Tafsir An Nisa Ayat 36-39
Ayat 36-39:
Kewajiban terhadap Allah dan terhadap sesama manusia, perintah beribadah kepada
Allah Subhaanahu wa Ta'aala saja, arahan dalam hubungan kemasyarakatan, dan
perintah berinfak
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ
شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى
وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ
بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لا
يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالا فَخُورًا (٣٦) الَّذِينَ يَبْخَلُونَ وَيَأْمُرُونَ
النَّاسَ بِالْبُخْلِ وَيَكْتُمُونَ مَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا (٣٧) وَالَّذِينَ يُنْفِقُونَ
أَمْوَالَهُمْ رِئَاءَ النَّاسِ وَلا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلا بِالْيَوْمِ
الآخِرِ وَمَنْ يَكُنِ الشَّيْطَانُ لَهُ قَرِينًا فَسَاءَ قَرِينًا (٣٨) وَمَاذَا
عَلَيْهِمْ لَوْ آمَنُوا بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَأَنْفَقُوا مِمَّا
رَزَقَهُمُ اللَّهُ وَكَانَ اللَّهُ بِهِمْ عَلِيمًا (٣٩)
Terjemah
Surat An Nisa Ayat 36-39
36.
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun[1]. Dan berbuat baiklah kepada kedua
orang tua[2], karib-kerabat[3], anak-anak yatim[4], orang-orang miskin[5], tetangga dekat dan tetangga jauh[6], teman sejawat[7], ibnu sabil[8] dan apa yang kamu miliki[9]. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang sombong dan membanggakan diri[10],
37. (yaitu)
orang-orang yang kikir[11], dan menyuruh orang lain berbuat
kikir[12], dan menyembunyikan karunia yang
telah diberikan Allah kepadanya[13]. Kami telah menyediakan untuk
orang-orang kafir[14] azab yang menghinakan.
38. Dan (juga) orang-orang yang meinfakkan hartanya karena riya[15] kepada orang lain, dan tidak
beriman kepada Allah dan kepada hari kemudian[16]. Barang siapa yang menjadikan setan
sebagai temannya[17], maka ketahuilah dia (setan) itu
teman yang sangat jahat.
39.[18] Apa mudharatnya bagi mereka, jika
mereka beriman kepada Allah dan hari kemudian serta menginfakkan sebagian rezki
yang telah diberikan Allah kepadanya?[19] Dan Allah Maha Mengetahui keadaan
mereka.
[1] Allah Ta'ala dalam ayat ini
memerintahkan kita hanya menyembah kepada-Nya saja dan mengarahkan berbagai
bentuk ibadah kepada-Nya, baik berdoa, meminta pertolongan dan perlindungan,
ruku' dan sujud, berkurban, bertawakkal dsb. serta masuk ke dalam pengabdian
kepada-Nya, tunduk kepada perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya dengan rasa
cinta, takut dan harap serta berbuat ikhlas dalam semua ibadah baik yang nampak
(ibadah lisan dan anggota badan) maupun yang tersembunyi (ibadah hati). Allah
Ta'ala juga melarang berbuat syirk, baik syirk akbar (besar) maupun syirk
asghar (kecil).
Syirk Akbar
(besar) adalah syirk yang biasa terjadi dalam uluhiyyah maupun rububiyyah.
Syirk dalam Uluhiyyah yaitu dengan mengarahkan ibadah kepada selain Allah
Ta’ala, misalnya berdo’a dan meminta kepada selain Allah, ruku’ dan sujud
kepada selain Allah, berkurban untuk selain Allah (seperti membuat sesaji untuk
jin atau penghuni kubur), bertawakkal kepada selain Allah dan mengarahkan
segala bentuk penyembahan/ibadah lainnya kepada selain Allah Ta’ala. Sedangkan
syirk dalam rububiyyah yaitu menganggap bahwa di samping Allah ada juga yang
ikut serta mengurus alam semesta. Syirk dalam uluhiyyah dan rububiyyah termasuk
syirk akbar. Sedangkan Syirk Asghar (kecil) adalah perbuatan, ucapan atau niat
yang dihukumi oleh agama Islam sebagai Syirk Asghar karena bisa mengarah kepada
Syirk Akbar contohnya adalah:
q Bersumpah
dengan nama selain Allah.
q Memakai
jimat dengan keyakinan bahwa jimat tersebut sebagai sebab terhindar dari
madharat (namun bila berkeyakinan bahwa jimat itu dengan sendirinya bisa
menghindarkan musibah atau mendatangkan manfaat maka menjadi Syirk Akbar).
q Meyakini
bahwa bintang sebagai sebab turunnya hujan. Hal ini adalah Syirk Asghar karena
ia telah menganggap sesuatu sebagai sebab tanpa dalil dari syara’, indra,
kenyataan maupun akal. Dan hal itu bisa menjadi Syirk Akbar bila ia beranggapan
bahwa bintang-bintanglah yang menjadikan hujan turun.
q Riya’
(beribadah agar dipuji dan disanjung manusia). Contohnya adalah seseorang
memperbagus shalat ketika ia merasakan sedang dilihat orang lain.
q Beribadah
dengan tujuan mendapatkan keuntungan dunia.
q Thiyarah
(merasa sial dengan sesuatu sehingga tidak melanjutkan keinginannya). Misalnya,
ketika ia mendengar suara burung gagak ia beranggapan bahwa bila ia keluar dari
rumah maka ia akan mendapat kesialan sehingga ia pun tidak jadi keluar, dsb.
Pelebur dosa thiyarah adalah dengan mengucapkan,
اَللّهُمَّ لَا خَيْرَ اِلَّا
خَيْرُكَ وَلَا طَيْرَ اِلَّا طَيْرُكَ وَلاَ اِلهَ غَيْرُكَ
َ“Ya Allah,
tidak ada kebaikan kecuali kebaikan-Mu dan tidak ada nasib sial kecuali yang
Engkau tentukan. Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau.”(HR.
Ahmad)
Termasuk
syirk juga adalah apa yang disebutkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma
berikut ketika menafsirkan ayat "Falaa taj'aluu lillahi andaadaa…"artinya:
"Maka janganlah kamu adakan bagi Allah tandingan-tandingan sedang kamu mengetahui"
(Al Baqarah: 22) :
الْأَنْدَادُ: هُوَ
الشِّرْكُ أَخْفَى مِنْ دَبِيْبِ النَّمْلِ عَلَى صَفَاةٍ سَوْدَاءَ فِي ظُلْمَةِ
اللَّيْلِ؛ وَهُوَ أَنْ تَقُوْلَ: وَاللهِ، وَحَيَاتِكَ يَا فُلاَنُ وَحَيَاتِيْ،
وَتَقُوْلُ: لَوْلاَ كُلَيْبَةُ هَذَا لَأَتَانَا اللَّصُوْصُ، وَلَوْلَا الْبِطُّ
فِي الدَّارِ لَأَتَانَا اللَّصُوْصُ، وَقَوْلُ الرَّجُلِ لِصَاحِبِهِ: مَا شَاءَ
اللهُ وَشِئْتَ، وَقَوْلُ الرَّجُلِ: لَوْلَا اللهُ وَفُلاَنٌ. لاَ تَجْعَلْ
فِيْهَا فُلاَناً هَذَا كُلُّهُ بِهِ شِرْكٌ
(رواه ابن أبي حاتم)
"Tandingan-tandingan
tersebut adalah perbuatan syirk, di mana ia lebih halus daripada semut di atas
batu yang hitam di kegelapan malam, yaitu kamu mengatakan "Demi Allah
dan demi hidupmu hai fulan", "Demi hidupku", juga
mengatakan "Jika seandainya tidak ada anjing kecil ini tentu kita
kedatangan pencuri", dan kata-kata "Jika seandainya tidak ada
angsa di rumah ini tentu kita kedatangan pencuri", juga pada kata-kata
seseorang kepada kawannya "Atas kehendak Allah dan kehendakmu",
dan pada kata-kata seseorang "Jika seandainya bukan karena Allah dan si
fulan (tentu…)", janganlah kamu tambahkan fulan padanya, semua itu
syirk."
Kata-kata
"Jika seandainya tidak ada anjing kecil ini tentu kita kedatangan
pencuri" adalah syirk jika yang dilihat hanya sebab tanpa melihat
kepada yang mengadakan sebab itu, yaitu Allah Subhaanahu wa Ta'aala atau
seseorang bersandar kepada sebab dan lupa kepada siapa yang mengadakan sebab
itu, yaitu Allah Azza wa Jalla.
Namun, tidak
termasuk syirk jika seseorang menyandarkan kepada sesuatu yang memang sebagai
sebab berdasarkan dalil syar'i atau hissiy (inderawi) atau pun waqi'
(kenyataan), ssebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tentang Abu
Thalib, "Jika seandainya bukan karena saya, tentu ia berada di lapisan
neraka yang paling bawah."
Demikian
pula termasuk syirk:
- Meyakini
ramalan bintang (zodiak),
- Melakukan
pelet, sihir/santet,
- Membaca
jampi-jampi syirk,
- Mengatakan
bahwa hujan turun karena bintang ini dan itu, padahal hujan itu turun karena
karunia Allah dan rahmat-Nya.
- Mengatakan
“Hanya Allah dan kamu saja harapanku”, “Aku dalam lindungan Allah dan kamu”,
“Dengan nama Allah dan nama fulan” dan kalimat lain yang terkesan menyamakan
dengan Allah Ta’ala.
Perbedaan
Syirk Akbar dengan Syirk Asghar adalah bahwa Syirk Akbar mengeluarkan seseorang dari
Islam, sedangkan Syirk Asghar tidak. Syirk Akbar menghapuskan seluruh amal
sedangkan Syirk Asghar tidak dan Syirk Akbar mengekalkan pelakunya di neraka
bila pelakunya meninggal di atas perbuatan itu sedangkan Syirk Asghar tidak
(yakni tahtal masyii'ah; jika Allah menghendaki, maka Dia akan menyiksanya dan
jika Allah menghendaki, maka Dia akan mengampuninya), kalau pun pelakunya
disiksa, namun tidak kekal.
Setelah Allah
memerintahkan memenuhi hak-Nya, yaitu dengan mentauhidkan-Nya, Dia juga
memerintahkan untuk memenuhi hak hamba, dari mulai yang terdekat lebih dahulu,
yaitu kedua orang tua.
[2] Yakni berbuat baiklah kepada mereka
baik dalam hal ucapan maupun dalam hal perbuatan. Dalam hal ucapan misalnya
dengan berkata-kata yang lembut dan baik kepada kedua orang tua, sedangkan
dalam hal perbuatan misalnya menaati kedua orang tua dan menjauhi larangannya,
menafkahi orang tua dan memuliakan orang yang mempunyai keterkaitan dengan
orang tua serta menyambung tali silaturrahim dengan mereka.
[3] Baik kerabat dekat maupun jauh,
yakni kita diperintah berbuat baik kepada mereka dalam ucapan maupun perbuatan,
serta tidak memutuskan tali silaturrahim dengan mereka.
[4] Anak yatim adalah anak-anak yang
ditinggal wafat bapaknya saat mereka masih kecil. Mereka memiliki hak yang
harus ditunaikan oleh kaum muslimin. Misalnya menanggung mereka, berbuat baik
kepada mereka, menghilangkan rasa sedih yang menimpa mereka, mengajari adab dan
mendidik mereka sebaik-baiknya untuk maslahat agama maupun dunia mereka.
[5] Misalnya dengan memenuhi kebutuhan
mereka, mendorong orang lain memberi mereka makan serta membantu sesuai
kemampuan.
[6] Dekat dan jauh di sini ada yang
mengartikan dengan tempat, ada pula yang mengartikan dengan hubungan
kekerabatan. Yakni tetangga dekat maksudnya tetangga yang memiliki hubungan
kekerabatan. Sedangkan maksud tetangga jauh adalah tetangga yang tidak memiliki
hubungan kekerabatan.
Tetangga
yang memiliki hubungan kekerabatan memiliki dua hak, hak tetangga dan hak
sebagai kerabat. Oleh karenanya, tetangga tersebut berhak mendapatkan haknya
sebagai tetangga dan berhak diberlakukan secara ihsan yang ukurannya sesuai
uruf (kebiasaan yang berlaku). Demikian juga tetangga yang jauh, yakni yang
tidak memiliki hubungan kekerabatan pun berhak mendapatkan haknya sebagai
tetangga, semakin dekat tempatnya (rumahnya), maka haknya pun semakin besar.
Selaku tetangganya, hendaknya ia tidak lupa memberinya hadiah, sedekah,
mengundang, bertutur kata yang baik serta bersikap yang baik dan tidak
menyakitinya.
[7] Ada yang mengartikan "teman
sejawat" dengan teman dalam perjalanan, ada pula yang mengartikan istri,
dan ada pula yang mengartikan dengan "teman" secara mutlak. Selaku
teman hendaknya diberlakukan secara baik, misalnya dengan membantunya,
menasehatinya, bersamanya dalam keadaan senang maupun sedih, lapang maupun
sempit, mencintai kebaikan didapatkannya dsb.
[8] Ibnu sabil ialah orang yang dalam
perjalanan bukan untuk maksiat dan bekalnya habis sehingga tidak dapat
melanjutkan perjalanan. Termasuk juga anak yang tidak diketahui ibu bapaknya.
Ibnu Sabil memiliki hak yang ditanggung oleh kaum muslimin, yaitu dengan
menyampaikan ibnu sabil ke tempat tujuannya atau kepada sebagian tujuannya,
memuliakannya dan bersikap ramah terhadapnya.
[9] Mencakup budak maupun hewan yang
dimilikinya. Berbuat baik kepada mereka adalah dengan memberikan kecukupan
kepada mereka dan tidak membebani mereka dengan beban-beban yang berat,
membantu mereka mengerjakan beban itu dan membimbing mereka terhadap hal yang
bermaslahat bagi mereka.
Orang yang
berbuat baik kepada mereka yang disebutkan dalam ayat di atas, maka
sesungguhnya dia telah tunduk kepada Allah dan bertawadhu' (berendah hati)
kepada hamba-hamba Allah; tunduk kepada perintah Allah dan syari'at-Nya, di
mana ia berhak memperoleh pahala yang besar dan pujian yang indah. Sebaliknya,
barang siapa yang tidak berbuat baik kepada mereka yang disebutkan itu, maka
sesungguhnya dia berpaling dari Tuhannya, tidak tunduk kepada perintah-Nya
serta tidak bertawadhu' kepada hamba-hamba Allah, bahkan sebagai orang yang
sombong; orang yang bangga terhadap dirinya lagi membanggakan diri di hadapan
orang lain.
[11] Terhadap sesuatu yang wajib diberikan oleh mereka
atau ada hak-hak wajib yang mesti mereka keluarkan.
[13] Berupa ilmu dan harta. Seperti halnya orang-orang
Yahudi. Mereka menyembunyikan pengetahuan tentang kenabian Muhammad shallallahu
'alaihi wa sallam, menggantinya dengan menampilkan yang batil sehingga
menghalangi manusia dari masuk ke dalam agama yang dibawa Beliau. Mereka
menggabung antara sikap kikir terhadap harta, kikir terhadap ilmu dan ditambah
dengan upaya merugikan diri dan orang lain. Sifat seperti ini adalah sifat yang
ada dalam diri orang-orang kafir. Oleh karena itu, di akhir ayat Allah
Subhaanahu wa Ta'aala berfirman, "Kami telah menyediakan untuk orang-orang
kafir…dst."
[14] Ada yang mengatakan bahwa maksud "kafir" di
sini adalah kufur terhadap nikmat Allah (tidak bersyukur). Hal itu, karena
kikir, menyuruh orang lain berbuat kikir dan menyembunyikan karunia Allah
berarti tidak mensyukuri nikmat Allah.
[16] Infak mereka tidak didasari keikhlasan, keimanan
kepada Allah dan mengharap pahala di hari kemudian.
[17] Tindakan mereka seperti yang disebutkan dalam ayat di
atas tidak lain disebabkan mereka menjadikan setan sebagai kawannya. Padahal
setan adalah seburuk-buruk kawan, karena usahanya untuk membinasakan kawannya
dan berusaha merugikannya.
[18] Sebagaimana kikir terhadap karunia Allah dan
menyembunyikan apa yang diberikan Allah merupakan kemaksiatan, demikian pula
orang yang berinfak dan beribadah karena selain Allah, ia pun berdosa dan
bermaksiat. Hal itu, karena Allah Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan
menaati-Nya dengan cara ikhlas, amalan yang didasari keikhlasan itulah yang
diterima Allah. Oleh karena itu, di ayat ini Allah Subhaanahu wa Ta'aala
mengajak mereka yang berbuat seperti itu untuk berpikir, yakni apa keberatannya
mereka beriman kepada Allah dan beribadah kepada-Nya dengan ikhlas.
[19] Yakni tidak ada mudharatnya, bahkan yang ada mudharat
atau bahayanya adalah apa yang mereka yakini selama ini.
http://www.tafsir.web.id/2013/01/tafsir-surat-al-baqarah-ayat-8-16.htmlTafsir Al Quran Al Karim
Perintah Birrul Walida’in dalam Al-Qur’an
Perintah untuk berbuat baik kepada kedua orangtua dalam Al-Qur’an kurang lebih berulang sebanyak 13 kali. Seperti surah Al-Baqarah, ayat 83, 180 dan 215, An-Nisa ayat 36, An-Na’am: 151, Isra’: 23 dan 24, Al Ahkaf: 15, Al Ankabut: 8, Luqman: 14, Ibrahim: 41, An Naml: 10 dan surah Nuh: 28. Jika melihat dari ayat-ayat tersebut, setidaknya kita bisa mengklasifikasikan ada 6 macam bentuk perintah Allah SWT untuk berbuat baik kepada kedua orangtua.“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada kedua orang tua dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (Qs. Al-Israa: 23)
Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi penghormatan dan pemuliaan kepada kedua orangtua. Apapun bentuk pelecehan dan sikap merendahkan orangtua maka Islam lewat pesan-pesan moralnya telah melarang dan mengharamkannya. Bahkan durhaka kepada kedua orangtua termasuk diantara dosa-dosa besar yang dilarang keras. Dengan melihat ayat di atas, terutama pada frase, “wa laa taqullahumaa ‘uff’, janganlah kamu mengatakan kepada keduanya, perkataan ‘ah’…” menunjukkan untuk bentuk pelecehan dan sikap merendahkan kedua orangtua yang paling kecil sekalipun Islam tidak luput untuk memberikan penegasan atas pelarangannya.
Imam Shadiq as bersabda, “Kalau sekiranya dalam berhubungan dengan kedua orangtua ada bentuk pelecehan yang lebih rendah dari melontarkan kata ‘ah’, niscaya Allah telah melarangnya.” (Ushul Kafi, Jilid 2, hal. 349).
Birrul Walidain berasal dari dua kata, birru dan al-walidain. Imam Nawawi ketika mensyarah Shahih Muslim memberi penjelasan, bahwa kata-kata Birru mencakup makna bersikap baik, ramah dan taat yang secara umum tercakup dalam khusnul khuluq (budi pekerti yang agung). Sedangkan, walidain mencakup kedua orangtua, termasuk kakek dan nenek. Jadi, birrul walidain adalah sikap dan perbuatan baik yang ditujukan kepada kedua orangtua, dengan memberikan penghormatan, pemuliaan, ketaatan dan senantiasa bersikap baik termasuk memberikan pemeliharaan dan penjagaan dimasa tua keduanya.
Perintah untuk berbuat baik kepada kedua orangtua dalam Al-Qur’an kurang lebih berulang sebanyak 13 kali. Seperti surah Al-Baqarah, ayat 83, 180 dan 215, An-Nisa ayat 36, An-Na’am: 151, Isra’: 23 dan 24, Al Ahkaf: 15, Al Ankabut: 8, Luqman: 14, Ibrahim: 41, An Naml: 10 dan surah Nuh: 28. Jika melihat dari ayat-ayat tersebut, setidaknya kita bisa mengklasifikasikan ada 6 macam bentuk perintah Allah SWT untuk berbuat baik kepada kedua orangtua.
Pertama, dalam bentuk perintah untuk berbuat baik dengan sebaik-baiknya, seperti dalam surah Al-Isra’ ayat 23 dan 24. Termasuk dalam hal ini, memberikan penjagaan dan pemeliharaan di hari tua keduanya dan mengucapkan kepada keduanya perkataan yang mulia.
Kedua, dalam bentuk wasiat. Allah SWT berfirman, “Dan Kami berwasiat kepada manusia untuk (berbuat) kebaikan kepada dua orang tuanya.” (Qs. Al-Ankabut: 8). Begitupun pada surah Al-Ahqaf ayat 15, Allah SWT berfirman, “Kami wasiatkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah (pula).”
Ketiga, dalam bentuk perintah untuk bersyukur. Allah SWT berfirman, “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu, karena hanya kepada-Ku-lah kembalimu.” (Qs. Luqman: 14).
Keempat, perintah untuk mendo’akan kedua orangtua. Allah SWT berfirman, “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, “Wahai Tuhan-ku, kasihilah mereka berdua, sebagaimana mereka berdua telah mendidikku pada waktu kecil.” (Qs. Al-Israa: 24). Mendo’akan kedua orangtua adalah tradisi para Anbiyah as. Nabi Ibrahim as dalam do’anya mengucapkan, “Ya Tuhan kami, ampunilah aku, kedua orang tuaku, dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat ).” (Qs. Ibrahim: 41). Begitu juga Nabi Nuh as, dalam lantunan do’anya, beliau berujar, “. Ya Tuhan-ku, ampunilah aku dan kedua orang tuaku..” (Qs. Nuh: 28).
Kelima, perintah untuk berwasiat kepada kedua orangtua. Allah SWT berfirman, “Diwajibkan atas kamu, apabila (tanda-tanda) kematian telah menghampiri salah seorang di antara kamu dan ia meninggalkan harta, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” (Qs. Al-Baqarah: 180).
Keenam, perintah untuk berinfaq kepada keduanya. Allah SWT berfirman, “… Setiap harta yang kamu infakkan hendaklah diberikan kepada kedua orang tua, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Dan setiap kebajikan yang kamu lakukan, sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.” (Qs. Al-Baqarah: 215).
Allah SWT dalam tujuh tempat pada Al-Qur’an setelah memerintahkan untuk hanya menyembah kepada-Nya dan tidak mempersekutukannya, perintah selanjutnya adalah berbuat baik kepada kedua orangtua. Dalam surah An-Nisa’ ayat 36 Allah SWT berfirman, “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua..” Perintah Allah SWT untuk berbuat baik kepada kedua orangtua, setelah perintah untuk mentauhidkanNya lainnya terdapat pada surah Al-Baqarah: 83, Al-An’am: 151, Al-Israa: 23, An-Naml: 19, Al-Ahqaaf: 15 dan surah Al-Luqman ayat 13 dan 14. Dari ayat-ayat ini, telah sangat jelas dan terang betapa agung dan mulianya berbuat baik kepada kedua orangtua. Perintah untuk berbuat baik kepada keduanya, ditempatkan setelah perintah untuk hanya menyembah kepada-Nya.
Berhubungan dengan ketaatan kepada kedua orangtua, Al-Qur’an hanya dalam satu hal memberikan sebuah pengecualian. Allah SWT berfirman, “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti mereka, dan pergaulilah mereka di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lantas Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Qs. Luqman: 15). Ketaatan seorang hamba kepada Allah adalah ketaatan mutlak, tanpa pengecualian. Sementara ketaatan kepada orangtua dengan pengecualian, selama keduanya tidak meminta untuk mempersekutukan Tuhan. Kalau kita memperhatikan ayat-ayat Allah berkenaan dengan hubungan kaum muslimin dengan kaum musyrikin, maka akan kita temukan perintah Allah untuk berlepas diri dari kaum musyrikin disampaikan secara keras dan tegas. Terutama pada ayat-ayat awal surah At-Taubah. Namun berkenaan dengan kedua orangtua, Allah SWT menyampaikan perintah secara lembut, dikatakan, kalau permintaan keduanya berkaitan dengan syirik kepada Allah, janganlah menaati keduanya. Selanjutnya ditambahkan, kekafiran dan kemusyrikan kedua orangtua tidaklah menjadi penyebab secara mutlak terputusnya hubungan dengan keduanya, namun tetap diperintahkan untuk berbuat ahsan kepada keduanya di dunia.
Perintah untuk tetap berhubungan, memuliakan, menyayangi dan berbuat baik kepada kedua orangtua meskipun keduanya kafir ataupun musyrik juga masih memiliki pengecualian ataupun persyaratan. Yakni, selagi keduanya tidak menunjukkan permusuhan dan penentangan kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah SWT berfirman, “Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (Qs. Al-Mujaadilah: 22). Perintah yang lebih tegas mengenai hal ini, disampaikan oleh Allah SWT pada awal surah Al-Mumtahanah, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu.” Dan selagi keduanya meskipun termasuk golongan orang-orang kafir ataupun musyrik tidak ada halangan untuk tetap berlaku adil terhadap keduanya, yakni tetap berbuat baik dan berkasih sayang kepada keduanya selagi keduanya tidak menunjukkan permusuhan dan kebencian kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah SWT berfirman, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Qs. Al-Mumtahanah: 8).
Apabila, kedua orangtua termasuk dari golongan orang-orang kafir ataupun musyrik, perintah Allah SWT untuk tetap mempergauli, menjalin hubungan dan berbuat baik kepada keduanya hanya sebatas di dunia ini atau sebatas keduanya masih hidup. Tidak ada hak bagi setiap orang yang beriman untuk mendo’akan keselamatan bagi kedua orangtuanya di akhirat, yang meninggalnya dalam keadaan tidak berserah diri kepada Allah, tidak mengimani-Nya ataupun mempersekutukan-Nya dengan yang lain. Mengenai hal ini, Allah SWT berfirman, “Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam.” (Qs. At-Taubah: 113).
Namun, jika kedua orangtua termasuk orang-orang yang beriman, maka berbuat baik kepada keduanya tidak hanya berlaku di dunia saja, namun hatta keduanya telah meninggal dunia, perintah untuk tetap berbuat baik kepada keduanya masih terus berlaku, dan menjadi kewajiban bagi segenap kaum mukminin untuk menunaikannya. Diantara bentuk berbuat baik kepada orangtua setelah meninggalnya adalah memohonkan ampun bagi keduanya. Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, mendo’akan kedua orangtua adalah juga perintah dari Allah SWT dan termasuk diantara tradisi para Anbiyah as. Sebagaimana do’a Nabi Ibrahim as, “Ya Tuhan kami, ampunilah aku, kedua orang tuaku, dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat ).” (Qs. Ibrahim: 41). Pada hakikatnya, mendo’akan keselamatan bagi kedua orangtua, bukan hanya setelah keduanya wafat, namun juga termasuk bentuk kebaikan semasa hidup keduanya, dalam keadaan dekat maupun jauh.
Satu hal yang mesti kita ingat, kebaikan hidup, keimanan ataupun kesalehan yang kita peroleh, tidak semata dari jerih upaya sendiri, kemungkinan ada kaitannya dengan do’a dan kesalehan orang-orang tua sebelum kita yang terijabah oleh Allah SWT. Sebagaimana telah diceritakan dalam Al-Qur’an mengenai do’a Nabi Ibrahim as, “Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (Qs. Al-Baqarah: 128). Ataupun secara umum disampaikan oleh Allah SWT dalam surah Al-A’raaf ayat 189, “Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur."
Pada ayat lainnya, “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri." (Qs. Al-Ahqaaf: 15)
Diceritakan pula, mengenai dua anak yatim piatu yang mendapat pertolongan dari Allah SWT lewat perantaraan dua nabi-Nya, Nabi Musa as dan Nabi Khidir as, karena kesalehan kedua orangtua mereka sebelumnya, “Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya." (Qs. Al-Kahfi: 82). Dari penjabaran ayat-ayat ini, kita bisa mengambil sebuah falsafah hidup, bahwa jika mendoa’kan keselamatan dan kesalehan bagi anak adalah fitrah dari orangtua, maka sebuah tuntunan nurani pula jika sebagai anak, kita tidak boleh luput dalam mendo’akan keselamatan dan memohonkan ampunan bagi kedua orangtua dan orang-orang sebelumnya.
Izinkanlah saya mengakhiri tulisan ini, dengan mengutip nasehat Imam Ja’far Shadiq as mengenai betapa pentingnya perintah berbuat baik kepada kedua orangtua.
Imam Shadiq as bersabda, “Apa yang menghalangi seseorang berbuat baik kepada kedua orang tuanya?, apakah keduanya masih hidup atau telah meninggal dunia, shalatlah, bersedekahlah, naik hajilah dan berpuasalah dengan menghadiahkan pahala untuk keduanya.” (Ushul Kafi, Jilid 2, hal. 159).
Pada kesempatan lain Imam Shadiq as bersabda, “Seseorang yang berbuat baik kepada kedua orangtuanya semasa keduanya masih hidup namun ketika keduanya telah meninggal dunia, hutang-hutangnya tidak dilunasi, dan tidak pernah memohonkan ampun bagi kedua orangtunya, maka Allah mencatatnya sebagai anak yang durhaka. Sementara seseorang yang berbuat durhaka kepada kedua orangtuanya semasa hidupnya, namun ketika keduanya telah wafat, melunasi hutang-hutang keduanya dan memohonkan ampun bagi kedua orang tuanya, maka Allah akan mencatatnya sebagai anak yang berbakti kepada kedua orangtuanya.” (Ushul Kafi, jilid 2, hal. 163). (Ismail Amin)
Wajibnya Berbakti Dan Haramnya Durhaka Kepada Kedua Orang Tua
Rabu, 3 Maret 2004 13:30:23 WIB
Kategori : Risalah : Orang Tua
Kategori : Risalah : Orang Tua
AYAT-AYAT YANG MEWAJIBKAN UNTUK BERBAKTI DAN MENGHARAMKAN
DURHAKA KEPADA ORANG TUA
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Allah memerintahkan dalam Al-Qur'an agar berbakti kepada kedua orang tua. Mengenai wajibnya seorang anak berbakti kepada orang tua, Allah berfirman di dalam surat Al-Isra' ayat 23-24.
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
"Dan Rabb-mu telah memerintahkan kepada manusia janganlah ia beribadah melainkan hanya kepadaNya dan hendaklah berbuat baik kepada kedua orang tua dengan sebaik-baiknya. Dan jika salah satu dari keduanya atau kedua-duanya telah berusia lanjut disisimu maka janganlah katakan kepada keduanya 'ah' dan janganlah kamu membentak keduanya" [Al-Isra : 23]
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
"Dan katakanlah kepada keduanya perkataan yang mulia dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang. Dan katakanlah, "Wahai Rabb-ku sayangilah keduanya sebagaimana keduanya menyayangiku di waktu kecil" [Al-Isra : 24]
Juga An-Nisa ayat 36.
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
"Dan sembahlah Allah dan janganlah menyekutukanNya dengan sesuatu, dan berbuat baiklah kepada kedua ibu bapak....." [An-Nisa : 36]
Juga terdapat dalam surat Luqman ayat 14-15.
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
"Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada orang tuanya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah lemah dan menyapihnya dalam dua tahun, bersyukurlah kalian kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada-Ku lah kalian kembali" [Luqman : 14]
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَىٰ أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۖ وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا ۖ وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ۚ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
"Dan jika keduanya memaksamu mempersekutukan sesuatu dengan Aku yang tidak ada pengetahuanmu tentang Aku maka janganlah kamu mengikuti keduanya dan pergaulilah keduanya di dunia dengan cara yang baik dan ikuti jalan orang-orang yang kembali kepada-Ku kemudian hanya kepada-Ku lah kembalimu maka Aku kabarkan kepadamu apa yang kamu kerjakan" [Luqman : 15]
Berbakti dan taat kepada orang tua terbatas pada perkara yang ma'ruf. Adapun apabila orang tua menyuruh kepada kekafiran, maka tidak boleh taat kepada keduanya. Allah berfirman.
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا ۖ وَإِنْ جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا
"Dan Kami wajibkan kepada manusia (berbuat) kebaikan kepada kedua orang tuanya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya.." [Al-Ankabut : 8]
Serta surat Al-Ahqaaf ayat 15-16.
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا ۖ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا ۖ وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا ۚ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي ۖ إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
" Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun, ia berdo'a "Ya Rabb-ku, tunjukilah aku untuk menysukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan supaya aku dapat berbuat amal yang shalih yang Engkau ridlai, berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri" [Al-Ahqaaf : 15]
أُولَٰئِكَ الَّذِينَ نَتَقَبَّلُ عَنْهُمْ أَحْسَنَ مَا عَمِلُوا وَنَتَجَاوَزُ عَنْ سَيِّئَاتِهِمْ فِي أَصْحَابِ الْجَنَّةِ ۖ وَعْدَ الصِّدْقِ الَّذِي كَانُوا يُوعَدُونَ
" Mereka itulah orang-orang yang Kami terima dari mereka amal yang baik yang telah mereka kerjakan dan Kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka, bersama penghuni-penghuni surga, sebagai janji yang benar yang telah dijanjikan kepada mereka" [Al-Ahqaaf : 16]
Sedangkan tentang anak durhaka kepada kedua orang tuanya terdapat di dalam surat Al-Ahqaaf ayat 17-20.
وَالَّذِي قَالَ لِوَالِدَيْهِ أُفٍّ لَكُمَا أَتَعِدَانِنِي أَنْ أُخْرَجَ وَقَدْ خَلَتِ الْقُرُونُ مِنْ قَبْلِي وَهُمَا يَسْتَغِيثَانِ اللَّهَ وَيْلَكَ آمِنْ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ فَيَقُولُ مَا هَٰذَا إِلَّا أَسَاطِيرُ الْأَوَّلِينَ
"Dan orang yang berkata kepada kedua orang tuanya, 'Cis (ah)' bagi kamu keduanya, apakah kamu keduanya memperingatkan kepadaku bahwa aku akan dibangkitkan, padahal sungguh telah berlalu beberapa umat sebelumku ? lalu kedua orang tua itu memohon pertolongan kepada Allah seraya mengatakan, "Celaka kamu, berimanlah ! Sesungguhnya janji Allah adalah benar" Lalu dia berkata, "Ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu" [Al-Ahqaaf : 17]
أُولَٰئِكَ الَّذِينَ حَقَّ عَلَيْهِمُ الْقَوْلُ فِي أُمَمٍ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِمْ مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ ۖ إِنَّهُمْ كَانُوا خَاسِرِينَ
"Mereka itulah orang-orang yang telah pasti ketetapan (adzab) atas mereka, bersama-sama umat-umat yang telah berlalu sebelum mereka dari jin dan manusia. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang merugi" [Al-Ahqaaf : 18]
Sedangkan dalam surat Al-Baqarah ayat 215
يَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ ۖ قُلْ مَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۗ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
"Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang apa yang mereka infakkan. Jawablah, "Harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu bapakmu, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Dan apa saja kebajikan yang kamu perbuat sesungguhnya Allah Maha Mengetahui" [Al-Baqarah : 215]
Banyak sekali ayat-ayat di dalam Al-Qur'an yang menerangkan tentang wajibnya berbakti kepada kedua orang tua. Dalam surat Luqman, Allah menyebutkan wajibnya seorang anak berbakti kepada kedua orang tua dan bersyukur kepadanya serta disebutkan juga tentang larangan mengikuti orang tua jika orang tua tersebut mengajak kepada syirik.
[Disalin dari Kitab Birrul Walidain, edisi Indonesia Berbakti Kepada Kedua Orang Tua, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Darul Qolam. Komplek Depkes Jl. Raya Rawa Bambu Blok A2, Pasar Minggu - Jakarta. Cetakan I Th 1422H /2002M]
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Allah memerintahkan dalam Al-Qur'an agar berbakti kepada kedua orang tua. Mengenai wajibnya seorang anak berbakti kepada orang tua, Allah berfirman di dalam surat Al-Isra' ayat 23-24.
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
"Dan Rabb-mu telah memerintahkan kepada manusia janganlah ia beribadah melainkan hanya kepadaNya dan hendaklah berbuat baik kepada kedua orang tua dengan sebaik-baiknya. Dan jika salah satu dari keduanya atau kedua-duanya telah berusia lanjut disisimu maka janganlah katakan kepada keduanya 'ah' dan janganlah kamu membentak keduanya" [Al-Isra : 23]
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
"Dan katakanlah kepada keduanya perkataan yang mulia dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang. Dan katakanlah, "Wahai Rabb-ku sayangilah keduanya sebagaimana keduanya menyayangiku di waktu kecil" [Al-Isra : 24]
Juga An-Nisa ayat 36.
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
"Dan sembahlah Allah dan janganlah menyekutukanNya dengan sesuatu, dan berbuat baiklah kepada kedua ibu bapak....." [An-Nisa : 36]
Juga terdapat dalam surat Luqman ayat 14-15.
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
"Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada orang tuanya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah lemah dan menyapihnya dalam dua tahun, bersyukurlah kalian kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada-Ku lah kalian kembali" [Luqman : 14]
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَىٰ أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۖ وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا ۖ وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ۚ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
"Dan jika keduanya memaksamu mempersekutukan sesuatu dengan Aku yang tidak ada pengetahuanmu tentang Aku maka janganlah kamu mengikuti keduanya dan pergaulilah keduanya di dunia dengan cara yang baik dan ikuti jalan orang-orang yang kembali kepada-Ku kemudian hanya kepada-Ku lah kembalimu maka Aku kabarkan kepadamu apa yang kamu kerjakan" [Luqman : 15]
Berbakti dan taat kepada orang tua terbatas pada perkara yang ma'ruf. Adapun apabila orang tua menyuruh kepada kekafiran, maka tidak boleh taat kepada keduanya. Allah berfirman.
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا ۖ وَإِنْ جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا
"Dan Kami wajibkan kepada manusia (berbuat) kebaikan kepada kedua orang tuanya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya.." [Al-Ankabut : 8]
Serta surat Al-Ahqaaf ayat 15-16.
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا ۖ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا ۖ وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا ۚ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي ۖ إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
" Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun, ia berdo'a "Ya Rabb-ku, tunjukilah aku untuk menysukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan supaya aku dapat berbuat amal yang shalih yang Engkau ridlai, berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri" [Al-Ahqaaf : 15]
أُولَٰئِكَ الَّذِينَ نَتَقَبَّلُ عَنْهُمْ أَحْسَنَ مَا عَمِلُوا وَنَتَجَاوَزُ عَنْ سَيِّئَاتِهِمْ فِي أَصْحَابِ الْجَنَّةِ ۖ وَعْدَ الصِّدْقِ الَّذِي كَانُوا يُوعَدُونَ
" Mereka itulah orang-orang yang Kami terima dari mereka amal yang baik yang telah mereka kerjakan dan Kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka, bersama penghuni-penghuni surga, sebagai janji yang benar yang telah dijanjikan kepada mereka" [Al-Ahqaaf : 16]
Sedangkan tentang anak durhaka kepada kedua orang tuanya terdapat di dalam surat Al-Ahqaaf ayat 17-20.
وَالَّذِي قَالَ لِوَالِدَيْهِ أُفٍّ لَكُمَا أَتَعِدَانِنِي أَنْ أُخْرَجَ وَقَدْ خَلَتِ الْقُرُونُ مِنْ قَبْلِي وَهُمَا يَسْتَغِيثَانِ اللَّهَ وَيْلَكَ آمِنْ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ فَيَقُولُ مَا هَٰذَا إِلَّا أَسَاطِيرُ الْأَوَّلِينَ
"Dan orang yang berkata kepada kedua orang tuanya, 'Cis (ah)' bagi kamu keduanya, apakah kamu keduanya memperingatkan kepadaku bahwa aku akan dibangkitkan, padahal sungguh telah berlalu beberapa umat sebelumku ? lalu kedua orang tua itu memohon pertolongan kepada Allah seraya mengatakan, "Celaka kamu, berimanlah ! Sesungguhnya janji Allah adalah benar" Lalu dia berkata, "Ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu" [Al-Ahqaaf : 17]
أُولَٰئِكَ الَّذِينَ حَقَّ عَلَيْهِمُ الْقَوْلُ فِي أُمَمٍ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِمْ مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ ۖ إِنَّهُمْ كَانُوا خَاسِرِينَ
"Mereka itulah orang-orang yang telah pasti ketetapan (adzab) atas mereka, bersama-sama umat-umat yang telah berlalu sebelum mereka dari jin dan manusia. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang merugi" [Al-Ahqaaf : 18]
Sedangkan dalam surat Al-Baqarah ayat 215
يَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ ۖ قُلْ مَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۗ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
"Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang apa yang mereka infakkan. Jawablah, "Harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu bapakmu, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Dan apa saja kebajikan yang kamu perbuat sesungguhnya Allah Maha Mengetahui" [Al-Baqarah : 215]
Banyak sekali ayat-ayat di dalam Al-Qur'an yang menerangkan tentang wajibnya berbakti kepada kedua orang tua. Dalam surat Luqman, Allah menyebutkan wajibnya seorang anak berbakti kepada kedua orang tua dan bersyukur kepadanya serta disebutkan juga tentang larangan mengikuti orang tua jika orang tua tersebut mengajak kepada syirik.
[Disalin dari Kitab Birrul Walidain, edisi Indonesia Berbakti Kepada Kedua Orang Tua, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Darul Qolam. Komplek Depkes Jl. Raya Rawa Bambu Blok A2, Pasar Minggu - Jakarta. Cetakan I Th 1422H /2002M]
http://almanhaj.or.id/content/358/slash/0/wajibnya-berbakti-dan-haramnya-durhaka-kepada-kedua-orang-tua/
Tafsir An Nisa Ayat 36-39
75
Ayat-ayat Al Qur'an Tentang Berbakti Kepada Orang Tua
1. Taat
kepada orang tua
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapa-bapa dan saudara-saudaramu menjadi wali(mu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”. (Q.S At Taubah, 9:23)
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”. (Q.S Al Israa’, 17:23)
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (Q.S Al Israa’, 17:24)
“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (Q.S Al ‘Ankabuut, 29:8)
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. (Q.S Luqman, 31:15)
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (Q.S Ash Shaafaat, 37:102)
2. Mendo’akan orang tua
“Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapaku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat).” (Q.S Ibrahim, 14:41)
“…”Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (Q.S Al Israa’, 17:24)
“…”Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memintakan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku. (Q.S Maryam, 19:47)
“dan ampunilah bapakku, karena sesungguhnya ia adalah termasuk golongan orang-orang yang sesat, (Q.S Asy Syu’araa’, 26:86)
“Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kebinasaan.” (Q.S Nuh, 71:28)
3. Berbakti kepada orang tua
“Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling”. (Q.S Al Baqarah, 2:83)
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri”, (Q.S An Nisaa’, 4:36)
“Katakanlah: “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya)”. (Q.S Al An’aam, 6:151)
“Maka tatkala mereka masuk ke (tempat) Yusuf: Yusuf merangkul ibu bapanya dan dia berkata: “Masuklah kamu ke negeri Mesir, insya Allah dalam keadaan aman.” Dan ia menaikkan kedua ibu-bapanya ke atas singgasana. Dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf.
Dan berkata Yusuf:
“Wahai ayahku inilah ta’bir mimpiku yang dahulu itu; sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan. Dan sesungguhnya Tuhanku telah berbuat baik kepadaku, ketika Dia membebaskan aku dari rumah penjara dan ketika membawa kamu dari dusun padang pasir, setelah syaitan merusakkan (hubungan) antaraku dan saudara-saudaraku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Lembut terhadap apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S Yusuf, 12:99-100)
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”. (Q.S Al Israa’, 17:23)
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (Q.S Al Israa’, 17:24)
“dan seorang yang berbakti kepada kedua orang tuanya, dan bukanlah ia orang yang sombong lagi durhaka”. (Q.S Maryam, 19:14)
“dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka”. (Q.S Maryam, 19:32)
“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu- bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. (Q.S Al Ankabuut, 29:8)
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu”. (Q.S Luqman, 31:14)
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa:
“Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (Q.S Al Ahqaaf, 46:15)
4. Memberi nafkah kedua orang tua
“Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.” Dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya”. (Q.S Al Baqarah, 2:215)
“Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridhaan Allah; dan mereka itulah orang-orang beruntung”. (Q.S Ar Ruum, 30:38)
5. Nasihat anak kepada orang tua
“Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya; “Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun?” (Q.S Maryam, 19:42)
“Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus”. (Q.S Maryam, 19:43)
“Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah”. (Q.S Maryam, 19:44)
“Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi syaitan.” (Q.S Maryam, 19:45)
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapa-bapa dan saudara-saudaramu menjadi wali(mu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”. (Q.S At Taubah, 9:23)
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”. (Q.S Al Israa’, 17:23)
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (Q.S Al Israa’, 17:24)
“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (Q.S Al ‘Ankabuut, 29:8)
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. (Q.S Luqman, 31:15)
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (Q.S Ash Shaafaat, 37:102)
2. Mendo’akan orang tua
“Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapaku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat).” (Q.S Ibrahim, 14:41)
“…”Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (Q.S Al Israa’, 17:24)
“…”Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memintakan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku. (Q.S Maryam, 19:47)
“dan ampunilah bapakku, karena sesungguhnya ia adalah termasuk golongan orang-orang yang sesat, (Q.S Asy Syu’araa’, 26:86)
“Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kebinasaan.” (Q.S Nuh, 71:28)
3. Berbakti kepada orang tua
“Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling”. (Q.S Al Baqarah, 2:83)
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri”, (Q.S An Nisaa’, 4:36)
“Katakanlah: “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya)”. (Q.S Al An’aam, 6:151)
“Maka tatkala mereka masuk ke (tempat) Yusuf: Yusuf merangkul ibu bapanya dan dia berkata: “Masuklah kamu ke negeri Mesir, insya Allah dalam keadaan aman.” Dan ia menaikkan kedua ibu-bapanya ke atas singgasana. Dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf.
Dan berkata Yusuf:
“Wahai ayahku inilah ta’bir mimpiku yang dahulu itu; sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan. Dan sesungguhnya Tuhanku telah berbuat baik kepadaku, ketika Dia membebaskan aku dari rumah penjara dan ketika membawa kamu dari dusun padang pasir, setelah syaitan merusakkan (hubungan) antaraku dan saudara-saudaraku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Lembut terhadap apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S Yusuf, 12:99-100)
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”. (Q.S Al Israa’, 17:23)
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (Q.S Al Israa’, 17:24)
“dan seorang yang berbakti kepada kedua orang tuanya, dan bukanlah ia orang yang sombong lagi durhaka”. (Q.S Maryam, 19:14)
“dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka”. (Q.S Maryam, 19:32)
“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu- bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. (Q.S Al Ankabuut, 29:8)
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu”. (Q.S Luqman, 31:14)
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa:
“Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (Q.S Al Ahqaaf, 46:15)
4. Memberi nafkah kedua orang tua
“Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.” Dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya”. (Q.S Al Baqarah, 2:215)
“Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridhaan Allah; dan mereka itulah orang-orang beruntung”. (Q.S Ar Ruum, 30:38)
5. Nasihat anak kepada orang tua
“Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya; “Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun?” (Q.S Maryam, 19:42)
“Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus”. (Q.S Maryam, 19:43)
“Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah”. (Q.S Maryam, 19:44)
“Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi syaitan.” (Q.S Maryam, 19:45)
BAB
IV
TELAAH
SURAT AN-NISA’ AYAT 36
TENTANG
KEPRIBADIAN MUSLIM DALAM PERSPEKTIF
KONSELING
ISLAM
4.1.
Telaah terhadap Pesan yang Terkandung dalam Surat an-Nisa’ Ayat 36
Islam adalah agama
wahyu yang mengatur sistem kehidupan yang paripurna
dengan berpedoman
pada dasar hukum yang absolut ketetapannya yaitu pada al-
Qur'an dan al-Hadits,
yang didalamnya mentendensikan pada tiga aspek ajaran, yaitu
ajaran aqidah, ajaran
syari’ah dan ajaran akhlak (El-Jazairi, 1993: v). Dari ketiga
aspek tidak dapat
difungsikan secara berat sebelah sebagai wujud ke-kaaffah-an
agama Islam
sebagaiamana yang tersirat QS. Al-Baqarah: 208, yaitu : “Hai orangorang
yang beriman,
masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya (kaffah), dan
janganlah kamu turut
langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh
yang nyata bagimu”
(Depag RI, 1989: 50). Meskipun memang diakui bahwa aspek
pertama amat
menentukan, tanpa integritas kedua aspek berikutnya dalam perilaku
kehidupan muslim,
maka makna realitas kesempurnaan Islam menjadi kurang utuh
dan bersamaan dengan
itu bahwa eksistensi perilaku lahiriyah manusia adalah
perlambang hatinya.
Dari sini penulis
mencoba mengamati secara mendalam makna atau pesan
yang terkandung dalam
al-Qur'an surat an-Nisa’ ayat 36 kaitannya dengan realisasi
76
ajaran Islam yang
mencakup aspek ajaran aqidah, syari’ah dan akhlak mengenai
pembentukan
kepribadian muslim.
Berdasarkan tafsir
al-Qur'an surat an-Nisa’ ayat 36 yang telah diterangkan
secara rinci dalam
bab III, dapat penulis simpulkan sebagai berikut:
Pertama, munasabah
surat dan ayat sebagai bentuk hubungan antara surat
dan ayat baik sebelum
dan sesudahnya. Adapun munasabah surat An-Nisa’ dengan
surah sebelumnya,
yaitu surat Ali Imran diketahui bahwa pada bagian akhir surat Ali
Imran disebutkan
perintah untuk bertakwa, perintah yang sama juga disebutkan pada
permulaan surat
an-Nisa’. Dan munasabah surat An-Nisa’ dengan surat sesudahnya,
yaitu surat
Al-Maidah. Surat An-Nisa’ dimulai dengan perintah bertakwa dan
menyatakan bahwa asal
itu adalah satu, kemudian menerangkan hukum-hukum yang
berhubungan dengan
anak yatim, rumah tangga, warisan, wanita yang haram dinikahi
serta hak dan
kewajiban laki-laki dan perempuan. Pengutaraan hukum perang dan
hukum keluarga dalam
surat ini, merupakan hujjah-hujjah yang dikemukakan kepada
ahli kitab, yang mana
hujjah-hujjah ini ditegaskan pada bagian terakhir dari surat ini.
Akhirnya surat ini
ditutup dengan perintah kepada para mukmin supaya mereka
bersabar, mengeratkan
hubungan sesama manusia dan bertakwa kepada Allah, agar
mendapat
keberuntungan dunia dan akhirat (Depag RI, 1989: 154). Selain itu juga
dijelaskan dalam
surat An-Nisa’ ini tentang beberapa macam akad, baik akad
perkawinan,
perceraian, warisan, dan perjanjian. Sedangkan surat Al-Maidah pada
bagian awal surat
agar hamba-hamba Allah memenuhi segala macam aqad yang telah
dilakukan baik
terhadap Allah maupun terhadap sesama manusia.
77
Sedangkan Surat
an-Nisa’ ayat 36 menggambarkan bahwa ayat ini memberi
peringatan kepada
masyarakat muslim supaya waspada dan berhati-hati terhadap ahli
kitab yaitu kaum
Yahudi dan Nasrani dengan segala keburukan dan kemurkaannya,
dalam upaya merombak
tatanan sosial dan kehidupan manusia yang sesuai dengan
ajaran agama Islam.
Keterkaitan surat an-Nisa’ ayat 36 dengan ayat sebelum dan
sesudahnya, di
dalamnya mengandung peraturan-peraturan yang wajib dipelihara dan
dijalankan di dalam
menegakkan tatanan kehidupan manusia menjadi muslim yang
berkepribadian baik
(akhlakul karimah) terhadap tatanan keluarga, masyarakat dan
umat manusia, juga
terkandung peraturan tanggung jawab suami dan ketaatan istri
dan sikap keluarga luar
(masyarakat sosial) jika terjadi perselisihan, termasuk juga
peraturan pembagian
harta waris. Peraturan yang terkandung dalam ajaran Islam ini
memberikan tatanan
kehidupan yang membawa rahmat bagi yang menjalankan,
supaya terbentuk
suatu keluarga, masyarakat dan umat yang baik, harmonis dan
memiliki integritas
yang kuat.
Kedua,
sebab musabab turunnya (asbabun nuzul) al-Qur'an khususnya dalam
surat an-Nisa’ ayat
36 tidak diketahui secara pasti tentang sebab turunnya ayat ini,
sehingga menunjukkan
bahwa eksistensi ayat ini berdiri sendiri dan bersifat universal
(absolut).
Namun keberadaan ayat ini terdapat keterkaitan yang menghubungkan
antara ayat sebelum
dan sesudahnya, yaitu pelajaran yang merupakan permulaan
proses perjalanan
pengaturan kehidupan muslim dari konteks jahiliyah menuju
konteks
ajaran Rasulullah SAW. Di mana korelasi dan relevansi aktual ayat
ini
dengan era kekinian
merupakan produk identitas Islam mengenai “moslem ideal”,
khususnya mengenai
aturan dan hukum sebagai kewajiban manusia terhadap Allah
78
SWT dan sesama
manusia dalam tatanan masyarakat sosial yang selama ini perlu
dilestarikan, dijaga
secara berkesinambungan sehingga terbentuk tatanan kehidupan
muslim yang kaffah
dari zaman Rasulullah SAW sampai akhir zaman.
Dari sini dapat
diketahui bahwa kandungan Al-Quran surat an-Nisa’ ayat 36
memberikan
petunjuk-petunjuk dan nasehat-nasehat dalam pembinaan kepribadian
umat manusia. Hal ini
dapat dicermati sebagaimana yang telah ditafsirkan oleh para
mufasir yang
menegaskan bahwa substansi ayat tersebut dapat dijadikan sebagai
cerminan, pelajaran
dan contoh dalam membimbing dan mengarahkan umat manusia
agar tercipta
kepribadian yang berakhlak mulia (Depag RI, 1985: 166). Sebagimana
yang dikutip Shihab
(2000: 414-415) dalam al-Biqa’i yang menilai bahwa ayat ini
sebagai penekanan
terhadap tuntunan dan bimbingan ayat-ayat sebelumnya, di
dalamnya menjelaskan
bahwa cukup banyak nasehat yang dikandung, yang
kesemuanya
mengarahkan kepada nasehat tentang ketaqwaan, keutamaan serta
anjuran “meraih” dan
ancaman “mengabaikan”. Nasehat tersebut tidak hanya
ditujukan kepada
orang-orang mukmin melainkan juga kepada semua manusia
dengan meyebutkan
pada ayat pertama dalam surat an-Nisa’ “Hai sekalian manusia,
sembahlah Allah yang
Maha Esa dan menciptakan kamu serta pasanganmu, dan
janganlah kamu
mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun selain-Nya. Dan dengan
dua orang ibu-bapak
persembahkanlah kebajikan yang sempurna, dan jangan abai
berbuat baik dengan
karib kerabat, dan anak-anak yatim serta orang-orang miskin
hingga …. diterangkan
sampai akhir ayat”.
Surat an-Nisa’ ayat
36 menggambarkan bahwa ayat ini memberi peringatan
kepada masyarakat
muslim supaya waspada dan berhati-hati terhadap ahli kitab yaitu
79
kaum Yahudi dan
Nashrani dengan segala keburukan dan kemurkaannya, dalam
upaya merombak
tatanan sosial umat manusia yang sesuai dengan ajaran agama
Islam. Keterkaitan
surat an-Nisa’ ayat 36 dengan ayat sebelum dan sesudahnya, telah
dijelaskan oleh Hamka
(1984: 60) di dalamnya mengandung peraturan-peraturan
yang wajib dipelihara
dan dijalankan di dalam menegakkan rumah tangga, peraturan
tanggung jawab suami
dan ketaatan istri dan sikap keluarga luar jika terjadi
perselisihan,
termasuk juga peraturan pembagian harta waris. Peraturan yang
terkandung dalam
ajaran Islam ini memberikan tatanan kehidupan yang membawa
rahmat bagi yang
menjalankan, supaya terbentuk suatu keluarga, masyarakat dan
umat manusia yang
berakhlak mulia.
Berkaitan dengan
pendapat para mufasir mengenai surat an-Nisa’ ayat 36,
maka eksistensi ayat
tersebut bila ditinjau dari munasabah dan asbabun nuzul, dapat
ketahui bahwa
terdapat nilai-nilai dan pesan yang terkandung di dalamnya, yaitu
sebagai berikut:
1. Kewajiban manusia
kepada Allah SWT ialah dengan menyembah-Nya dan
beribadah kepada-Nya
dengan khusu’ dan ta’at.
2. Tidak boleh
mempersekutukan Allah SWT dengan sesuatu.
3. Hendaklah berbuat
baik kepada ibu bapak, karena keduanya itu adalah manusia
yang berjasa.
4. Termasuk kewajiban
sesama manusia, ialah berbuat baik kepada kerabat karib,
anak yatim,
orang-orang miskin, tetangga, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba
sahaya.
80
5. Hendaknya jangan
menjadi orang yang sombong dan takabur, suka
membanggkan diri,
sebab sifat ini sangat dibenci oleh Allah SWT (Depag RI,
1985: 178).
Dari tafsiran ayat di
atas dapat penulis ketahui bahwa pesan dari kandungan
surat an-Nisa’ ayat
36 secara eksplisit menjelaskan tentang perintah Allah SWT yang
mengarah kepada
ajakan kepada seluruh alam termasuk di dalamnya manusia untuk
menciptakan tatanan
kehidupan yang selaras, seimbang, dan harmonis (rahmatan lil
‘alamin)
dalam mencapai petunjuk dan ridha-Nya. Namun secara implisit ayat
tersebut dapat
diketahui bahwa dalam mengaplikasikan konsep yang terkandung
dalam al-Qur'an surat
an-Nisa’ ayat 36 tersebut mengarah pada kerangka
pembentukan
kepribadian muslim. Di mana manusia “moslem ideal” berkedudukan
sebagai pelaku ajaran
agama yang diwajibkan untuk melaksanakan “perintah Allah
SWT” guna
menselaraskan, menyeimbangkan dan mengharmoniskan serta
melestarikan tatanan
kehidupan manusia di muka bumi (dunia), yang berlanjut
kepada kebahagiaan
akhirat.
Dari sini penulis
dengan mengutip (Hasyimi: 2001) dapat menyimpulkan dan
menggarisbawahi
secara rinci bahwa nilai-nilai atau pesan yang termaktub dalam al-
Qur'an surat an-Nisa’
ayat 36 mengenai pembentukan kepribadian muslim mencakup
hal-hal sebagai
berikut :
1. Pribadi muslim
kepada Allah SWT
Beberapa hal yang
menjadi point penting dalam pembentukan
kepribadian muslim
khususnya kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Kepribadian
atau akhlak muslim
kepada Allah SWT dan Rasul-Nya adalah sebagai berikut:
81
a. Orang Mukmin
selalu waspada dan mengingat Allah SWT
Islam menyerukan
kepada umatnya agar benar-benar beriman dan
bersikap tulus kepada
Allah SWT, berhubungan akrab dengan-Nya, selalu
mengingat-Nya dan
tawakal kepada-Nya. Seorang muslim harus merasakan
di kedalaman jiwanya
bahwa ia senantiasa memerlukan pertolongan dan
dukungan Allah SWT.
Dia menyadari bahwa Allah lah yang mengontrol
segala urusan dunia
dan kehidupan manusia, mengenal tanda-tanda
kekuasaan-Nya yang
tidak terbatas pada setiap aspek ciptaan-Nya, sehingga
dengan demikian
keimanannya kepada Allah SWT akan semakin meningkat.
Hal ini dipertegas
dalam firman-Nya:
اِنَّ فِى خلْقِ
ال سمواتِ وْا
َ لارضِ واختِ َ لافِ الَّيلِ والنهارِ ََ لايتٍ لأُِولِى ْالاَلْبابِ ()
َالَّذِي ن
يذْكُرو َ
ن اللهَ قِي ما
وُقع ودا و
عَلى
جنوبِهِم ويتَفكَّرو َ
ن فِى خلْقِ
ال سمواتِ
- وْا
َ لارضِ ربنا ما خَلقْ
ت
ه
َ ذا باطِ ً لا سبحان ك
َفقِنا عذَا ب
النارِ (ال امران: 190
(191
“Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi dan silih
bergantinya malam dan
siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang
yang berakal (yaitu)
orang-orang yang mengingat Allah sambil
berdiri atau duduk atau
dalam keadaan berbaring dan mereka
memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): Ya
Tuhan kami, tiada
Engkau menciptaan ini dengan sia-sia. Maha Suci
Engkau, maka
peliharalah kami dari siksa neraka” (QS. Ali Imran:
190-191).
b. Memahami perintah
Tuhan
Seorang muslim yang
tulus harus patuh kepada Allah SWT dalam
keadaam bagaimanapun.
Ujian keimanan seorang muslim terletak dalam
mengikuti perintah
Allah dan Rasul-Nya dalam segala keadaan baik
persoalan besar
maupun kecil tanpa ragu dan tanpa syarat. Tanpa kepatuhan
82
mutlak kepada
keduanya, tidak ada yang disebut iman, demikian juga Islam.
Oleh karena itu,
seorang muslim yang tulus tidak boleh menyimpang dari
bimbingan Allah dan
mengabaikan ajaran Rasul-Nya.
c. Menerima kehendak
dan ketentuan Allah SWT
Seorang muslim yang
sejati bahwa iman kepada kehendak dan
ketentuan Allah
merupakan salah satu rukun iman. Apapun yang menimpa
dirinyadalam hidup
tidak bisa dihindarinya karena Allah SWT telah
memutuskannya. Sikap
menerima kehendak dan ketentuan Allah akan
membuatnya menerima
pahala dari sisi Allah SWT.
d. Bersegera taubat
kepada Allah SWT
Seorang muslim boleh
jadi lalai dan menyimpang dari jalan yang lurus,
sehingga ia berbuat
dosa yang tidak sesuai dengan jiwanya sebagai berikut
seorang mukmin yang
rendah hati. Namun jika telah berbuat demikian ia
akan segera ingat
kepada Allah SWT, menghentikan segala kesalahannya dan
mohon ampunan atas
kesalahan itu.
اِنَّ الَّذِي ن
اتَق وا
اَِذا مس ه
م
َ طئِ ف
مِ ن
ال شيطَانِ ت َ ذكَّروا َفاَِذا ه
م
مبصِرو َ
ن (الاعراف:
(201
“Sesungguhnya
orang-orang yang bertakwa bila dalam dirinya timbul
perasaan was-was dari
setan, mereka segera ingat kepada Allah. Maka
seketika itu juga
mereka melihat kesalahan-kesalahannya” (QS. al-
A’raf: 201).
Hati yang dipenuhi
dengan cinta dan ketakwaan kepada Allah SWT
tidak akan dirasuki
kelalaian. Bagi seorang muslim selalu berhasrat untuk
menyesal dan mohon
ampunan, serta berusaha dalam kepatuhan, bimbingan
dan ridha Allah SWT.
83
e. Perhatian utamanya
adalah ridha Allah SWT
Seorang muslim selalu
mencari ridha Allah SWT dalam setiap apa yang
dilakukannya, dan
tidak berusaha untuk mencari persetujuan selain-Nya, dan
sungguh ia boleh jadi
akan dimarahi atau dibenci orang dalam upayanya
untuk mengutamakan
Tuhan.
f. Taat dalam
melaksanakan kewajiban dan amal shalih yang diajarkan Islam
Kewajiban muslim
kepada Tuhannya adalah melaksanakan seluruh
kewajiban dan rukun
Islam secara sempurna dan tekun. Ia tidak menundanundanya
dan tidak mencari
alasan untuk meninggalkannya. Kewajiban
melaksanakan shalat
lima waktu pada waktunya, karena shalat merupakan
salah satu pokok
keimanan, siapapun yang menegakkan shalat berarti
menegakkan agama.
2. Pribadi muslim
terhadap diri sendiri
Seorang muslim yang berkepribadian
muslim berkeyakinan bahwa
kebahagiaan di dunia
dan akhirat bergantung pada sikap, perbuatan dan akhlak
terhadap dirinya
sendiri; bagaimana ia menyucikan dan membersihkan
pribadinya, demikian
pula penderitaannya bergantung pada kerusakan dirinya.
Hal ini didasarkan
pada firman Allah SWT:
(10-
َق د
َافَْل ح
م ن
زكَّا
ها
وَقد خا ب
م ن
د سا
ها
(الشمش: 9
“Sesungguhnya
berbahagialah orang yang menyucikan dirinya dan
celakalah orang yang
mengotorinya” (QS. asy-Syams: 9-10)
Dengan menjaga
dirinya sendiri, seorang muslim berarti berusaha
menanamkan
kepribadaian (akhlak) muslim yang ditujukan kepada dirinya
84
sendiri adalah
meliputi: pemenuhan kebutuhan jasmani (lahiriyah), berupa sikap
dalam makan dan
minum, kesehatan terjaga dengan baik, olahraga dan istirahat
teratur serta
penampilan yang baik; pemenuhan kebutuhan rohani, seperti
beribadah dengan
tekun, berdzikir dan berdoa secara istiqomah; dan pemenuhan
kebutuhan ilmu
pengetahuan, dengan cara belajar yang sungguh dan mendalami
bidang kajiannya.
3. Pribadi muslim
terhadap sesama makhluk
Islam menganjurkan
agar kaum muslimin bergaul dan berkomunikasi
dengan orang lain.
Keberadaan mereka dapat dibedakan dengan mudah dari
kepribadian dan
akhlaknya sehari-hari, penampilan, pakaiannya, sehingga
menjadi teladan dan
berguna bagi orang lain.
Adapun pribadi muslim
terhadap sesama makhluk, meliputi berbuat baik
dan berakhlak luhur
kepada :
a. Pribadi muslim
terhadap kedua orang tua
Salah satu
karakteristik utama dari seorang muslim sejati adalah
perlakuannya yang
bijak dan baik kepada kedua orang tuanya. Seorang
muslim yang
benar-benar mengikuti perintah ini merupakan tema tetap dalam
kitab Allah SWT dan
Sunnah Rasul-Nya, yang dengan tegas mengenai
tingginya kedudukan
orang tua, sehingga sepatutnya memperlakukan dengan
bijaksana sejak usia
senja sampai mencapai masa uzur. Firman Allah SWT:
وَق
ضى
رب ك
َالاَّ تعبدوا اِلاَّ اِياه وبِالْوالِ دينِ اِح سانا اِما يبلُغ ن
عِن د
ك
الْكِبر َا ح
د
ه
ما
َا وكِ
َ لا ه
ما
َف َ لا تُق ْ ل َل همَا
ُاف و
َ لاتن ه
ر
ه
ما
وُق
ْ ل َل ه
ما
َقو ً
لا َ كرِي ما
() وا
خفِ
ض
َل ه
ما
85
24-
جنا ح
الذُّلِّ مِ ن
الرح مةِ
وُق
ْ ل ر ب
ا ر
ح
م
ه
ما
َ ك ما
ربيانِى صغِيرا (الاسرأ:
23
(
“Dan Tuhanmu telah
memerintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain Dia
dan hendaklah kamu berbuat baik kepada
bapak ibumu dengan
sebaik-baiknya, jika salah seorang di antara
keduanya atau
kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu maka
janganlah kamu sekali-kali mengatakan
kepada keduanya
perkataan “Ah” dan janganlah kamu membentak
mereka dan ucapkanlah
kepada mereka ucapan yang mulia. Dan
rendahkanlah dirimu
terhadap mereka berdua dengan penuh
kesayangan dan
ucapkanlah “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka
berdua sebagaimana
mereka berdua telah mendidikku sewaktu masih
kecil” (QS. Al-Isra’:
23-24).
Dari keterangan ayat
di atas mengenai “Berbuat baik kepada bapak
ibumu” menujukkan
adanya sikap dan perilaku muslim yang mulia, di
antaranya:
memperlakukan orang tua dengan bijak dan baik, menyadari status
orang tua dan
mengerti tanggung jawabnya kepada mereka.
b. Pribadi muslim
terhadap tetangga
Seorang muslim yang
benar-benar paham akan ajaran agamanya
biasanya menjadi
orang yang terbaik dalam berhubungan dengan
tetangganya. Tetangga
dekat adalah orang yang dengannya mempunyai
ikatan keluarga atau
agama, sedangkan tetangga jauh adalah seorang dengan
seseorang yang lain
tidak memiliki ikatan agama.
Perlakuan yang baik
kepada tetangga dan penghindaran diri dari
perilaku yang
membahayakan dan merisaukan tetangga demikian penting
sehingga nabi
mensabdakan sebagai satu dari tanda-tanda keimanan yang
benar kepada Allah
SWT dan hari akhir. Dalam sabdanya disebutkan:
86
م ن
َام ن
بِاللهِ والْيومِ ْا َ لاخِرِ َفْلي ْ كرِ م
جا ره ومن َام ن
بِاللهِ والْيومِ ْا َ لاخِرِ َفْلي ْ كرِ م
ضيَفه
م ن
َام ن
بِاللهِ والْيومِ ْا َ لاخِرِ َفْليُق ْ ل خيرا َا ولِي ص
م
ت
(رواه بخارى ومسلم)
“Barang siapa yang
beriman kepada Allah SWT dan hari akhir,
hendaknya dia
memperlakukan tetangganya dengan baik; barang
siapa beriman kepada
Allah SWT dan hari akhir hendaknya dia
memuliakan tamunya;
barang siapa beriman kepada Allah SWT dan
hari akhir hendaknya
dia mengucapkan kata-kata yang baik atau
diam” (Mutafaq
‘alaih).
c. Pribadi muslim
terhadap saudara
Sifat muslim terpuji
yang menonjolkan kepribadian atau akhlak mulia
salah satunya adalah
terhadap saudaranya, baik saudara sekandung maupun
saudara seagama.
Batas-batas yang menghubungkan seorang muslim dengan
saudaranya melampaui
batas ras, warna kulit atau bahasa, yang mendasar
adalah batas keimanan
kepada Allah SWT.
Persaudaraan seiman
merupakan ikatan paling kuat di antara hati dan
pikiran. Tidak
mengherankan, persaudaraan yang unik ini melahirkan buah
cinta yang
benar-benar mulia, suci, mendalam dan abadi. Dalam al-Qur'an
diterangkan:
“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara” (QS.
al-Hujurat: 10).
d. Pribadi muslim terhadap
masyarakat
Seorang muslim yang
menyadari ajaran-ajaran agamanya akan menjadi
pribadi yang berjiwa
sosial, karena dia memiliki misi dalam hidupnya. Orang
yang memiliki misi
dalam hidupnya tidak akan mempunyai pilihan lain
kecuali harus
berhubungan dengan orang lain, bergaul dan barbaur dengan
mereka serta terlibat
dalam kegiatan memberi dan menerima.
87
Seorang muslim akan
bergaul dalam kehidupan sosial dengan cara yang
terbaik sesuai
pemahamannya atas agama yang benar dan memiliki
kemanusiaan yang mulian
yang dianjurkan dalam bidang interaksi sosial.
Kepribadian sosial
seorang muslim yang diwarnai tuntunan al-Qur'an dan as-
Sunnah merupakan
kepribadian yang unik yang tidak bisa dibandingkan
dengan kepribadian
sosial lain yang dibangun oleh sistem buatan manusia
atau oleh hukum-hukum
terdahulu maupun yang dikemukakan oleh para
pemikir.
Kepribadian muslim
adalah kepribadian sosial yang berkualitas
tertinggi yang
terdiri dari sejumlah karakter mulia yang disebutkan dalam al-
Qur'an dan as-Sunnah.
Dengan demikian makna
dari konsep al-Qur'an surat an-Nisa’ ayat 36
menujukkan adanya
korelasi yang erat antara manusia dengan Khaliqnya dan
manusia terhadap
sesama dalam rangka beriman dan bertaqwa kepada-Nya. Di mana
ayat “perintah”
tersebut berkaitan dengan materi keimanan dan ibadah sebagaimana
yang dijelaskan di
dalamnya mengenai hal ihwal hidup manusia dalam menata
kehidupannya secara
dinamis, yang berujung pada tatanan kehidupan keluarga,
masyarakat, negara
dan umat manusia yang rahmatan lil ‘alamin. Maka hal yang
paling mendasar dari
ayat “perintah” ini adalah diisyaratkan untuk berupaya menata
dan memelihara
eksistensi manusia dalam mengembangkan potensi hidup yang
memiliki kepribadian
muslim yang berakhlak mulia (Depag RI, 1984: 166). Dalam
rangka merubah,
membangun, menata dan membimbing umat manusia kepada
kebenaran dan akhlak
mulia perlu adanya pemahaman dan penerapan konsep yang
88
ditawarkan al-Qur'an
dalam surat an-Nisa’ ayat 36, kemudian dikembangkan secara
sistematis dalam
perilaku dan kepribadian manusia secara harmonis, maka dari sini
dapat diharapkan
suatu tatanan kehidupan manusia yang beradab (beriman dan
bertaqwa kepada Allah
SWT) sekaligus menjaga harkat, martabat, dan hak asasi
manusia sehingga
terwujud masyarakat madani. Ajaran yang terkandung dalam al-
Qur'an surat an-Nisa’
ayat 36 menujukkan adanya korelasi erat dengan proses
pembentukan
kepribadian umat manusia yang beradab (moralitas umat), dalam hal
ini memiliki akhlak
mulia dan beradab sehingga tercermin dalam pribadi muslim.
Dari keseluruhan
aspek nilai-nilai dan pesan yang terkandung dalam surat an-
Nisa’ ayat 36 dapat
penulis simpulkan bahwa ayat tersebut memberikan petunjuk dan
nasehat dengan
kandungan “perintah” yang perlu dipegang teguh dan diamalkan
dalam kehidupan
sehari-hari, baik dalam urusan beribadah kepada Allah SWT
dengan tanpa
menyekutukannya dengan sesuatu apapun, berbuat baik terhadap kedua
orang tua, karib
kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat
dan jauh, teman
sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu. Langkah ini sebagai
aktualisasi ajaran
agama yang tercermin dalam al-Qur'an surat an-Nisa’ ayat 36
dalam membentuk
tatanan sosial yang memiliki peradaban “kepribadian muslim”.
4.2.
Implementasi Al-Qur'an Surat An-Nisa’ Ayat 36 tentang Pembentukan
Kepribadian
Muslim dalam Perpektif Konseling
Merujuk pada sebagian
besar definisi konseling Islam menunjukkan bahwa
pengaruh dan hasil
konseling adalah peningkatan atau perubahan tingkah laku,
sebagimana yang
dirumuskan oleh para pemikir muslim, seperti Ainur Rahim Faqih,
Hallen dan Adz-Dzaky,
yang menyebutkan bahwa orientasi konseling Islam adalah:
89
“Suatu aktivitas
memberikan bimbingan, pelajaran dan pedoman kepada individu
yang meminta (klien)
yang mengalami penyimpangan perkembangan fitrah
beragama, dengan
mengembangkan potensi akal pikirannya, kepribadiannya,
keimanan dan
keyakinan yang dimilikinya sehingga klien dapat menanggulangi
problematika hidup
secara mandiri yang berpandangan pada al-Quran dan as-Sunnah
Rasulullah SAW demi
tercapainya kebahagiaan di dunia dan akhirat”.
Surat an-Nisa’ ayat
36 menujukkan bahwa seorang yang memiliki pribadi
yang muslim perlu
mengembangkan etika berinteraksi yang bersifat hirarkis, gradual
(bertingkat) terdapat
tahapan-tahapan yang perlu dikembangkan dalam berinteraksi
dengan sesama, yang
dimulai dengan pengembangan interaksi yang baik dengan
berbakti kepada orang
tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
tetangga dekat dan
tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya, dan
tidak boleh berbuat
sombong dan membanggakan diri.
Prinsip etika
interaksi yang diarahkan terhadap diri sendiri pada dasarnya
merupakan
implementasi dari konsep munasabatun ‘ala nafs, seorang pribadi
muslim senantiasa
mengembangkan budaya untuk introspeksi diri dengan cara
menjauhkan diri dari
sifat-sifat tercela. Konsep pengembangan pribadi yang seperti
ini akan menimbulkan
efek yang positif dan teratur.
Gambaran tentang
konsep pribadi muslim dalam surat an-Nisa’ ayat 36 dapat
dikembangkan dalam
sebuah skema berikut ini.
Lingkungan
Diri Manusia
Allah
SWT
Pribadi
Konselor
90
Keterangan
:
1. Berdasarkan
orientasi Konseling Islam di atas, maka dapat disebutkan bahwa
pelaksanaan konseling
Islam selalu diarahkan kepada penjagaan fitrah manusia
sebagai makhluk yang religius,
aspek seperti ini bila dicermati sesuai dengan
nilai kandungan surat
an-Nisa’ ayat 36, yaitu aspek interaksi yang bersifat
vertikal.
2. Mengembangkan
potensi diri. Dalam pengembangan potensi diri ini bila ditinjau
dari kandungan surat
an-Nisa’ ayat 36 dapat disimpulkan bahwa apapun
pengembangan potensi
seseorang harus selalu dalam frime tauhid. Dengan kata
lain pengembangan
pribadi seorang pribadi muslim harus merupakan perwujudan
diri sebagai ‘abdullah
dan khalifah Allah SWT. Berdasarkan surat an-Nisa’ ayat
36 sebenarnya masih
terdapat orientasi konseling Islam lain yang terkait dengan
orientasi etik. Ini
diarahkan pada pengembangan pribadi muslim dalam kerangka
interaksinya dengan
sesama manusia dan dengan dirinya sendiri.
Berdasarkan pada keterangan
skema di atas, konsep al-Qur'an dalam surat an-
Nisa’ ayat 36
menjelaskan tentang perintah Allah SWT kepada hambanya untuk
berbuat baik kepada
semua ciptaan-Nya, hal ini wujud dari akhlak atau kepribadian
muslim yang diridhai
Allah SWT. Berkaitan dengan pengertian konseling Islam
sebagai ilmu terapan
dakwah Islam (al-Irsyad) yang bertujuan membantu muslim
untuk mengaplikasikan
ajaran agama Islam dengan baik yang mendasar pada al-
Qur'an dan as-Sunnah
dengan cara membentuk akhlak atau kepribadian yang baik
terhadap Allah SWT,
terhadap sesama makhluk, berbuat baik kepada seisi alam.
Dari sini dapat
penulis ketahui bahwa konseling Islam berperan penting dan
memberi kontribusi
bagi pelaksanaan ajaran agama Islam sebagaimana yang
ditegaskan dalam
al-Qur'an surat an-Nisa’ ayat 36 mengenai pembentukan
91
kepribadian muslim.
Peran konselor Islam dalam membimbing dan mengarahkan
umat manusia kepada
akhlakul karimah (kepribadian muslim) merupakan suatu
bentuk kewajiban
bersama dan tanggung jawab yang diemban dalam menjalankan
misi dakwah Islam.
Adapun bila ditinjau
dari fungsi konseling Islam, menurut penulis usaha
membimbing yang
dilakukan konselor Islam kepada klien dalam hal ini umat Islam
tentang pembentukan
kepribadian muslim berakhlakul karimah ditempuh dengan
berbagai fungsi
konseling Islam, yang meliputi: Pertama, usaha preventif, yaitu
menjaga dan mencegah
pribadi muslim yang telah melanggar aturan agama untuk
kembali pada
ketentuan yang digambarkan dalam surat an-Nisa’ ayat 36. Kedua,
usaha kuratif, yaitu
membantu individu muslim agar dapat memecahkan dan
menyelesaikan masalah
yang sedang dialami. Ketiga, usaha preservatif, yaitu
membantu pribadi
muslim menjaga agar situasi dn kondisi yang semula tidak baik
(mengandung masalah)
menjadi baik (terpecahkan) dan kebaikan itu bertahan lama.
Keempat, developmental,
yaitu memelihara pribadi muslim yang telah baik tidak
menjadi buruk kembali
serta mengembangkan pribadi muslim yang sudah baik
menjadi lebih baik.
Usaha konseling Islam ini dijadikan sebagai rumusan guna
membantu pribadi
dalam merubah dan membentuk kepribadian muslim yang
mardhatillah,
sehingga memungkinkan tatanan kehidupan umat manusia menjadi
selaras dengan apa
yang termaktub dalam surat an-Nisa’ ayat 36.
Dari keempat fungsi
konseling tersebut, penulis lebih menekankan pada
usaha developmental.
Dengan penekanan upaya pengembangan (developmental)
pada pribadi muslim,
hal ini mengarah pada status atau eksistensi manusia yang jelas
92
sekali berperan
sebagai makhluk individu, makhluk beragama, makhluk sosial dan
makhluk berbudaya, di
mana status tersebut mengacu pada hubungan yang
siginifikan,
berkesinambungan, dan interaktif antara manusia dengan Tuhan-Nya dan
manusia dengan sesama
makhluk yang harus dibarengi oleh sikap, perilaku,
kepribadian dan akhlak
mulia guna tercapainya kehidupan yang selaras dan harmonis
menuju kebahagiaan di
dunia dan akhirat. Adapun penekanan usaha developmental
ini sebagaimana yang
dirumuskan oleh Marimba, ada tiga taraf dalam pembentukan
kepribadian
seseorang, yaitu:
a. Pembiasaan.
Pembiasan dilakukan
dengan cara dengan mengontrol dan mempergunakan
tenaga-tenaga
kejasmanian dan dengan bantuan kejiwaan. Seorang konselor
Islam membiasakan
klien dengan amalan-amalan yang dikerjakan dan diucapkan
sesuai dengan
nilai-nilai ajaran Islam, seperti bertutur kata dan memperlakukan
baik kepada kedua
orang tuanya, berbuat baik kepada kerabat, tetangga,
mengasihi anak yatim
dan orang miskin dan orang-orang yang membutuhkan
pertolongan (ibnu
sabil). Dengan sikap pembiasaan atau tauladan yang terus
menerus tercipta
usaha kerjasama yang baik yang mengarah pada kepribadian
muslim.
b. Pembentukan
pengertian, minat dan sikap.
Dalam taraf ini perlu
ditanamkan dasar-dasar kesusilaan yang rapat hubungannya
dengan kepercayaan.
Dalam hal ini konselor Islam menggunakan tenaga-tenaga
kejiwaan, karsa,
rasa, dan cipta dalam mendeteksi dan mengukur semangat
individu dalam
merealisasikan akhlak yang baik dalam perilaku hidupnya seharihari.
c. Pembentukan
keruhanian yang luhur.
Pembentukan ini
dengan menanamkan kepercayaan yang terdiri atas, iman
kepada Allah SWT,
iman kepada malaikat, iman kepada kitab Allah SWT, iman
kepada Rasul-Nya,
iman kepada qadha’ dan qodar dan hari kesudahan. Usaha
konselor dalam
pembentukan keruhanian kepada klien (umat manusia) dalam
membentuk akhlak
luhur yang mana lebih diprioritaskan pada kebesaran dan
kekuasaan Allah SWT.
93
Berdasarkan konsep
pengertian Konseling Islam sebagai “proses pemberian
bantuan terhadap
individu agar dalam keagamaannya senantiasa selaras dengan
ketentuan dan
petunjuk Allah SWT sehingga dapat mencapai kebahagiaan hidup di
dunia dan akhirat”,
maka upaya yang dilakukan oleh konselor Islam dalam
pembentukan
kepribadian muslim menekankan pada proses untuk membantu
individu (personality)
agar tertanam kepribadian, yaitu:
a. Memahami bagaimana
ketentuan dan petunjuk Allah SWT tentang kehidupan
beragama
b. Menghayati
ketentuan Allah SWT dan petunjuk tersebut
c. Mampu menjalankan
ketentuan dan petunjuk Allah SWT untuk beragama dengan
benar (beragama
Islam) (Faqih, 2001: 61).
Ketiga pokok tersebut
oleh konselor dapat refleksikan dalam kandungan al-Qur'an
surat an-Nisa’ ayat
36 dalam konteks sekarang berdasarkan pada perkembangan ilmu
pengetahuan dan
teknologi yang semakin pesat.
Beberapa hal yang
harus dijadikan rumusan teoritis dalam kajian Konseling
Islam oleh konselor
dalam membentuk kepribadian muslim, sebagaimana
diungkapkan Rusli
Amin (2005) antara lain :
a. Konselor membentuk
pribadi muslim pada aspek aqidah (tauhid)
Manusia tidaklah
terjadi dengan sendirinya, melainkan diciptakan oleh
Allah SWT dan ada
tujuan hidup yang digariskannya untuk manusia (QS. adz-
Dzariyat: 56). Ada
beberapa “perencanaan Allah” untuk kehidupan manusia di
bumi tempat
persinggahan sementara dalam rentang waktu yang ditentukan, yaitu
meliputi:
94
1). Iman kepada Allah
SWT (QS. al-Baqarah: 21)
2). Hidup selamat
berpedoman al-Qur'an (QS. Ali Imraan: 164)
3). Hidup sesuai
ukuran yang ditetapkan Allah SWT (QS. al-Qamar: 49,53)
4). Berakhlak mulia
(QS. al-Qalam: 4)
Pencapaian integritas
pribadi muslim dilandasi keimanan yang kuat akan
mampu mengapresiasi
diri secara baik dan dinamis, apapun kondisi fisik,
materialnya serta
apapun status sosialnya.
b. Konselor membentuk
pribadi muslim pada aspek syari’ah dan akhlak
1). Membentuk pribadi
muslim terhadap dirinya sendiri
- Mulailah suatu
perbuatan dan pekerjaan dengan membaca “basmalah”
- Memiliki sifat malu
terhadap suatu kemaksiatan
- Selalu menampakkan
wajah yang berseri
- Mempunyai pola
hidup dalam meraih kesuksesan
- Mengutamakan hal-hal
yang bermanfaat (QS. al-Mukminun: 3)
- Selalu
memperbaharui diri dengan sifat terpuji (QS. ar-Rad: 11)
- Menjaga
keseimbangan urusan dunia dan akhirat
- Satu kata dan
perbuatan dalam menggali kehidupan (QS. ash-Shaaf: 2-3)
- Melihat kekurangan
diri dan jangan mencari kesalahan orang lain (QS.
al-Hujurat: 12)
- Pandai bersyukur
dan berterima kasih.
2). Membentuk pribadi
muslim terhadap makhluk lain
- Selalu ingin
berbuat baik dan menolong orang lain (QS. al-Qashash: 77)
- Kerjasama yang
dilandasi iman (QS. al-Hujurat: 10).
- Beri’tikad baik
dibalik kesulitan (QS. al-Ankabut: 2)
- Tidak mudah
percayaa desas-desus atau gossip
- Mudah melupakan
kesalahan orang lain dan memaafkannya
- Tidak suka mencela
orang lain
- Bersilaturrahim
tanpa pandang bulu
- Beramal dengan
ketulusan (ikhlas).
Beberapa hal tersebut
perlu mendapatkan perhatian, karena dilihat secara
dimensi psikologis,
dimensi spiritual keagamaan dan dimensi sosiologis dari aspek
aqidah, syari’ah dan
akhlak tersebut merupakan sebagai langkah Konseling Islam
dalam mengembangkan
dan membentuk kepribadian muslim yang ideal (Latipun,
2001: 201).
95
BAB
V
PENUTUP
5.1.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian
yang telah penulis kemukakan mulai dari bab I sampai
bab IV, maka skripsi
dengan judul “Konsep Al-Qur’an tentang Pembentukan
Kepribadian Muslim
(Telaah Surat An-Nisa’ ayat 36 dalam Perspektif Konseling
Islam) dapat penulis
simpulkan sebagai berikut:
Berdasarkan tafsir
al-Qur'an surat an-Nisa’ ayat 36 yang telah diterangkan
secara rinci di atas,
dapat diketahui bahwa ayat tersebut mengandung petunjuk dan
perintah dari Allah
SWT yang mencakup: Kewajiban manusia kepada Allah SWT
ialah dengan
menyembah-Nya dan beribadah kepada-Nya dengan khusu’ dan ta’at,
tidak boleh
mempersekutukan Allah SWT dengan sesuatu, hendaklah berbuat baik
kepada ibu bapak,
karena keduanya itu adalah manusia yang berjasa, termasuk
kewajiban sesama
manusia, ialah berbuat baik kepada kerabat karib, anak yatim,
orang-orang miskin,
tetangga, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya,
hendaknya jangan
menjadi orang yang sombong dan takabur, suka membanggakan
diri, sebab sifat ini
sangat dibenci oleh Allah SWT. Nasehat dan petunjuk tersebut
merupakan manifestasi
dari kepribadian muslim dalam menjunjung tinggi ajaran
agama yang diemban
Rasulullah SAW, dimana peraturan yang terkandung dalam
ajaran Islam ini
memberikan tatanan kehidupan yang membawa rahmat bagi yang
96
menjalankan, supaya
terbentuk suatu keluarga, masyarakat dan umat yang baik,
harmonis dan memiliki
integritas yang kuat.
Implementasi konsep
al-Qur'an surat an-Nisa’ ayat 36 tentang pembentukan
kepribadian muslim
dalam perspektif Konseling Islam merupakan sebagai ilmu
terapan dakwah (al-Irsyad)
yang berperan penting dan memberi kontribusi bagi
pelaksanaan ajaran
agama Islam dalam menyeru, menasehati, mengajak manusia
kepada jalan
kebenaran. Peran konselor Islam dalam membimbing dan mengarahkan
umat manusia kepada
pembentukan kepribadian muslim merupakan suatu bentuk
kewajiban bersama dan
tanggung jawab yang diemban dalam menjalankan misi
dakwah Islam. Usaha
pemberian bantuan yang dilakukan konselor mengarah pada
fungsi konseling
Islam, yang meliputi: Pertama, usaha preventif, yaitu menjaga dan
mencegah pribadi
muslim yang telah melanggar aturan agama untuk kembali pada
ketentuan yang
digambarkan dalam surat an-Nisa’ ayat 36. Kedua, usaha kuratif,
yaitu membantu
individu muslim agar dapat memecahkan dan menyelesaikan
masalah yang sedang
dialami. Ketiga, usaha preservatif, yaitu membantu pribadi
muslim menjaga agar
situasi dan kondisi yang semula tidak baik (mengandung
masalah) menjadi baik
(terpecahkan) dan kebaikan itu bertahan lama. Keempat,
developmental,
yaitu memelihara pribadi muslim yang telah baik tidak menjadi
buruk kembali serta
mengembangkan pribadi muslim yang sudah baik menjadi lebih
baik. Usaha konseling
Islam ini dijadikan sebagai rumusan guna membantu pribadi
dalam merubah dan
membentuk kepribadian muslim yang mardhatillah, sehingga
memungkinkan tatanan
kehidupan umat manusia menjadi selaras dengan apa yang
termaktub dalam surat
an-Nisa’ ayat 36. Dari keempat fungsi konseling tersebut,
97
mengacu pada tiga
taraf dalam pembentukan kepribadian seseorang, yaitu:
pembiasaan atau
keteladanan, pembentukan pengertian, minat dan sikap,
pembentukan
keruhanian yang luhur. Ketiga taraf pembentukan kepribadian tersebut
merupakan sebagai
upaya yang dilakukan oleh konselor Islam dalam pembentukan
kepribadian muslim,
yang substansinya menekankan pada proses untuk membantu
individu (personality)
agar tertanam kepribadian, yaitu: memahami bagaimana
ketentuan daan
petunjuk Allah SWT tentang kehidupan beragama; menghayati
ketentuan Allah SWT
dan petunjuk tersebut, dan mampu menjalankan ketentuan dan
petunjuk Allah SWT
untuk beragama dengan benar (beragama Islam).
5.2.
Saran-saran
Yang menjadi bahan
pertimbangan penulis serta beberapa persoalan yang
muncul dari
penelitian penulis, maka ada beberapa hal yang dapat penulis
kemukakan sebagai
saran, yaitu sebagai berikut:
1. Sebagaimana yang
terkandung dalam al-Qur'an surat an-Nisa’ ayat 36 yang
menjelaskan tentang
perintah Allah SWT mengenai pembentukan kepribadian
muslim, perlu sekali
direalisasikan secara optimal khususnya oleh konselor
Islam, mubaligh,
da’i, para juru penerang sebagai bentuk keteladanan dalam
membimbing umat
kepada langkah yang lebih progresif guna mencapai
kebahagiaan di dunia
dan akhirat.
2. Perlu adanya kerja
sama dari berbagai pihak komponen umat Islam secara sadar
dan menyeluruh
memahami ajaran agama Islam tentang pentingnya hidup yang
harmonis, saling
mendukung dan saling melengkapi kemaslahatan umat guna
98
tercapai tatanan
kehidupan umat yang selaras, merata, madani (mawaddah wa
rahmah)
sesuai dengan tuntunan ajaran Allah SWT dan Rasulullah SAW. Kerja
sama ini diterapkan
dalam segi kehidupan, misalnya penegakan zakat untuk
membantu anak yatim
dan fakir miskin, fasilitas dan mutu pendidikan agama
ditingkatkan dan lain
sebagainya.
5.3.
Penutup
Dengan
terselesaikannya penulisan skripsi dari bab pertama hingga bab
kelima, berarti
terselesaikan sudah kewajiban bagi penulis untuk membuat skripsi
sebagai syarat
kelulusan. Atas itu semua penulis memanjatkan syukur ke hadirat
Allah Swt yang telah
memberikan jalan kemudahan bagi penulis. Harapan penulis,
semoga hasil
penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang
berkepentingan, di
balik segala kekurangan dan kelebihan di dalamnya. Menyadari
akan hal ini, maka
penulis tidak menutup diri atas segala masukan dalam bentuk
kritik dan saran.
Kesemuanya itu akan penulis jadikan sebagai bahan pertimbangan
dalam perbaikan kelak
di kemudian hari.
Akhirnya penulis
berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan
khasanah keilmuan
Islam, khususnya kepada penulis dan umumnya kepada pembaca
budiman. Amin ya Rabbal ‘Alamin.
Dan di edisi kali ini akan lebih banyak menampilkan
dalil dari Al-Qur’an yang menggambarkan betapa pentingnya berbakti kepada orang
tua. Sebelum itu mari lihat pengertian dari berbakti kepada orang tua.
“Birrul walidaini” yaitu ihsan
atau berbuat baik dan bakti kepada orang tua dengan memenuhi hak-hak kedua
orang tua serta menaati perintah keduanya selama tidak melanggar syariat.
Lawan katanya yaitu “Aqqul walidaini”, yaitu durhaka
kepada orang tua dengan melakukan apa yang menyakiti keduanya dengan berbuat
jahat baik melalui perkataan ataupun perbuatan serta meninggalkan kebaikan
kepada keduanya.
Hukum bakti kepada orang tua wajib ‘ainiy (mutlak)
sedangkan durhaka kepada keduanya haram.
Bagaimana berbakti kepada orang tua menurut Al-Qur’an,
sebagaimana ayat-ayat Al-Qur’an berikut :
1. Perkataan “Ah” saja termasuk suatu dosa kepada
orang tua apalagi, membentak, memukul, atau hal lainnya yang lebih kejam.
Selain itu juga perlu berlemah lembut kepada orang tua selalu mendoakan
keduanya agar dikasihi oleh Allah SWT.
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا
تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ
عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا
تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا . وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنْ الرَّحْمَةِ
وَقُلْ رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا .الإسراء 23- 24
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai
berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (Al Isra(17):23)
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua
dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka
keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil." (Al
Isra(17):24)
2. Perintah berbakti kepada orang tua
setelah perintah untuk beribadah kepada Allah tanpa mempersekutukannya. Hal ini
menggambarkan pentingnya berbakti kepada orang tua. Dalam ayat lain Allah SWT
menjelaskan bahwa bersyukur kepada orang tua (dengan berbakti kepada keduanya)
merupakan kesyukuran kepada Allah SWT, karena Allah menciptakan semua manusia
dari rahim orang tua.
قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ
مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلَّا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا .الأنعام : 151
yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan
Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, (Al-An’am 151).
3. Meskipun orang tua menyuruh kepada suatu perbuatan yang
menyekutukan Allah SWT, atau orang tua tersebut masih belum memeluk Islam,
sikap berbakti kepada orang tua tetap menjadi suatu kewajiban oleh seorang anak
tanpa harus mematuhi perintah mereka yang menyalahi syariat.
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى
أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا
فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ
مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ [ لقمان 15
15. Dan jika keduanya memaksamu untuk
mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu,
maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia
dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian
hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu
kerjakan.
4. Jasa orang tua terutama ibu
diungkapkan dalam suatu ayat Al-Qur’an, dimana seorang ibu rela berkorban dalam
mengandung anaknya, kemudian menyusuinya. Semua jasa orang tua di kala anak
masih kecil dan lemah perlu diingat dan dikenang untuk selamanya.
وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ
بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ
أَنْ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ [ لقمان 14 ]
14. Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik)
kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah
yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu
dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.
Untuk menutup part 3, ada sebuah kisah nyata yang
diceritakan Rasulullah SAW, mengenai 3 orang yang terjebak dalam gua, kemudian
berdoa kepada Allah dengan menyebutkan amal saleh yang mereka lakukan agar
Allah berkenan menolong mereka dari gua yang tertutupi batu-batu.
Salah satu orang dari mereka menyebutkan bahwa amal
shalehnya ialah “aku memiliki orang tua yang telah usia lanjut, dan aku selalu
mendahulukan kepentingan mereka dibandingkan keluarga dan hartaku, aku biasanya
membawakan minuman (susu) bagi mereka dan tidak membiarkan siapapun meminumnya
kecuali setelah mereka minum. Apabila ini merupakan merupakan amal shaleh yang
mengharap ridha-Mu maka keluarkanlah kami dari gua ini."
Pada akhir cerita, setelah setiap orang menceritakan
amal shalehnya maka akhirnya pintu gua yang tertutupi bebatuan akhirnya terbuka
dan mereka akhirnya keluar dengan selamat.
Marilah para sahabat kita merawat orang tua kita
sebaik-baiknya, dan senantiasa mendahulukan kepentingan mereka. Merupakan
suatu kesalahan bila terlalu memanjakan anak dan pasangan tetapi mengacuhkan
kepentingan orang tua yang seharusnya dijunjung tinggi dalam suatu keluarga.
Orang tua memang membutuhkan materi (uang) tetapi masih ada yang lebih penting
bagi mereka yaitu kasih sayang. Menyapa, menanyakan kabar mereka, kesehatan
mereka, apa yang mereka inginkan merupakan suatu hal sepele namun berarti besar
bagi mereka.
Tafsir Surat An Nisa Ayat 36 (Silaturahim, Keindahan Akhlak Islami)
Penulis : Al-Ustadz Abu ‘Awanah
Jauhari, Lc
“Sembahlah
Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat
baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil,
dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong
dan membangga-banggakan diri.” (An-Nisa`: 36)
Mukadimah
Syariat Islam
sungguh indah. Ia mengajarkan adab nan tinggi dan akhlak yang mulia.
Menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, dan selalu berusaha
menjaga keutuhan keluarga. Membersihkan berbagai noda di dada yang akan merusak
hubungan sesama manusia yang satu keluarga. Menyantuni yang tidak punya dan
tidak iri dengki kepada yang kaya.
Silaturahim
adalah resep mustajab untuk ini semua. Bahkan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa silaturahim termasuk inti dakwah
Islam, sebagaimana diriwayatkan Abu Umamah, dia berkata: Amr bin ‘Abasah
As-Sulamiradhiyallahu ‘anhu berkata:
Aku berkata: “Dengan
apa Allah mengutusmu?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallammenjawab:
“Allah mengutusku dengan silaturahim, menghancurkan berhala dan agar Allah
ditauhidkan, tidak disekutukan dengan-Nya sesuatupun.” (HR. Muslim,
Kitab Shalatul Musafirin, Bab Islam ‘Amr bin ‘Abasah, no. 1927)
An-Nawawi rahimahullahu menjelaskan
hadits ini dengan menyatakan: “Dalam hadits ini terdapat dalil yang sangat
jelas untuk memotivasi silaturahim. Karena NabiShallallahu ‘alaihi wa sallam mengiringkannya
dengan tauhid dan tidak menyebutkan bagian-bagian Islam yang lain kepadanya
(‘Amr). Beliau hanya menyebutkan yang terpenting, dan beliau awali dengan
silaturahim.” (Syarh Shahih Muslim, 5/354-355, cet. Darul Mu`ayyad)
Makna
Silaturahim
Silaturahim
berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata صِلَةٌ dan الرَّحِمُ . Kata صِلَةٌ adalah
bentuk mashdar (gerund) dari kata وَصَلَ- يَصِلُ , yang berarti sampai, menyambung.
Ar-Raghib Al-Asfahani berkata: “وَصَلَ – الْاِتِّصَالُ yaitu
menyatunya beberapa hal, sebagian dengan yang lain.” (Al-Mufradat fi
Gharibil Qur`an, hal. 525)
Adapun
kata الرَّحِمُ, Ibnu Manzhur berkata: “الرَّحِمُ adalah hubungan kekerabatan, yang asalnya
adalah tempat tumbuhnya janin di dalam perut.” (Lisanul ‘Arab)
Jadi,
silaturahim artinya adalah menyambung tali persaudaraan kepada kerabat yang
memiliki hubungan nasab.
Penjelasan
Ayat
“Sembahlah
Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.”
Asy-Syaikh
Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu menjelaskan:
“AllahSubhanahu wa Ta’ala memerintahkan hamba-Nya untuk beribadah
kepada-Nya saja, tiada sekutu bagi-Nya. Yaitu masuk dalam penghambaan diri
kepada-Nya dan taat terhadap perintah dan larangan-Nya, dengan kecintaan,
ketundukan, dan ikhlas untuk-Nya pada semua jenis ibadah, lahiriah maupun
batiniah, serta melarang dari menyekutukan sesuatu dengan-Nya. Baik syirik
kecil maupun besar, baik dengan malaikat, nabi, wali, ataupun makhluk lainnya
yang tidak memiliki bagi diri mereka sendiri manfaat, mudarat, kematian,
kehidupan, maupun pembangkitan. Bahkan yang menjadi keharusan (kewajiban) yang
pasti adalah mengikhlaskan ibadah bagi Dzat yang memiliki kesempurnaan dari
segala sisi, yang milik-Nya lah segala pengaturan. Tidak ada yang
menandingi-Nya. Tidak ada yang membantu-Nya.”
Setelah
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk beribadah
kepada-Nya dan menunaikan hak-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan
untuk menunaikan hak-hak hamba-Nya secara berurutan (sesuai skala prioritas),
yang lebih dekat dan seterusnya. Maka AllahSubhanahu wa Ta’ala mengatakan:
“Dan
berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak.”
Artinya, berbuat
baiklah kalian kepada mereka dengan ucapan yang mulia, tutur kata yang lembut,
dan perbuatan yang baik, dengan menaati perintah mereka berdua dan menjauhi
larangan mereka, memberikan nafkah kepada mereka, memuliakan orang yang
memiliki hubungan dengan mereka berdua, dan menyambung tali silaturahim, yang
mana tidak akan ada kerabat bagimu kecuali dengan perantaraan mereka berdua.
Berbakti
kepada kedua orangtua memiliki dua lawan, yaitu berbuat jelek (durhaka) dan
tidak berbuat baik. Kedua hal ini terlarang.
“(Dan
kepada) karib kerabat.”
Yakni, berbuat
baiklah juga kepada mereka. Kerabat di sini meliputi semuanya, yang dekat
ataupun jauh. Berbuat baik kepada mereka dengan perkataan dan perbuatan, serta
tidak memutuskan silaturahim dengan mereka, baik dalam bentuk perkataan maupun
perbuatan.
“(Dan
kepada) anak-anak yatim.”
Anak yatim yaitu
orang yang ditinggal mati ayah mereka dalam keadaan masih kecil. Mereka punya
hak atas kaum muslimin. Baik anak yatim tersebut termasuk kerabat atau bukan.
Bentuk perbuatan baik terhadap mereka yaitu dengan menanggung biaya hidup
mereka, berbuat baik dan melipur derita mereka, mendidik mereka dengan
pendidikan terbaik, dalam urusan agama maupun dunia.
“(Dan
kepada) orang-orang miskin.”
Yaitu
orang-orang yang tertahan dengan kebutuhan mereka sehingga tidak mendapatkan
kecukupan untuk diri mereka dan orang yang mereka tanggung. Bentuk perbuatan
baik kepada mereka adalah dengan menutupi kekurangan mereka, membantu mereka
sehingga tercukupi kebutuhannya. Juga dengan mengajak orang lain untuk
melakukan hal tersebut dan melakukan apa yang mampu untuk dilakukan.
“(Dan
kepada) tetangga yang dekat.”
Artinya, kerabat
yang rumahnya dekat dengan kita. Sehingga dia mempunyai dua hak atas kita, hak
sebagai kerabat dan hak sebagai tetangga. Perbuatan baik di sini dikembalikan
kepada adat yang berlaku.
Demikian juga
dengan:
“Tetangga
yang jauh.”
Yaitu tetangga
yang tidak mempunyai hubungan kekerabatan. Dalam hal ini, tetangga yang lebih
dekat pintunya lebih besar pula haknya. Sehingga dianjurkan bagi seseorang
untuk selalu memerhatikan tetangganya, dengan memberikan hadiah, shadaqah,
dengan dakwah, kesopanan, baik dalam ucapan maupun perbuatan. Juga tidak
menyakitinya, baik dengan ucapan maupun perbuatan.
“(Dan
kepada) teman sejawat.”
Ada yang
mengatakan bahwa maksudnya adalah teman dalam perjalanan. Ada juga yang mengatakan
maksudnya adalah istri. Ada yang mengatakan maksudnya teman secara mutlak. Dan
mungkin pendapat (terakhir) ini lebih benar, karena mencakup teman di rumah, di
perjalanan, serta istri.
Sehingga,
seorang teman memiliki kewajiban terhadap temannya lebih daripada hak Islamnya,
untuk membantunya dalam urusan agama maupun dunia, menasihatinya, menepati
janji terhadapnya, ketika senang ataupun susah, ketika sedang bersemangat
ataupun malas. Hendaknya ia mencintai untuk temannya apa yang dia sukai untuk
dirinya, dan membenci apa yang ia benci untuk dirinya. Semakin lama pergaulan
dengannya, semakin besar pula haknya.
“(Dan
kepada) ibnu sabil.”
Yaitu orang
asing di negeri lain, yang membutuhkan bantuan materi ataupun tidak. Ia punya
hak atas kaum muslimin, karena dia sangat butuh atau karena dia berada di
negeri asing. Dia memerlukan bantuan agar sampai ke tempat tujuannya atau
tercapai sebagian maksud dan cita-citanya. Juga dengan memuliakan dan
menemaninya agar tidak kesepian.
“(Dan
kepada) hamba sahayamu.”
Yaitu apa yang
kalian miliki, baik dari kalangan Bani Adam atau dari hewan. Perbuatan baik di
sini yaitu dengan mencukupi kebutuhan mereka dan tidak membebani sesuatu yang
memberatkan mereka. Membantu mereka melaksanakan hal yang menjadi tanggung
jawab mereka. Mendidik mereka untuk kemaslahatan mereka.
Maka barangsiapa
yang melaksanakan perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’aladan
syariat-Nya, berhak mendapatkan pahala yang besar dan pujian yang indah.
Sedangkan orang yang tidak melaksanakan perintah-perintah tersebut, dialah
orang yang menjauh dari Rabb-Nya dan tidak taat terhadap perintah-perintah-Nya,
tidak rendah hati kepada makhluk-Nya. Bahkan dia adalah orang yang sombong
terhadap hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala, teperdaya dengan dirinya
dan bangga dengan ucapannya.
Oleh karena
itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong….”
Maksudnya,
sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mencintai orang
yang teperdaya dengan dirinya, sombong terhadap hamba Allah Subhanahu
wa Ta’ala.
“…dan
membangga-banggakan diri.”
Yakni, memuji
dirinya dan menyanjungnya untuk membanggakan dan menyombongkan dirinya kepada
hamba Allah l. (Tafsir As-Sa’di, hal. 191-192, cet. Darus Salam)
Dari ayat dan
penafsiran di atas, kita bisa berbuat baik kepada seluruh hamba-Nya. Terlebih
kepada kerabat-kerabat dekat yang juga muslim, mereka memiliki hak-hak yang
banyak atas kita. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya
Allah mewajibkan perbuatan baik kepada segala sesuatu.” (HR. Muslimdari
Abu Ya’la Syaddad bin Aus radhiyallahu ‘anhu)
Targhib (Motivasi)
Allah Subhanahu
wa Ta’ala melengkapi perintah untuk menyambung tali silaturahim dengan
memberikan janji dan ancaman. Di antara janji-janji tersebut adalah:
1. Surga
adalah balasan bagi orang yang menyambung tali silaturahim.
Allah Subhanahu
wa Ta’ala mengatakan:
“Dan
orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya
dihubungkan, dan mereka takut kepada Rabbnya dan takut kepada hisab yang buruk.”(Ar-Ra’d:
21)
‘Allamatul
Qashim Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu menyatakan:
“Dan
orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya
dihubungkan.”
Ini umum
meliputi semua perkara yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan
untuk menyambungnya, baik berupa iman kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya Shallallahu
‘alaihi wa sallam, mencintai-Nya dan mencintai Rasul-Nya Shallallahu
‘alaihi wa sallam, taat beribadah kepada-Nya semata dan taat kepada
Rasul-Nya. Termasuk juga, menyambung kepada bapak dan ibu dengan berbuat baik
kepada mereka, dengan perkataan dan perbuatan, tidak durhaka kepada mereka.
Juga, menyambung karib kerabat, dengan berbuat baik kepada mereka dalam bentuk
perkataan dan perbuatan. Juga menyambung dengan para istri, teman, dan hamba
sahaya, dengan memberikan hak mereka secara sempurna, baik hak-hak duniawi
ataupun agama.” (Tafsir As-Sa’di, hal. 481, cet. Darus Salam)
Kemudian dalam
ayat 22-24 dari surat Ar-Ra’d ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan:
“Orang-orang
itulah1 yang mendapat tempat kesudahan (yang baik), (yaitu)
surga `Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang
saleh dari bapak-bapaknya, istri-istri dan anak cucunya, sedang
malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu; (sambil
mengucapkan): ‘Salamun ‘alaikum bima shabartum’. Maka alangkah baiknya tempat
kesudahan itu.”
Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam juga memberikan penjelasan yang sama sebagaimana
dalam hadits dari Abu Ayyub Khalid bin Zaid Al-Anshari radhiyallahu
‘anhu:
“Seseorang
berkata: ‘Ya Rasulullah, beritahukan kepadaku amalan yang akan memasukkan aku
ke surga dan menjauhkanku dari neraka.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengatakan: “Engkau beribadah kepada Allah dan tidak
menyekutukan sesuatu dengan-Nya, menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan
menyambung silaturahim’.” (HR. Al-Bukhari, 3/208-209, Muslim no.
13)
2. Shadaqah
kepada kerabat berpahala ganda.
Dari Salman bin
‘Amr radhiyallahu ‘anhu, dari Nabiyullah Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam, beliau berkata:
“Shadaqah
kepada orang miskin itu satu shadaqah. Dan shadaqah kepada kerabat itu dua
shadaqah; shadaqah dan penyambung silaturahim.” (HR. At-Tirmidzi no.
685, Abu Dawud no. 2335, An-Nasa`I 5/92, Ibnu
Majah no. 1844. At-Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan.
Ibnu Hibban menshahihkannya)
3. Orang yang
menyambung tali silaturahim akan dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya.
Dari Anas radhiyallahu
‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Siapa
yang ingin dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, hendaknya ia
menyambung tali silaturahimnya.” (HR. Al-Bukhari 10/348, Muslim no.
2558, Abu Dawud no. 1693)
Tarhib (Ancaman)
Di samping
janji-janji, syariat juga melengkapi perintah untuk bersilaturahim dengan
ancaman-ancaman keras bagi yang memutuskannya. Di antara ancaman-ancaman
tersebut adalah:
1. Laknat
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tempat kembali yang buruk
(neraka) bagi yang memutus tali silaturahim
Allah Subhanahu
wa Ta’ala mengatakan dalam surat Ar-Ra’d ayat 25:
“Orang-orang
yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa
yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi,
orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang
buruk (Jahannam).”
Hal ini
ditegaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana
dalam hadits dari Abu Muhammad Jubair bin Muth’im radhiyallahu ‘anhu,
bahwa beliauShallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak
akan masuk surga, orang yang memutuskan.”
Sufyan
Ats-Tsauri rahimahullahu mengatakan dalam riwayatnya: “Maksudnya,
orang yang memutuskan tali silaturahim.” (HR. Al-Bukhari 10/347
dan Muslim no. 2556)
2. Dijadikan
buta dan tuli
Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman:
“Maka
apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan
memutuskan silaturahim kalian? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah
dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.” (Muhammad:
22-23)
Ayat ini
merupakan ancaman bagi orang yang memutuskan tali silaturahim, sebagaimana
dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits dari
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallambersabda:
“Sesungguhnya
Allah menciptakan makhluk. Setelah selesai dari mereka, berdirilah Ar-Rahim
(rahim) dan mengatakan: ‘Inilah kedudukan (makhluk) yang minta perlindungan
kepada-Mu dari diputus hubungan.’ Allah mengatakan: ‘Ya. Tidakkah engkau puas
(bahwa) Aku akan menyambung siapa yang menyambungmu, dan memutus siapa yang
memutusmu?’ Ar-Rahim mengatakan: ‘Ya.’ Allah menyatakan: ‘Itu bagimu’.”
Kemudian
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Bacalah
bila kalian mau:
“Maka
apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan
memutuskan silaturahim kalian? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah
dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.” (Muhammad:
22-23) [HR. Al-Bukhari 10/349, 13/392 dan Muslim no.
2554]
3. Orang yang
memutuskan tali silaturahim segera mendapatkan azab di dunia dan akhirat
Dari Abu
Bakrah radhiyallahu ‘anhu, dia mengatakan: Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak
ada dosa yang pantas untuk disegerakan hukumannya oleh Allah bagi pelakunya di
dunia bersamaan dengan (hukuman) yang disimpan untuknya di akhirat, daripada
kezaliman dan pemutusan silaturahim.” (HR. Ahmad, 5/36, Abu
Dawud, Kitabul Adab (43) no. 4901, dan ini lafadz beliau, At-Tirmidzi dalam
Shifatul Qiyamah no. 1513, dan beliau mengatakan hadits ini shahih, Ibnu
Majah dalam Kitab Az-Zuhd bab Al-Baghi, no. 4211)
Menyambung
Silaturahim Bukan Sekadar Membalas
Banyak orang
yang mengakrabi saudaranya setelah saudaranya mengakrabinya. Mengunjungi
saudaranya setelah saudaranya mengunjunginya. Memberikan hadiah setelah ia
diberi hadiah, dan seterusnya. Dia hanya membalas kebaikan saudaranya.
Sedangkan kepada saudara yang tidak mengunjunginya –misalnya– tidak mau dia
berkunjung. Ini belum dikatakan menyambung tali silaturahim yang sebenarnya.
Yang disebut menyambung tali silaturahim sebenarnya adalah orang yang
menyambung kembali terhadap orang yang telah memutuskan hubungan
kekerabatannya. Hal ini dijelaskan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam hadits Abdullah bin ‘Amrradhiyallahu ‘anhuma, dari
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Bukanlah
penyambung adalah orang yang hanya membalas. Tetapi penyambung adalah orang
yang apabila diputus rahimnya, dia menyambungnya.” {HR. Al-Bukhari, Kitabul
Adab bab (15) Laisal Washil bil Mukafi, no. 5991}
Ibnu Hajar rahimahullahu mengatakan:
“Peniadaan sambungan tidak pasti menunjukkan adanya pemutusan. Karena mereka
ada tiga tingkatan: (1) orang yang menyambung, (2) orang yang membalas, dan (3)
orang yang memutuskan. Orang yang menyambung adalah orang yang melakukan hal
yang lebih dan tidak diungguli oleh orang lain. Orang yang membalas adalah
orang yang tidak menambahi pemberian lebih dari apa yang dia dapatkan.
Sedangkan orang yang memutuskan adalah orang yang diberi dan tidak memberi.
Sebagaimana terjadi pembalasan dari kedua pihak, maka siapa yang mengawali
berarti dialah yang menyambung. Jikalau ia dibalas, maka orang yang membalas
dinamakan mukafi` (pembalas). Wallahu a’lam.” (Fathul
Bari, 10/427, cet. Dar Rayyan)
Orang yang terus
berbuat baik kepada kerabat mereka meskipun mereka berbuat jelek kepadanya,
tidak akan rugi sedikit pun. Bahkan akan selalu ditolong oleh AllahSubhanahu
wa Ta’ala. Justru kerabat yang tidak mau membalas kebaikan itulah yang
mendapat dosa yang besar akibat perbuatan mereka. Seperti dalam hadits Ibnu
Mas’ud radhiyallahu ‘anhu: Ada seseorang berkata kepada Nabi
MuhammadShallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Wahai
Rasulullah, aku mempunyai kerabat dan aku sambung mereka, tetapi mereka
memutuskanku. Aku berbuat baik kepada mereka tetapi mereka berbuat jelek
terhadapku. Aku bersabar terhadap mereka, tetapi mereka selalu berbuat jahil
kepadaku.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Jika engkau seperti yang engkau katakan, maka seolah-olah engkau melemparkan
abu panas ke wajah mereka dan pertolongan Allah tetap bersamamu menghadapi
mereka selama engkau seperti itu.” (HR. Muslim, Kitabul Birr
wash-Shilah, bab Silaturahim wa tahrimu qathi’atiha, no. 6472)
Silaturahim
kepada Kerabat Non Muslim
Allah Subhanahu
wa Ta’ala telah berfirman:
“Allah tiada
melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang
tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Al-Mumtahanah:
8)
‘Allamatul
Qashim Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahumenjelaskan:
“Artinya, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak melarang kalian dari
kebaikan, silaturahim, dan membalas kebaikan serta berlaku adil terhadap
kerabat kalian dari kalangan kaum musyrikin atau yang lain. Hal ini bila mereka
tidak mengobarkan peperangan dalam agama terhadap kalian, tidak mengusir kalian
dari rumah-rumah kalian. Maka tidak mengapa kalian berhubungan baik dengan
mereka dalam keadaan seperti ini, tidak ada kekhawatiran dan kerusakan
padanya.”
Abul Fida`
Ismail bin Katsir rahimahullahu menafsirkan ayat ini dengan
membawakan hadits dari Asma` bintu Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu
‘anhuma, dia mengatakan:
“Ibuku
datang dalam keadaan masih musyrik, di waktu perjanjian damai yang disepakati
orang Quraisy. Maka aku datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan bertanya: ‘Wahai Rasulullah, ibuku datang dan ia ingin berbuat baik.
Bolehkah aku berbuat baik kepadanya?’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata: ‘Ya, berbuat baiklah kepada ibumu’.” (HR. Ahmad 6/344, Al-Bukhari,
Kitabul Adab bab (7) no. 5978 dan 5979, Muslim Kitabuz Zakat (50) no. 2322)
Jadi jelaslah
bahwa berbuat baik kepada kerabat adalah suatu hal yang disyariatkan, meskipun
dia non-muslim. Dengan syarat, dia bukan orang yang memerangi agama kita, dan
tentunya tidak ada loyalitas dalam hati kita terhadap agamanya. Justru kita
harapkan dengan sikap dan perilaku kita yang baik kepada orang semacam ini,
menjadi sebab datangnya hidayah dalam hati kerabat kita tersebut, sehingga ia
masuk Islam dan meninggalkan kekafirannya.
Wallahul hadi
ila sawa`is sabil.
Sumber:
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=725
Tidak ada komentar:
Posting Komentar