirilah Ar-Rahim (rahim) dan mengatakan: ‘Inilah kedudukan (makhluk) yang minta perlindungan kepada-Mu dari diputus hubungan.’ Allah mengatakan: ‘Ya. Tidakkah engkau puas (bahwa) Aku akan menyambung siapa yang menyambungmu, dan memutus siapa yang memutusmu?’ Ar-Rahim mengatakan: ‘Ya.’ Allah menyatakan: ‘Itu bagimu’.”
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Bacalah bila kalian mau:
 “Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan silaturahim kalian? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.” (Muhammad: 22-23) [HR. Al-Bukhari 10/349, 13/392 dan Muslim no. 2554]
3. Orang yang memutuskan tali silaturahim segera mendapatkan azab di dunia dan akhirat
Dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, dia mengatakan: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 “Tidak ada dosa yang pantas untuk disegerakan hukumannya oleh Allah bagi pelakunya di dunia bersamaan dengan (hukuman) yang disimpan untuknya di akhirat, daripada kezaliman dan pemutusan silaturahim.” (HR. Ahmad, 5/36, Abu Dawud, Kitabul Adab (43) no. 4901, dan ini lafadz beliau, At-Tirmidzi dalam Shifatul Qiyamah no. 1513, dan beliau mengatakan hadits ini shahih, Ibnu Majah dalam Kitab Az-Zuhd bab Al-Baghi, no. 4211)
Menyambung Silaturahim Bukan Sekadar Membalas
Banyak orang yang mengakrabi saudaranya setelah saudaranya mengakrabinya. Mengunjungi saudaranya setelah saudaranya mengunjunginya. Memberikan hadiah setelah ia diberi hadiah, dan seterusnya. Dia hanya membalas kebaikan saudaranya. Sedangkan kepada saudara yang tidak mengunjunginya –misalnya– tidak mau dia berkunjung. Ini belum dikatakan menyambung tali silaturahim yang sebenarnya. Yang disebut menyambung tali silaturahim sebenarnya adalah orang yang menyambung kembali terhadap orang yang telah memutuskan hubungan kekerabatannya. Hal ini dijelaskan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abdullah bin ‘Amrradhiyallahu ‘anhuma, dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
 “Bukanlah penyambung adalah orang yang hanya membalas. Tetapi penyambung adalah orang yang apabila diputus rahimnya, dia menyambungnya.” {HR. Al-Bukhari, Kitabul Adab bab (15) Laisal Washil bil Mukafi, no. 5991}
Ibnu Hajar rahimahullahu mengatakan: “Peniadaan sambungan tidak pasti menunjukkan adanya pemutusan. Karena mereka ada tiga tingkatan: (1) orang yang menyambung, (2) orang yang membalas, dan (3) orang yang memutuskan. Orang yang menyambung adalah orang yang melakukan hal yang lebih dan tidak diungguli oleh orang lain. Orang yang membalas adalah orang yang tidak menambahi pemberian lebih dari apa yang dia dapatkan. Sedangkan orang yang memutuskan adalah orang yang diberi dan tidak memberi. Sebagaimana terjadi pembalasan dari kedua pihak, maka siapa yang mengawali berarti dialah yang menyambung. Jikalau ia dibalas, maka orang yang membalas dinamakan mukafi` (pembalas). Wallahu a’lam.” (Fathul Bari, 10/427, cet. Dar Rayyan)
Orang yang terus berbuat baik kepada kerabat mereka meskipun mereka berbuat jelek kepadanya, tidak akan rugi sedikit pun. Bahkan akan selalu ditolong oleh AllahSubhanahu wa Ta’ala. Justru kerabat yang tidak mau membalas kebaikan itulah yang mendapat dosa yang besar akibat perbuatan mereka. Seperti dalam hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu: Ada seseorang berkata kepada Nabi MuhammadShallallahu ‘alaihi wa sallam:
 “Wahai Rasulullah, aku mempunyai kerabat dan aku sambung mereka, tetapi mereka memutuskanku. Aku berbuat baik kepada mereka tetapi mereka berbuat jelek terhadapku. Aku bersabar terhadap mereka, tetapi mereka selalu berbuat jahil kepadaku.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika engkau seperti yang engkau katakan, maka seolah-olah engkau melemparkan abu panas ke wajah mereka dan pertolongan Allah tetap bersamamu menghadapi mereka selama engkau seperti itu.” (HR. Muslim, Kitabul Birr wash-Shilah, bab Silaturahim wa tahrimu qathi’atiha, no. 6472)
Silaturahim kepada Kerabat Non Muslim
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj7xz8AoOBH1pnboBfbdvLO1NCFk9xy2yfBgUqZyHc2bEYA0ZolKfN_bgnp08pcDv3midjz3KIzyCV7eWStcKt01bmB9MAxCVrjvfs6zTaZ3EO7uhqWVktJhjyFt9dK_0VWCW3IrZfwiAY/s400/mumtahanah8.png
Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Al-Mumtahanah: 8)
‘Allamatul Qashim Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahumenjelaskan: “Artinya, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak melarang kalian dari kebaikan, silaturahim, dan membalas kebaikan serta berlaku adil terhadap kerabat kalian dari kalangan kaum musyrikin atau yang lain. Hal ini bila mereka tidak mengobarkan peperangan dalam agama terhadap kalian, tidak mengusir kalian dari rumah-rumah kalian. Maka tidak mengapa kalian berhubungan baik dengan mereka dalam keadaan seperti ini, tidak ada kekhawatiran dan kerusakan padanya.”
Abul Fida` Ismail bin Katsir rahimahullahu menafsirkan ayat ini dengan membawakan hadits dari Asma` bintu Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhuma, dia mengatakan:
 “Ibuku datang dalam keadaan masih musyrik, di waktu perjanjian damai yang disepakati orang Quraisy. Maka aku datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya: ‘Wahai Rasulullah, ibuku datang dan ia ingin berbuat baik. Bolehkah aku berbuat baik kepadanya?’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: ‘Ya, berbuat baiklah kepada ibumu’.” (HR. Ahmad 6/344, Al-Bukhari, Kitabul Adab bab (7) no. 5978 dan 5979, Muslim Kitabuz Zakat (50) no. 2322)
Jadi jelaslah bahwa berbuat baik kepada kerabat adalah suatu hal yang disyariatkan, meskipun dia non-muslim. Dengan syarat, dia bukan orang yang memerangi agama kita, dan tentunya tidak ada loyalitas dalam hati kita terhadap agamanya. Justru kita harapkan dengan sikap dan perilaku kita yang baik kepada orang semacam ini, menjadi sebab datangnya hidayah dalam hati kerabat kita tersebut, sehingga ia masuk Islam dan meninggalkan kekafirannya.
Wallahul hadi ila sawa`is sabil.
Sumber: http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=725


Tidak ada komentar:

Posting Komentar