KONSEP
DASAR ETIKA UMUM
a) Etika dan Moral
Etika dan moral adalah hal yang sering dikait-kaitkan oleh masyarakat. Seringkali masyarakat salah mengartikannya dan menganggapnya sama. Akan tetapi, sesungguhnya mereka berbeda. Istilah “etika” berasal dari bahasa Yunani kuno. Dalam bentuk jamak, “ta etha” yang artinya adat kebiasaan
Istilah “moral” berasal dari bahasa Latin “mos” yang bentuk jamaknya “mores” yang berarti kebiasaan, adat.
Sedangkan arti “moral” terbatas hanya pada arti pertama “etika”, yaitu nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
a) Etika dan Moral
Etika dan moral adalah hal yang sering dikait-kaitkan oleh masyarakat. Seringkali masyarakat salah mengartikannya dan menganggapnya sama. Akan tetapi, sesungguhnya mereka berbeda. Istilah “etika” berasal dari bahasa Yunani kuno. Dalam bentuk jamak, “ta etha” yang artinya adat kebiasaan
Istilah “moral” berasal dari bahasa Latin “mos” yang bentuk jamaknya “mores” yang berarti kebiasaan, adat.
Sedangkan arti “moral” terbatas hanya pada arti pertama “etika”, yaitu nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
Contoh Etika,
Moral Dan Norma
a. Etika
Didaerah jawa terutama jawa tengah , kita harus
membungkukkan badan ketika sedang lewat atau berjalan kaki didepan orang lain,
terutama yang lebih tua.etika ini berlaku dengan maksud sebagai symbol
penghormatan
b. Moral
Moral adalah
hal yang berhubungan dengan kepribadian manusia itu sendiri.
Contohnya : Seorang anak yang menonton video porno. Ada 2 faktor yang mempengaruhi baik contoh. linkungan internal maupun lingkungan eksternal. Akan tetapi yang sering terjadi lebih besar dipengaruhi oleh lingkungan eksternal.Seperti halnya dipengaruhi oleh pergaulan dengan sesama teman. Seharusnya orang tua dapat lebih berperan dalam mengarahkan proses pendidikan moral anaknya dan tidak bisa di serahkan sepenuhnya kepada pihak sekolah (lingkungan eksternal).Jika orang tua ikut berperan,maka perkembangan anak dapat terkontrol dengan baik tanpa ada penyimpangan-penyimpangan moral dalam kepribadian anak tersebut.
Contohnya : Seorang anak yang menonton video porno. Ada 2 faktor yang mempengaruhi baik contoh. linkungan internal maupun lingkungan eksternal. Akan tetapi yang sering terjadi lebih besar dipengaruhi oleh lingkungan eksternal.Seperti halnya dipengaruhi oleh pergaulan dengan sesama teman. Seharusnya orang tua dapat lebih berperan dalam mengarahkan proses pendidikan moral anaknya dan tidak bisa di serahkan sepenuhnya kepada pihak sekolah (lingkungan eksternal).Jika orang tua ikut berperan,maka perkembangan anak dapat terkontrol dengan baik tanpa ada penyimpangan-penyimpangan moral dalam kepribadian anak tersebut.
c. Norma
Dalam ilmu bahasa, kata norma lebih luas dari paham
nilai. Norma sendiri berarti
ukuran-ukuran, nilai-nilai (bukan nilai saja), hukum, tradisi yang berlaku pada
masa tertentu, atau dalam komunitas masyarakat tertentu, tetapi juga bisa
berlaku terhadap semua komunitas yang ada di dunia. Contoh :
Norma (nilai-nilai, aturan) pada masyarakat SASAK di
Lombok, tentu hanya berlaku bagi masyarakat SASAK. Seperti kebiasaan disana,
seorang lelaki yang akan menikahi gadis pujaannya, ia harus menculik gadis itu
dan dibawa kerumahnya. Pihak keluarga wanita harus menerima hal itu dan menikahkan
mereka. Norma ini tentu tidak akan berlaku bagi Suku jawa, bugis, bali, dst.
Sebab kalau itu berlaku, maka pada suku lain akan terjadi pertumpahan darah.
Sumber : http://ratudiny007.blogspot.co.id/2012/04/v-behaviorurldefaultvmlo.html
b) Amoral dan Imoral
Amoral berarti tidak berhubungan dengan konteks moral, di luar suasana etis, non-moral. Immoral berarti bertentangan dengan moralitas yang baik, secara moral buruk, tidak etis.
Seringkali ditemukan pencampuradukan antara
dua istilah dalam ranah filsafat moral yaitu amoral dan immoral, dengan itu maka penggunaan istilahnya tentu tidak
tepat pula. Oleh karena itu persoalan ini perlu dijernihkan supaya nantinya
tidak memalukan jika berbicara secara publik mau pun dalam membuat makalah.
Juga yang tidak kalah pentingnya! Kedua istilah ini merupakan istilah yang wajib dipahami dengan baik sebagai dasar dalam
memahami filsafat moral, mengapa wajib dipahami? Untuk menghindarkan
kesalahpahaman dalam memahami literatur baik yang berbahasa Indonesia mau pun
berbahasa Inggris.b) Amoral dan Imoral
Amoral berarti tidak berhubungan dengan konteks moral, di luar suasana etis, non-moral. Immoral berarti bertentangan dengan moralitas yang baik, secara moral buruk, tidak etis.
Istilah Amoral
Dalam website ensiklopedia terbesar, Wikipedia, Amoral didefinisikan sebagai Immoralism is a system that does not accept moral principles and directly opposes morality, while amoralism does not even consider the existence of morality plausible. Menurut Bertens dalam buku Etika karangannya, bahwa amoral artinya tidak berhubungan dengan konteks moral (2002:7). Tidak berhubungan bagaimana? Anda melihat saya sedang meninju lantai, apakah Anda akan bilang bahwa itu berhubungan dengan moralitas? Tentu tidak, oleh karenanya Anda bisa menyebut bahwa saya sedang melakukan hal amoral. Untuk memahaminya lebih mudah lagi, istilah amoral bisa dikaitkan dengan kata berikut:- Tidak mempunyai relevansi etis (Bertens, 2002:8)
- Tidak berkaitan dengan masalah moral
- Bebas moral
Istilah Immoral
Masih dari Wikipedia yang mendefinisiakan bahwa immoral adalah fervently rebels against any sort of moral code. Yup, pemberontakan atau lawan dari sikap bermoral. Barulah benar jika Anda mengatakan, bahwa saya melakukan tindakan yang immoral apabila saya memukul anak kecil yang tidak bersalah. Istilah lain yang menjadi acuan dalam memahami istilah immoral adalah:- Tidak etis
- Jahat
- Tidak bermoral
- Tidak
berakhlak
c) Etika dan Etiket
Etika dan etiket memiliki arti yang berbeda. Etika adalah moral dan etiket berarti sopan santun.
Akan tetapi etika dan etiket memiliki persamaan.
1) Etika dan etiket menyangkut perilaku manusia;
2) Etika dan etiket mengatur perilaku manusia secara normatif.
Sedangkan perbedaan antara etika dan etiket tergambar dalam tabel berikut.
Etika
1) Etika tidak terbatas pada cara dilakukannya suatu perbuatan.
Etika memberi norma tentang perbuatan itu sendiri; Contoh jangan mencuri!
2) Etika selalu berlaku walaupun tidak ada saksi mata;
3) Etika jauh lebih absolute;
4) Etika menyangkut manusia dari segi dalam.
Etiket
1) Menyangkut cara suatu perbuatan harus dilakukan manusia.
2) Etiket hanya berlaku dalam pergaulan. Jika tidak ada orang lain, etiket tidak berlaku;
3) Etiket bersifat relatif. Berbeda tempat dan budaya, bisa berbeda pula etiketnya;
4) Etiket hanya memandang manusia dari segi lahiriah.
d) Etika Sebagai Cabang Filsafat
Etika merupakan cabang filsafat yang mengenakan refleksi serta metode pada tugas manusia dalam upaya menggali nilai-nilai moral atau -menerjemahkan berbagai nilai itu ke dalam norma-norma dan menerapkannya pada situasi kehidupan konkret.
Sebagai ilmu, etika mencari kebenaran dan sebagai filsafat, ia mencari keterangan (benar) yang sedalam-dalamnya. Sebagai tugas tertentu bagi etika, ia mencari ukuran baik-buruk bagi tingkah laku manusia.
Sebagai ilmu dan filsafat, etika menghendaki ukuran yang umum, tidak berlaku untuk sebagian dari manusia, tetapi untuk semua manusia. - Sumber : http://aprillins.com/2009/1232/istilah-filsafat-moral-amoral-dan-immoral/
ETIKA SEBAGAI FILSAFAT
Pada
dasarnya, etika merupakan cabang filsafat yang mengenakan refleksi serta metode
pada tugas manusia dalam upaya menggali nilai-nilai moral atau
menerjemahkan berbagai nilai itu ke dalam norma-norma dan menerapkannya
pada situasi kehidupan konkret.
Sebagai
ilmu, etika mencari kebenaran dan sebagai filsafat, ia mencari keterangan
(benar) yang sedalam-dalamnya. Sebagai tugas tertentu bagi etika, ia mencari
ukuran baik-buruk bagi tingkah laku manusia.
Dalam arti
etis, baik dan buruk ini memainkan peranan dalam hidup setiap manusia. Tak
hanya sebatas kini, tapi juga di masa lampau. Bertens (1993:12), misalnya,
menyebutkan, ilmu-ilmu seperti antropologi budaya dan sejarah memberitahukan
kita bahwa pada semua bangsa dan dalam segala zaman ditemukan keinsafan tentang
baik dan buruk, tentang yang harus dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan.
Akan tetapi,
lanjut Bertens, segera perlu ditambah bahwa tidak semua bangsa dan tidak semua
zaman mempunyai pengertian yang sama tentang baik dan buruk. Ada bangsa atau
kelompok sosial yang mengenal “tabu”, sesuatu yang dilarang keras (misalnya,
membunuh binatang tertentu), sedangkan pada bangsa atau kelompok sosial lainnya
perbuatan-perbuatan yang sama tidak terkena larangan apa pun. Dan sebaliknya,
ada hal-hal yang di zaman dulu sering dipraktekkan dan dianggap biasa saja,
tapi akan ditolak sebagai tidak etis oleh hampir semua bangsa beradab sekarang
ini. Sebagai contoh dapat disebut: kolonialisme, perbudakan, dan diskriminasi
terhadap wanita. Jadi, semua bangsa mempunyai pengalaman tentang baik dan
buruk, tapi tidak selalu ada pendapat yang sama tentang apa yang harus dianggap
baik dan buruk.
Sebagai ilmu
dan filsafat, etika menghendaki ukuran yang umum, tidak berlaku untuk sebagian
dari manusia, tetapi untuk semua manusia. Apa yang ditemukan oleh etika mungkin
memang menjadi pedoman bagi seseorang, namun tujuan pertama dan utama dari
etika bukanlah untuk memberi pedoman, melainkan untuk tahu. Atau, seperti
ungkapan Poedjawijatna (1990:7), “etika mencari dengan kemungkinan untuk
keliru, dan kalau keliru, akan dicari lagi sampai terdapat kebenaran.”
Pokok
permasalahan yang dikaji filsafat mencakup tiga segi, yakni apa yang disebut
benar dan apa yang disebut salah (logika), mana yang dianggap baik dan
mana yang dianggap buruk (etika), serta apa yang termasuk indah dan apa
yang termasuk jelek (estetika). Ketiga cabang utama filsafat ini
kemudian bertambah lagi yakni, pertama, teori tentang ada: tentang hakikat
keberadaan zat, tentang hakikat pikiran serta kaitan antara zat dan pikiran
yang semuanya terangkum dalammetafisika; dan, kedua, politik:
yakni kajian mengenai organisasi sosial/pemerintahan yang ideal (Suriasumantri,
1994:32).
Berkaitan
dengan sifat yang “ada” maka cabang filsafat yang pertama adalah filsafat yang
menjadikan yang “ada” secara umum sebagai objek penyelidikannya (Mulkhan,
1994:36). Cabang filsafat selanjutnya adalah filsafat yang menyelidiki yang
“ada” secara khusus, dalam arti kekhususan sesuatu secara umum.
Begitulah
seterusnya; sifat-sifat khusus yang beragam dari yang “ada” melahirkan berbagai
cabang khusus dari filsafat. Karenanya, cabang-cabang filsafat dapat dipahami
dari kekhususan objeknya yang tersusun secara hierarkhis dan secara fungsional.
Secara hierarkhis, karena sifat-sifat khusus dari sesuatu yang “ada” tersusun
sebagai suatu kesatuan sehingga membentuk yang “ada” itu sendiri. Selanjutnya,
kekhususan yang “ada” secara fungsional karena kekhususan sesuatu dapat dilihat
dari sudut fungsi dari sifat-sifat khusus yang “ada” tersebut. Secara
keseluruhan bagi struktur maupun fungsi merupakan kesatuan dari apa yang
disebut “ada” tersebut.
Berdasarkan
pandangan teoretis di atas akan dapat dipahami mengenai lahirnya cabang-cabang
filsafat serta aliran-aliran pandangan di dalamnya. Cabang-cabang serta aliran
filsafat yang timbul tidak mengurangi arti yang “ada” sebagai yang “ada”
sebagaimana dirinya sendiri.
Atas dasar
kerangka hierarkhis dan fungsional kekhususan objek filsafat di atas, dapat
dikemukakan berbagai cabang dan aliran dalam filsafat. Kemudian, dapatlah
dipahami bahwa cabang-cabang serta aliran filsafat akan berkembang sesuai
dengan perkembangan pemikiran dan kemampuan akal atau pikir manusia itu
sendiri.
Misalnya,
dalam buku Filsafat Ilmu Abas Hamami (1996:155-156) membagi
filsafat ke dalam dua kelompok bahasan, yaitu filsafat teoretis dan filsafat
praktis. Kelompok pertama mempertanyakan segala sesuatu yang ada, sedangkan
kelompok kedua membahas bagaimana manusia bersikap terhadap apa yang ada
tersebut. Jadi, filsafat teoretis mempertanyakan dan berusaha mencari
jawabannya tentang segala sesuatu, misalnya manusia, alam, hakikat realitas
sebagai keseluruhan, tentang pengetahuan, tentang apa yang kita ketahui, tentang
yang transenden, dan sebagainya. Dalam hal ini filsafat teoretis pun mempunyai
maksud dan berkaitan dengan hal-hal yang bersifat praktis, karena pemahaman
yang dicarinya untuk menggerakkan kehidupan.
Etika
termasuk kelompok filsafat praktis dan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu etika
umum dan etika khusus. Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar
tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika berkaitan erat
dengan pelbagai masalah nilai karena etika pada pokoknya membicarakan masalah-masalah
predikat nilai “susila” dan “tidak susila”, “baik” dan “buruk”.
Kualitas-kualitas ini dinamakan kebajikan yang dilawankan dengan kejahatan yang
berarti sifat-sifat yang menunjukkan bahwa orang yang memilikinya dikatakan
orang yang tidak susila. Sesungguhnya etika lebih banyak bersangkutan dengan
prinsip-prinsip dasar kebenaran dalam hubungannya dengan tingkah laku manusia.
Sementara
itu, Jujun Suriasumantri, selain membagi kajian filsafat ke dalam lima pokok
permasalahan yang menyangkut logika, etika, estetika, metafisika, dan politik,
sebagaimana disinggung di muka, juga menyebutkan bahwa kelima cabang utama ini
kemudian berkembang lagi menjadi cabang-cabang filsafat yang mempunyai bidang
kajian yang lebih spesifik, di antaranya filsafat ilmu. Cabang-cabang filsafat
tersebut antara lain mencakup:
(1)
Epistemologi (Filsafat Pengetahuan);
(2) Etika
(Filsafat Moral);
(3) Estetika
(Filsafat Seni);
(4)
Metafisika;
(5) Politik
(Filsafat Pemerintahan);
(6) Filsafat
Agama;
(7) Filsafat
Ilmu;
(8) Filsafat
Pendidikan;
(9) Filsafat
Hukum;
(10)
Filsafat Sejarah;
(11)
Filsafat Matematika (Suriasumantri, 1994:32-33).
Dari cabang
filsafat lain etika dibedakan oleh karena tidak mempersoalkan keadaan manusia,
melainkan bagaimana ia harus bertindak. Etika adalah filsafat tentang praksis
manusia. Etika adalah praksiologik. Semua cabang filsafat berbicara tentang
“yang ada”, sedangkan etika membahas “yang harus dilakukan”. Itu sebabnya etika
tidak jarang disebut juga “filsafat praktis” (Bertens, 1993:27). “Praktis”, karena
menurut Bertens, cabang ini langsung berhubungan dengan perilaku manusia,
dengan yang harus atau tidak boleh dilakukan manusia.
Sifat dasar
etika adalah sifat kritis. Etika bertugas untuk mempersoalkan norma yang
dianggap berlaku. Diselidikinya apakah dasar suatu norma itu dan apakah dasar
itu membenarkan ketaatan yang dituntut oleh norma itu. Terhadap norma
yang de facto berlaku, etika mengajukan pertanyaan tentang
legitimasinya. (Apakah berlaku de jure pula). Norma yang tidak
dapat mempertahankan diri dari pertanyaan kritis ini akan kehilangan haknya
(Zubair, 1990:9-10).
Pemikiran
kritis dari filsafat, menurut Abdul Munir Mulkhan, mempersoalkan segenap
kenyataan yang salah satu di antaranya merupakan objek persoalan ilmu.
Penelitian filsafat adalah penelitian terhadap segala ilmu dan kenyataan serta
proses mengetahui atau memperoleh ilmu. Bagian khusus yang menyelidiki mengenai
hal-hal yang berkaitan dengan ilmu ini dikenal dengan epistemologi atau
filsafat ilmu atau bahkan ada yang menyebut dengan metodologi (Mulkhan,
1993:43).
Ilmu itu
sendiri merupakan suatu pengetahuan yang mencoba menjelaskan rahasia alam
agar gejala alamiah tersebut tidak lagi merupakan misteri (Saefuddin,dkk,
1987:15). Penjelasan ini akan memungkinkan kita untuk meramalkan sesuatu yang
akan terjadi, dan dengan demikian memungkinkan kita untuk mengontrol gejala
tersebut. Untuk itu, ilmu membatasi ruang jelajah kegiatannya pada daerah
pengalaman manusia. Artinya, objek penelaahan keilmuan meliputi segenap gejala
yang dapat ditangkap oleh pengalaman manusia lewat pancainderanya.
Dalam kaitan
ini, filsafat bukan saja mempunyai pertautan dengan segenap ilmu akan tetapi
bersangkut-paut dengan seluruh ilmu pengetahuan. Selain itu, filsafat merupakan
sumber informasi lengkap mengenai tumbuh-kembangnya suatu pengetahuan yang
bagaimanapun akan senantiasa bersumber pada filsafat. Dengan demikian bisa
dikatakan bahwa filsafat merupakan pendasar atau penelaah ilmu, pengalaman dan
karya manusia, atau pemberi arah, serta pemberi kritik dan kontrol.
Karena itu,
apabila kita sepakat dengan suatu konsep bahwa filsafat adalah “induk” segala
ilmu pengetahuan, maka metode, objek, dan sistematika filsafat mempunyai arti
fungsional bagi setiap upaya pengembangan ilmu-ilmu lain. Jadi, atas dasar konsep
itu, setiap ilmu lain yang bersifat terapan, termasuk etika, merupakan
pengembangan metode dan sistematika disiplin filsafat. Atau sebagai
pengkhususan dari salah satu perhatian objek analisis filsafat.
Bahwa
sedemikian besar implikasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu,
barangkali tampak paling jelas, jika kita menginsafi arti perkembangan itu
untuk filsafat dan etika. Perkembangan itu mempunyai arti khusus bagi filsafat,
karena refleksi tentang apa yang dinyatakan ilmu pengetahuan dan teknologi
mengenai hakikat manusia sangat penting untuk menjawab pertanyaan manusia
tentang dirinya sendiri dan tentang arti keberadaannya di dunia. Perkembangan
itu mempunyai arti khusus pula untuk etika, karena seperti dikatakan A.G.M. van
Melsen (1992:130), refleksi filosofis tidak pernah netral, tetapi mengundang
kita untuk mengambil suatu sikap hidup dan mewujudkan kehidupan kita sesuai
dengan apa yang dinyatakan sebagai hakikat manusia
\
1.2 PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA
Nilai,
norma, dan moral adalah konsep-konsep yang saling berkaitan. Dalam hubungannya
dengan Pancasila maka ketiganya akan memberikan pemahaman yang saling
melengkapi sebagai sistem etika. Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada
hakikatnya merupakan suatu nilai yang menjadi sumber dari segala penjabaran
norma baik norma hukum, norma moral maupun norma kenegaran lainnya. Di samping
itu, terkandung juga pemikiran-pemikiran yang bersifat kritis, mendasar,
rasional, sistematis dan komprehensif. Oleh karena itu, suatu pemikiran
filsafat adalah suatu nilai-nilai yang bersifat mendasar yang memberikan
landasan bagi manusia dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Nilai-nilai tersebut dijabarkan dalam kehidupan yang bersifat praksis atau
kehidupan nyata dalam masyarakat, bangsa dan negara maka diwujudkan dalam
norma-norma yang kemudian menjadi pedoman. Norma-norma itu meliputi.
1. Norma Moral
Yang
berkaitan dengan tingkah laku manusia yang dapat diukur dari sudut baik maupun
buruk, sopan atau tidak sopan, susila atau tidak
susila.
2. Norma Hukum
Suatu sistem
peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam suatu tempat dan waktu tertentu
dalam pengertian ini peraturan hukum. Dalam pengertian itulah Pancasila
berkedudukan sebagai sumber dari segala sumber hukum. Dengan demikian,
Pancasila pada hakikatnya bukan merupakan suatu pedoman yang langsung bersifat
normatif ataupun praksis melainkan merupakan suatu sistem nilai-nilai etika
yang merupakan sumber norma.
1.3 PENGERTIAN ETIKA
E$tika
adalah kelompok filsafat praktis (filsafat yang membahas bagaimana manusia
bersikap terhadap apa yang ada) dan dibagi menjadi dua kelompok. Etika
merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan
pandangan-pandangan moral. Etika adalah ilmu yang membahas tentang bagaimana
dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran tertentu atau bagaimana kita bersikap
dan bertanggung jawab dengan berbagai ajaran moral. Kedua kelompok etika itu
adalah sebagai berikut :
1. Etika Umum, mempertanyakan
prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia.
2. Etika Khusus, membahas
prinsip-prinsip tersebut di atas dalam hubungannya dengan berbagai aspek
kehidupan manusia, baik sebagai individu (etika individual) maupun mahluk
sosial (etika sosial).
1.4 PENGERTIAN NILAI, NORMA DAN MORAL
Pengertian
Nilai (value) adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda
untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat
seseorang atau kelompok. Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah sifat dan
kualitas yang melekat pada suatu obyeknya. Dengan demikian, maka nilai itu
adalah suatu kenyataan yang tersembunyi dibalik kenyataan-kenyataan lainnya.
Menilai berarti menimbang, suatu kegiatan manusia untuk menghubungkan sesuatu
dengan sesuatu yang lain kemudian untuk selanjutnya diambil keputusan.
Keputusan itu adalah suatu nilai yang dapat menyatakan berguna atau tidak
berguna, benar atau tidak benar, baik atau tidak baik, dan seterusnya.
Penilaian itu pastilah berhubungan dengan unsur indrawi manusia sebagai subjek
penilai, yaitu unsur jasmani, rohani, akal, rasa, karsa dan kepercayaan. Dengan
demikian, nilai adalah sesuatu yang berharga, berguna, memperkaya bathin dan
menyadarkan manusia akan harkat dan martabatnya. Nilai bersumber pada budi yang
berfungsi mendorong dan mengarahkan (motivator) sikap dan perilaku manusia.
Nilai sebagai suatu sistem merupakan salah satu wujud kebudayaan di samping
sistem sosial dan karya. Oleh karena itu, Alport mengidentifikasikan
nilai-nilai yang terdapat dalam kehidupan masyarakat pada enam macam, yaitu :
nilai teori, nilai ekonomi, nilai estetika, nilai sosial, nilai politik dan
nilai religi.
Hierarkhi
Nilai sangat tergantung pada titik tolak dan sudut pandang individu –
masyarakat terhadap sesuatu obyek. Misalnya kalangan materialis memandang bahwa
nilai tertinggi adalah nilai meterial. Max Scheler menyatakan bahwa
nilai-nilai yang ada tidak sama tingginya dan luhurnya. Menurutnya nilai –
nilai dapat dikelompokan dalam empat tingkatan yaitu :
1. nilai kenikmatan adalah nilai-nilai yang berkaitan
dengan indra yang memunculkan rasa senang, menderita atau tidak enak,
2. nilai kehidupan yaitu nilai-nilai penting bagi
kehidupan yakni : jasmani, kesehatan serta kesejahteraan umum,
3. nilai kejiwaan adalah nilai-nilai yang berkaitan
dengan kebenaran, keindahan dan pengetahuan murni,
4. nilai kerohanian yaitu tingkatan ini terdapatlah
modalitas nilai dari yang suci.
Sementara
itu, Notonagoro membedakan menjadi tiga, yaitu :
1. nilai material yaitu segala sesuatu yang berguna
bagi jasmani manusia,
2. nilai vital yaitu segala sesuatu yang berguna
bagi manusia untuk mengadakan suatu aktivitas atau kegiatan,
3. nilai kerokhanian yaitu segala sesuatu yang bersifat
rokhani manusia yang dibedakan dalam empat tingkatan sebagai berikut :
4. nilai kebenaran yaitu nilai yang bersumber pada
rasio, budi, akal atau cipta manusia.
5. nilai keindahan/estetis yaitu nilai yang bersumber pada
perasaan manusia
6. nilai kebaikan atau nilai moral yaitu nilai yang bersumber pada
unsur kehendak manusia
7. nilai religius yaitu nilai kerokhanian tertinggi
dan bersifat mutlak Dalam pelaksanaanya, nilai-nilai dijabarkan dalam wujud
norma, ukuran dan kriteria sehingga merupakan suatu keharusan anjuran atau
larangan, tidak dikehendaki atau tercela. Oleh karena itu, nilai berperan
sebagai pedoman yang menentukan kehidupan setiap manusia. Nilai manusia berada
dalam hati nurani, kata hati dan pikiran sebagai suatu keyakinan dan
kepercayaan yang bersumber pada berbagai sistem nilai.
Pengertian
Moral berasal dari kata mos (mores) yang sinonim dengan kesusilaan,
tabiat atau kelakuan. Moral adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang
menyangkut tingkah laku dan perbuatan manusia. Seorang pribadi yang taat kepada
aturan-aturan, kaidah-kaidah dan norma yang berlaku dalam masyarakatnya,
dianggap sesuai dan bertindak benar secara moral. Jika sebaliknya yang terjadi
maka pribadi itu dianggap tidak bermoral. Moral dalam perwujudannya dapat
berupa peraturan dan atau prinsipprinsip yang benar, baik terpuji dan mulia.
Moral dapat berupa kesetiaan, kepatuhan terhadap nilai dan norma yang mengikat
kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
Pengertian
Norma Kesadaran manusia yang membutuhkan hubungan yang ideal akan menumbuhkan
kepatuhan terhadap suatu peraturan atau norma. Hubungan ideal yang seimbang,
serasi dan selaras itu tercermin secara vertikal (Tuhan), horizontal
(masyarakat) dan alamiah (alam sekitarnya) Norma adalah perwujudan martabat
manusia sebagai mahluk budaya, sosial, moral dan religi. Norma merupakan suatu
kesadaran dan sikap luhur yang dikehendaki oleh tata nilai untuk dipatuhi. Oleh
karena itu, norma dalam perwujudannya dapat berupa norma agama, norma filsafat,
norma kesusilaan, norma hukum dan norma sosial. Norma memiliki kekuatan untuk
dipatuhi karena adanya sanksi.
Nilai Dasar
Sekalipun nilai bersifat abstrak yang tidak dapat diamati melalui panca indra
manusia, tetapi dalam kenyataannya nilai berhubungan dengan tingkah laku atau
berbagai aspek kehidupan manusia dalam prakteknya. Setiap nilai memiliki nilai
dasar yaitu berupa hakikat, esensi, intisari atau makna yang dalam dari
nilai-nilai tersebut. Nilai dasar itu bersifat universal karena menyangkut
kenyataan obyektif dari segala sesuatu. Contohnya : hakikat Tuhan, manusia,
atau mahluk lainnya. Apabila nilai dasar itu berkaitan dengan hakikat Tuhan
maka nilai dasar itu bersifat mutlak karena Tuhan adalah kausa prima
(penyebab pertama). Segala sesuatu yang diciptakan berasal dari kehendak Tuhan.
Bila nilai dasar itu berkaitan dengan hakikat manusia maka nilai-nilai itu
harus bersumber pada hakikat kemanusiaan yang dijabarkan dalam norma hukum yang
diistilahkan dengan hak dasar (hak asasi manusia). Apabila nilai dasar itu
berdasarkan kepada hakikat suatu benda (kuantitas, aksi, ruang dan waktu) maka
nilai dasar itu dapat juga disebut sebagai norma yang direalisasikan dalam
kehidupan yang praksis, namun nilai yang bersumber dari kebendaan tidak boleh
bertentangan dengan nilai dasar yang merupakan sumber penjabaran norma itu.
Nilai dasar yang menjadi sumber etika bagi bangsa Indonesia adalah nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila.
Nilai
instrumental adalah nilai yang menjadi pedoman pelaksanaan dari
nilai dasar.
Nilai dasar belum dapat bermakna sepenuhnya apabila belum memiliki formulasi
serta parameter atau ukuran yang jelas dan konkrit. Apabila nilai instrumental
itu berkaitan dengan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari maka
nilai itu akan menjadi norma moral. Namun jika nilai instrumental itu berkaitan
dengan suatu organisasi atau negara, maka nilai instrumental itu merupakan
suatu arahan, kebijakan, atau strategi yang bersumber pada nilai dasar sehingga
dapat juga dikatakan bahwa nilai instrumental itu merupakan suatu eksplisitasi
dari nilai dasar. Dalam kehidupan ketatanegaraan Republik Indonesia,
nilai-nilai instrumental dapat ditemukan dalam pasal-pasal undang-undang dasar
yang merupakan penjabaran Pancasila.
Nilai
praksis merupakan penjabaran lebih lanjut dari nilai instrumental dalam
kehidupan yang lebih nyata dengan demikian nilai praksis merupakan pelaksanaan
secara nyata dari nilai-nilai dasar dan nilai-nilai instrumental. Oleh karena
itu, nilai praksis dijiwai kedua nilai tersebut diatas dan tidak bertentangan
dengannya. Undang-undang organik adalah wujud dari nilai praksis, dengan kata
lain, semua perundang-undangan yang berada di bawah UUD sampai kepada peraturan
pelaksana yang dibuat oleh pemerintah.
Keterkaitan
nilai, norma dan moral merupakan suatu kenyataan yang seharusnya tetap
terpelihara di setiap waktu pada hidup dan kehidupan manusia. Keterkaitan itu
mutlak digarisbawahi bila seorang individu, masyarakat, bangsa dan negara
menghendaki fondasi yang kuat tumbuh dan berkembang Sebagaimana tersebut
di atas maka nilai akan berguna menuntun sikap dan tingkah laku manusia bila
dikongkritkan dan diformulakan menjadi lebih obyektif sehingga memudahkan
manusia untuk menjabarkannya dalam aktivitas sehari hari. Dalam kaitannya
dengan moral maka aktivitas turunan dari nilai dan norma akan memperoleh
integritas dan martabat manusia. Derajat kepribadian itu amat ditentukan oleh
moralitas yang mengawalnya. Sementara itu, hubungan antara moral dan etika
kadang-kadang atau seringkali disejajarkan arti dan maknanya. Namun demikian,
etika dalam pengertiannya tidak berwenang menentukan apa yang boleh dan tidak
boleh dilakukan seseorang. Wewenang itu dipandang berada di tangan pihak yang
memberikan ajaran moral.
e) Peranan Etika Dalam Dunia Modern
Peranan Etika dalam Dunia Modern
1) Adanya pluralisme moral Adalah suatu kenyataan sekarang ini bahwa kita hidup dalam zaman yang semakin pluralistik, tidak terkecuali dalam hal moralitas.
2) Timbulnya masalah-masalah etis baru. Ciri lain yang menandai zaman kita adalah timbul masalah-masalh etis baru, terutama yang disebabkan perkembangan pesat dalam ilmu pengetahuan dan tekhnologi khusunya ilmu-ilmu biomedis;
3) Munculnya kepedulian etis yang semakin universal. Ciri nya adalah adanya suatu kepedulian etis yang semakin universal;
4) Hantaman gelombang modernisasi Kita sekarang ini hidup dalam masa transformasi masyarakat yang tanpa tanding.
5) Tawaran berbagai ideologi Proses perubahan social budaya dan moral yang terus terjadi, tidak jarang telah nmembawa kebingungan bagi banyak orang atau kelompok orang;
6) Tawaran bagi agamawan Etika juga diperlukan oleh para agamawan untuk tidak menutup diri terhadap persoalan praktis kehidupan umat manusia.
f) Moral dan Agama
Hubungan Agama Dan Moral Berbicara tentang moral
asosiasinya akan tertuju pada penentuan baik dan buruk sesuatu. Dengan rasio
atau tradisi dapat juga dengan lainnya seseorang dapat menentukan baik atau
buruk. Aliran rasionalisme berpendapat bahwa rasiolah yang menjadi sumber moral
bukanlah yang lain. Yang menentukan baik dan buruknya sesuatu adalah akal dan
pikiran manusia semata. Aliran hedonisme berpendapat bahwa sumber kebaikan dan
keburukan adalah kebahagiaan.
g) Moral dan Hukum
Moral berhubungan dengan manusia sebagai individu sedangkan hukum(kebiasaan, sopan santun) berhubungan dengan manusia sebagai makluk sosial. Antara hukum dan moral terdapat perbedaan dalam hal tujuan, isi, asal cara menjamin pelaksanaannya dan daya kerjanya.
1) Perbedaan antara moral dan hukum dalam hal tujuan:
a. Tujuan moral adalah menyempurnaan manusia sebagai individu.
b. Tujuan hukum adalah ketertiban masyarakat
2) Perbedaan antara moral dan hukum dalam han isi :
a. Moral yang bertujuan penyempuraan manusia berisi
b. Hukum memberi peraturan-peraturan bagi perilaku lahiriah.
Sumber :
http://apriliaanidar.blogspot.co.id/2014/09/konsep-dasar-etika-umum.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar