A.
PENGERTIAN FILSAFAT
Diihat dari
segi bahasa, maka “filsafat” berasal dari kata Arab yang berasal dari bhahasa
yunani kuno “philosophia” yang merupakan kata majemuk. Philo berarti
suka atau cinta, dan Sophia berarti kebijaksanaan. Jadi arti
menurit namanya saja: cinta kepada.kebijaksanaan.
Menurut
sejarah filsafat, istlah “philosophi” pertama sekali dipergunakan
sekolah Socrates, kemudian platomenamakan suatu ilmu pengetahuantentang
kegiatan jiwa manusia.
Guna
memahami maksud dan tujuan serta lingkaran pembahasan filsafat, maka tidak
hanya diperlukan makna filsafat menurut bahasa(logat), melainkan lebih dari
pada itu diperlukan pengertian menurut istilah yang diberikan oleh para ahli
yang terkandung jauh lebih luas dibandingkan dengan arti menurut arti
bahasa.
Percakapan
antara Herodates dan Thucydides (yunani) membayangkan makna filsafat menurut
alam pikiran yunani yakni sebagai berikut: “perasaan cinta kepada ilmu
kebijjaksanaan dengan keinginan untuk memperoleh kepandaian atau ilmu kebijaksanaan
itu”
B.
ILMU PENGETAHUAN SEBAI SKETSA
UMUM PENGANTAR UNTUK MEMAHAMI FILSAFAT
ILMU
1.Pendahuluan
Ditinjau dari
segi historis, hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan mengalami
perkembangan yang sangat menyolok. Pada permulaan sejarah filsafat di Yunani,
“philosophia” meliputi hampir seluruh pemikiran teoritis. Tetapi dalam
perkembangan ilmu pengetahuan dikemudian hari, ternyata juga kita lihat adanya
kecenderungan yang lain. Filsafat Yunani Kuno yang tadinya merupakan suatu
kesatuan kemudian menjadi terpecah-pecah (Bertens, 1987, Nuchelmans, 1982).
Lebih lanjut Nuchelmans (1982), mengemukakan bahwa
dengan munculnya ilmu pengetahuan alam pada abad ke 17, maka mulailah terjadi
perpisahan antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian dapatlah
dikemukakan bahwa sebelum abad ke 17 tersebut ilmu pengetahuan adalah identik
dengan filsafat. Pendapat tersebut sejalan dengan pemikiran Van Peursen (1985),
yang mengemukakan bahwa dahulu ilmu merupakan bagian dari filsafat, sehingga
definisi tentang ilmu bergantung pada sistem filsafat yang dianut.
Dalam perkembangan lebih lanjut menurut Koento
Wibisono (1999), filsafat itu sendiri telah mengantarkan adanya suatu
konfigurasi dengan menunjukkan bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” telah tumbuh
mekar-bercabang secara subur. Masing-masing cabang melepaskan diri dari batang
filsafatnya, berkembang mandiri dan masing-masing mengikuti metodologinya
sendiri-sendiri.
Dengan demikian, perkembangan ilmu pengetahuan semakin
lama semakin maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya
memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan baru bahkan kearah ilmu pengetahuan
yang lebih khusus lagi seperti spesialisasi-spesialisasi. Oleh karena itu
tepatlah apa yang dikemukakan oleh Van Peursen (1985), bahwa ilmu pengetahuan
dapat dilihat sebagai suatu sistem yang jalin-menjalin dan taat asas
(konsisten) dari ungkapan-ungkapan yang sifat benar-tidaknya dapat ditentukan.
Terlepas dari berbagai macam pengelompokkan atau
pembagian dalam ilmu pengetahuan, sejak F.Bacon (1561-1626) mengembangkan
semboyannya “Knowledge Is Power”, kita dapat mensinyalir bahwa peranan ilmu
pengetahuan terhadap kehidupan manusia, baik individual maupun sosial menjadi
sangat menentukan. Karena itu implikasi yang timbul menurut Koento Wibisono
(1984), adalah bahwa ilmu yang satu sangat erat hubungannya dengan cabang ilmu
yang lain serta semakin kaburnya garis batas antara ilmu dasar-murni atau
teoritis dengan ilmu terapan atau praktis.
Untuk mengatasi gap antara ilmu yang satu dengan ilmu
yang lainnya, dibutuhkan suatu bidang ilmu yang dapat menjembatani serta
mewadahi perbedaan yang muncul. Oleh karena itu, maka bidang filsafatlah yang
mampu mengatasi hal tersebut. Hal ini senada dengan pendapat Immanuel kant
(dalam kunto Wibisono dkk., 1997) yang menyatakan bahwa filsafat merupakan
disiplin ilmu yang mampu menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan
manusia secara tepat. Oleh sebab itu Francis bacon (dalam The Liang Gie, 1999)
menyebut filsafat sebagai ibu agung dari ilmu-ilmu (the great mother of the
sciences).
Lebih lanjut Koento Wibisono dkk. (1997) menyatakan,
karena pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan “a higher level of knowledge”,
maka lahirlah filsafat ilmu sebagai penerusan pengembangan filsafat
pengetahuan. Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat menempatkan objek
sasarannya: Ilmu (Pengetahuan). Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan
pada komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu yaitu:
ontologi, epistemologi dan aksiologi. Hal ini didukung oleh Israel Scheffler
(dalam The Liang Gie, 1999), yang berpendapat bahwa filsafat ilmu mencari
pengetahuan umum tentang ilmu atau tentang dunia sebagaimana ditunjukkan oleh
ilmu.
Interaksi antara ilmu dan filsafat mengandung arti
bahwa filsafat dewasa ini tidak dapat berkembang dengan baik jika terpisah dari
ilmu. Ilmu tidak dapat tumbuh dengan baik tanpa kritik dari filsafat. Dengan
mengutip ungkapan dari Michael Whiteman (dalam Koento Wibisono dkk.1997), bahwa
ilmu kealaman persoalannya dianggap bersifat ilmiah karena terlibat dengan
persoalan-persoalan filsafati sehingga memisahkan satu dari yang lain tidak
mungkin. Sebaliknya, banyak persoalan filsafati sekarang sangat memerlukan
landasan pengetahuan ilmiah supaya argumentasinya tidak salah.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas serta dikaitkan
dengan permasalahan yang penulis akan jelajahi, maka penulisan ini akan
difokuskan pada pembahasan tentang: “Filsafat Ilmu Sebagai Landasan
Pengembangan Ilmu Pengetahuan Alam”, dengan pertimbangan bahwa latar belakang pendidikan
penulis adalah ilmu pengetahuan alam (MIPA – Kimia).
2.
Pengertian Filsafat
Perkataan Inggris philosophy yang berarti filsafat
berasal dari kata Yunani “philosophia” yang lazim diterjemahkan sebagai cinta
kearifan. Akar katanya ialah philos (philia, cinta) dan sophia (kearifan).
Menurut pengertiannya yang semula dari zaman Yunani Kuno itu filsafat berarti
cinta kearifan. Namun, cakupan pengertian sophia yang semula itu ternyata luas
sekali. Dahulu sophia tidak hanya berarti kearifan saja, melainkan meliputi
pula kebenaran pertama, pengetahuan luas, kebajikan intelektual, pertimbangan
sehat sampai kepandaian pengrajin dan bahkan kecerdikkan dalam memutuskan
soal-soal praktis (The Liang Gie, 1999).
Banyak pengertian-pengertian atau definisi-definisi
tentang filsafat yang telah dikemukakan oleh para filsuf. Menurut
Merriam-Webster (dalam Soeparmo, 1984), secara harafiah filsafat berarti cinta
kebijaksanaan. Maksud sebenarnya adalah pengetahuan tentang kenyataan-kenyataan
yang paling umum dan kaidah-kaidah realitas serta hakekat manusia dalam segala
aspek perilakunya seperti: logika, etika, estetika dan teori pengetahuan.
Kalau menurut tradisi filsafati dari zaman Yunani
Kuno, orang yang pertama memakai istilah philosophia dan philosophos ialah
Pytagoras (592-497 S.M.), yakni seorang ahli matematika yang kini lebih
terkenal dengan dalilnya dalam geometri yang menetapkan a2 + b2 = c2. Pytagoras
menganggap dirinya “philosophos” (pencinta kearifan). Baginya kearifan yang
sesungguhnya hanyalah dimiliki semata-mata oleh Tuhan. Selanjutnya, orang yang
oleh para penulis sejarah filsafat diakui sebagai Bapak Filsafat ialah Thales
(640-546 S.M.). Ia merupakan seorang Filsuf yang mendirikan aliran filsafat
alam semesta atau kosmos dalam perkataan Yunani. Menurut aliran filsafat
kosmos, filsafat adalah suatu penelaahan terhadap alam semesta untuk mengetahui
asal mulanya, unsur-unsurnya dan kaidah-kaidahnya (The Liang Gie, 1999).
Menurut sejarah kelahiran istilahnya, filsafat
terwujud sebagai sikap yang ditauladankan oleh Socrates. Yaitu sikap seorang
yang cinta kebijaksanaan yang mendorong pikiran seseorang untuk terus menerus
maju dan mencari kepuasan pikiran, tidak merasa dirinya ahli, tidak menyerah
kepada kemalasan, terus menerus mengembangkan penalarannya untuk mendapatkan
kebenaran (Soeparmo, 1984).
Timbulnya filsafat karena manusia merasa kagum dan
merasa heran. Pada tahap awalnya kekaguman atau keheranan itu terarah pada
gejala-gejala alam. Dalam perkembangan lebih lanjut, karena persoalan manusia
makin kompleks, maka tidak semuanya dapat dijawab oleh filsafat secara
memuaskan. Jawaban yang diperoleh menurut Koento Wibisono dkk. (1997), dengan
melakukan refleksi yaitu berpikir tentang pikirannya sendiri. Dengan demikian,
tidak semua persoalan itu harus persoalan filsafat.
3. Filsafat Ilmu
Pengertian-pengertian tentang filsafat ilmu, telah
banyak dijumpai dalam berbagai buku maupun karangan ilmiah lainnya. Menurut The
Liang Gie (1999), filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap
persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun
hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Filsafat ilmu
merupakan suatu bidang pengetahuan campuran yang eksistensi dan pemekarannya
bergantung pada hubungan timbal-balik dan saling-pengaruh antara filsafat dan
ilmu.
Sehubungan dengan pendapat tersebut serta sebagaimana
pula yang telah digambarkan pada bagian pendahuluan dari tulisan ini bahwa
filsafat ilmu merupakan penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Objek dari
filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan. Oleh karena itu setiap saat ilmu itu
berubah mengikuti perkembangan zaman dan keadaan tanpa meninggalkan pengetahuan
lama. Pengetahuan lama tersebut akan menjadi pijakan untuk mencari pengetahuan
baru. Hal ini senada dengan ungkapan dari Archie J.Bahm (1980) bahwa ilmu
pengetahuan (sebagai teori) adalah sesuatu yang selalu berubah.
Dalam perkembangannya filsafat ilmu mengarahkan
pandangannya pada strategi pengembangan ilmu yang menyangkut etik dan
heuristik. Bahkan sampai pada dimensi kebudayaan untuk menangkap tidak saja
kegunaan atau kemanfaatan ilmu, tetapi juga arti maknanya bagi kehidupan
manusia (Koento Wibisono dkk., 1997).
Oleh karena itu, diperlukan perenungan kembali secara
mendasar tentang hakekat dari ilmu pengetahuan itu bahkan hingga implikasinya
ke bidang-bidang kajian lain seperti ilmu-ilmu kealaman. Dengan demikian setiap
perenungan yang mendasar, mau tidak mau mengantarkan kita untuk masuk ke dalam
kawasan filsafat. Menurut Koento Wibisono (1984), filsafat dari sesuatu segi
dapat didefinisikan sebagai ilmu yang berusaha untuk memahami hakekat dari
sesuatu “ada” yang dijadikan objek sasarannya, sehingga filsafat ilmu
pengetahuan yang merupakan salah satu cabang filsafat dengan sendirinya
merupakan ilmu yang berusaha untuk memahami apakah hakekat ilmu pengetahuan itu
sendiri.
Lebih lanjut Koento Wibisono (1984), mengemukakan
bahwa hakekat ilmu menyangkut masalah keyakinan ontologik, yaitu suatu
keyakinan yang harus dipilih oleh sang ilmuwan dalam menjawab pertanyaan
tentang apakah “ada” (being, sein, het zijn) itu. Inilah awal-mula sehingga
seseorang akan memilih pandangan yang idealistis-spiritualistis, materialistis,
agnostisistis dan lain sebagainya, yang implikasinya akan sangat menentukan
dalam pemilihan epistemologi, yaitu cara-cara, paradigma yang akan diambil
dalam upaya menuju sasaran yang hendak dijangkaunya, serta pemilihan aksiologi
yaitu nilai-nilai, ukuran-ukuran mana yang akan dipergunakan dalam seseorang
mengembangkan ilmu.
Dengan memahami hakekat ilmu itu, menurut Poespoprodjo
(dalam Koento Wibisono, 1984), dapatlah dipahami bahwa perspektif-perspektif
ilmu, kemungkinan-kemungkinan pengembangannya, keterjalinannya antar ilmu,
simplifikasi dan artifisialitas ilmu dan lain sebagainya, yang vital bagi
penggarapan ilmu itu sendiri. Lebih dari itu, dikatakan bahwa dengan filsafat
ilmu, kita akan didorong untuk memahami kekuatan serta keterbatasan metodenya,
prasuposisi ilmunya, logika validasinya, struktur pemikiran ilmiah dalam
konteks dengan realitas in conreto sedemikian rupa sehingga seorang ilmuwan
dapat terhindar dari kecongkakan serta kerabunan intelektualnya.
5. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka disimpulkan bahwa
filsafat ilmu sangatlah tepat dijadikan landasan pengembangan ilmu khususnya
ilmu pengetahuan alam karena kenyataanya, filsafat merupakan induk dari ilmu
pengetahuan alam.
C.
FENOMENOLOGI PENGETAHUAN DAN ILMU
PENGETAHUAN
a)
Pengertian
Fenomenologi
Fenomenologi
adalah sebuah studi dalam bidang filsafat yang mempelajari manusia sebagai
sebuah fenomena. Ilmu fenomenologi dalam filsafat biasa dihubungkan dengan Ilmu
Hermeneutik, yaitu ilmu yang mempelajari arti dari pada fenomenologi.
Secara
harfiah, fenomenologi fenomenalisme adalah aliran atau paham yang menganggap
bahwa fenomenalisme (gejala) adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Seorang
fenomenalisme suku melihat suatu gejala tertentu dengan ahli ilmu positif yang
mengumpulkan data, mencari korelasi dan fungsi, serta membuat hukum-hukum dan
teori.
Manusia
menumpukkan dirinya sebagai hal yang transenden (menonjolkan hal yang bersifat
kerohanian), sintesa (paduan) dan obyek dan subyek. Manusia sebagai entri
quman de (mengada pada alam) menjadi satu dengan alam itu. Manusia
mengkonstitusi alamnya untuk melihat suatu hal. Manusia harus mengkonversikan
mata, mengakomodasikan lensa, dan mengfiksasikan hal yang ingin dilihat.
Salah
seorang tokoh fenomenologi adalah Endmund Husserl (1859-1938), ia selalu
berupaya ingin mendekati realitas tidak melalui argumen-argumen, konsep-konsep,
atau teori ilmu "zuruck zu den sachen seibst", kembali kepada
benda-benda itu sendiri merupakan inti dari pendekatan yang dipakai untuk mendeskripsikan
realitas menurut apa adanya.
Setiap obyek
memiliki hakikat, dan itu berbicara kepada kita jika kita membuka diri kepada
gejala-gejala yang kita terima. Fenomenologi banyak diterapkan dalam
epistemology, psikologi, antropologi dan studi-studi keagamaaan (kajian atas
Kitab Suci).
b)
Fenomenologi
Pengetahuan dan Ilmu Pengetahuan
Secara
epistemologi dalam gejala terbentuknya pengetahuan manusia itu, yaitu antara
kutub si pengenal dan kutub yang dikenal, atau antara subyek dan obyek.
Walaupun
secara tegas keduanya berbeda, akan tetapi untuk membentuk sebuah pengetahuan
keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain, dan keduanya wajib ada karena
merupakan suatu kesatuan asasi bagi terwujudnya pengetahuan manusia.
Dalam hal
ini pengetahuan dan ilmu pengetahuan, subyek adalah manusia dengan akal
budinya, sedangkan obyek adalah kenyataan yang diamati dan dialami di alam
semesta ini. Suatu kenyataan bahwa supaya ada pengetahuan, subyek harus terarah
kepada obyek, dan sebaliknya obyek harus terbuka dan terarah kepada subyek.
Pengetahuan
adalah peristiwa yang terjadi dalam diri manusia. Maka tanpa ingin meremehkan
peran penting dari obyek pengetahuan, manusia sebagai subyek pengetahuan
memegang peranan penting. Keterarahan manusia terhadap obyek jadinya merupakan
faktor yang sangat menentukan bagi munculnya pengetahuan manusia.
Pengetahuan
terwujud kalau manusia sendiri adalah bagian dari obyek. Dari realitas alam
semesta ini, berkat unsure jasmaniyah, manusia mampu menangkap obyek yang ada
di sekitarnya karena tubuh jasmani manusia adalah bagian dari realitas alam
semesta ini, serta dengan bantuan jiwa dan akal budinya, manusia mampu
mengangkat pengetahuan abstrak tentang berbagai obyek lain serta bersifat
temporal, konkrit, jasmani-inderawi tadi ke tingka abstrak dan karena itu
universal.
Pengetahuan
manusia tidak hanya berkaitan dengan obyek konkrit, khusus yang dikenalnya
melalui pengamatan inderawinya, melainkan juga melalui itu dimungkinkan untuk
sampai pada pengetahuan abstrak tentang berbagai obyek lain secara teoritis
dapat dijangkau oleh akal budi manusia.
Pengetahuan
manusia yang bersifat umum dan universal itulah memungkinkan untuk dirumuskan
dan dikomunikasikan dalam bahasa yang bersifat umum dan universal untuk bias
dipahami oleh siapa saja dari waktu dan tempat mana saja.
Berkat
refleksi ini pula pengetahuan yang semula bersifat langsung dan spontan,
kemudian diatur dan dilakukan secara sistematis sedemikian rupa, sehingga
isinya dapat dipertanggungjawabkan, atau dapat pula dikritik dan dibela, maka
lahirlah apa yang kita kenal sebagai Ilmu Pengetahuan.
Jadi Ilmu
Pengetahuan muncul karena apa yang sudah diketahui secara spontan dan langsung
tadi, disusun dan diatur secara sistematis dengan menggunakan metode tertentu
yang bersifat baku.
D.
FILSAFAT PENGETAHUAN DAN ILMU
PENGETAHU
Pengertian Pengetahuan
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring, pengetahuan berarti segala sesuatu
yg diketahui; kepandaian: atau segala sesuatu yg diketahui berkenaan dengan hal
(mata pelajaran). Adapun pengetahuan menurut beberapa ahli
adalah:
Menurut
Pudjawidjana (1983), pengetahuan adalah reaksi dari manusia atas rangsangannya
oleh alam sekitar melalui persentuhan melalui objek dengan indera dan
pengetahuan merupakan hasil yang terjadi setelah orang melakukan penginderaan
sebuah objek tertentu.
Menurut
Ngatimin (1990), pengetahuan adalah sebagai ingatan atas bahan-bahan yang telah
dipelajari dan mungkin ini menyangkut tentang mengikat kembali sekumpulan bahan
yang luas dari hal-hal yang terperinci oleh teori, tetapi apa yang diberikan
menggunakan ingatan akan keterangan yang sesuai.
Menurut
Notoatmodjo (2007), pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini
setelah orang melakukan penginderaan terhadap obyek tertentu. Penginderaan
terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran,
penciuman, rasa dan raba. Sebagaian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui
mata dan telingan.
Dari
beberapa pengertian pengetahuan di atas dapat disimpulkan bahwa pengetahuan
merupakan segala sesuatu yang diketahui yang diperoleh dari persentuhan panca
indera terhadap objek tertentu. Pengetahuan pada dasarnya merupakan hasil dari
proses melihat, mendengar, merasakan, dan berfikir yang menjadi dasar manusia
dan bersikap dan bertindak. Partanto Pius dalam kamus bahasa indonesia (2001)
pengetahuan dikaitkan dengan segala sesuatu yang diketahui berkaitan dengan
proses belajar.
Pengertian
Ilmu pengetahuan
Ilmu
Pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan
meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia
. Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu
memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian
ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya.
Ilmu bukan sekadar pengetahuan
(knowledge), tetapi merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori
yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji dengan seperangkat
metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu. Dipandang dari sudut
filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berusaha berfikir lebih jauh mengenai
pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah produk dari istemologepi.
Contoh:
Ilmu Alam
hanya bisa menjadi pasti setelah lapangannya dibatasi ke dalam hal yang bahani
(materiil saja). Ilmu-ilmu alam menjawab pertanyaan tentang berapa jarak
matahari.
Ilmu
psikologi hanya bisa meramalkan perilaku
manusia jika lingkup pandangannya dibatasi ke dalam segi umum dari perilaku
manusia yang konkret. Ilmu psikologi menjawab apakah seorang pemudi cocok
menjadi perawat.Persamaan Filsafat, Pengetahuan,
dan Ilmu Pengetahuan
Ketiganya mencari rumusan
yang sebaik-baiknya menyelidiki objek selengkap-lengkapnya
|
Ketiganya memberikan
pengertian mengenai hubungan yang ada antara kejadian-kejadian yang kita
alami dan mencoba menunjukan sebab-sebabnya
|
Ketiganya hendak memberikan
sintesis, yaitu suatu pandangan yang bergandengan
|
Ketiganya mempunyai metode
dan sistem
|
Ketiganya hendak memberikan
penjelasan tentang kenyataan seluruhnya timbul dari hasrat manusia
(objektivitas) akan pengetahuan yang lebih mendasar
|
Perbedaan Filsafat,
Pengetahuan, dan Ilmu Pengetahuan
Filsafat
|
Pengetahuan
|
Ilmu Pengetahuan
|
Mencoba merumuskan
pertanyaan atas jawaban. Mencari prinsip-prinsip umum, tidak membatasi segi
pandangannya bahkan cenderung memandang segala sesuatu secara umum dan
keseluruhan.
|
Yang dipelajari terbatas karena
hanya sekedar kemampuan yang ada dalam diri kita untuk mengetahui sesuatu
hal.
|
Cenderung kepada hal yang
dipelajari dari sebuah buku panduan.
|
Keseluruhan yang ada
|
Objek penelitian yang
terbatas
|
Ilmu pengetahuan adalah
kajian tentang dunia material.
|
Menilai objek renungan
dengan suatu makna. Misalkan : religi, kesusilaan, keadilan, dsb
|
Tidak menilai objek dari
suatu sistem nilai tertentu.
|
Ilmu pengetahuan adalah
definisi eksperimental.
|
Bertugas mengintegrasikan
ilmu-ilmu.
|
Bertugas memberikan jawaban
|
Ilmu Pengetahuan dapat
sampai pada kebenaran melalui kesimpulan logis dari pengamatan empiris
|