Selasa, 20 Oktober 2015

ILMU HUMANIORA PERTEMUAN 2


KONSEP DASAR ETIKA UMUM

a) Etika dan Moral
           Etika dan moral adalah hal yang sering dikait-kaitkan oleh masyarakat. Seringkali masyarakat salah mengartikannya dan menganggapnya sama. Akan tetapi, sesungguhnya mereka berbeda. Istilah “etika” berasal dari bahasa Yunani kuno. Dalam bentuk jamak, “ta etha” yang artinya adat kebiasaan
Istilah “moral” berasal dari bahasa Latin “mos” yang bentuk jamaknya “mores” yang berarti kebiasaan, adat.
           Sedangkan arti “moral” terbatas hanya pada arti pertama “etika”, yaitu nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
Contoh Etika, Moral Dan Norma
a. Etika
Didaerah jawa terutama jawa tengah , kita harus membungkukkan badan ketika sedang lewat atau berjalan kaki didepan orang lain, terutama yang lebih tua.etika ini berlaku dengan maksud sebagai symbol penghormatan
b. Moral
Moral adalah hal yang berhubungan dengan kepribadian manusia itu sendiri.    
Contohnya : Seorang anak yang menonton video porno. Ada 2 faktor yang mempengaruhi baik contoh. linkungan internal maupun lingkungan eksternal. Akan tetapi yang sering terjadi lebih besar dipengaruhi oleh lingkungan eksternal.Seperti halnya dipengaruhi oleh pergaulan dengan sesama teman.   Seharusnya orang tua dapat lebih berperan dalam mengarahkan proses pendidikan moral anaknya dan tidak bisa di serahkan sepenuhnya kepada pihak sekolah (lingkungan eksternal).Jika orang tua ikut berperan,maka perkembangan anak dapat terkontrol dengan baik tanpa ada penyimpangan-penyimpangan moral dalam kepribadian anak tersebut.
c. Norma
Dalam ilmu bahasa, kata norma lebih luas dari paham nilai.  Norma sendiri berarti ukuran-ukuran, nilai-nilai (bukan nilai saja), hukum, tradisi yang berlaku pada masa tertentu, atau dalam komunitas masyarakat tertentu, tetapi juga bisa berlaku terhadap semua komunitas yang ada di dunia. Contoh :
Norma (nilai-nilai, aturan) pada masyarakat SASAK di Lombok, tentu hanya berlaku bagi masyarakat SASAK. Seperti kebiasaan disana, seorang lelaki yang akan menikahi gadis pujaannya, ia harus menculik gadis itu dan dibawa kerumahnya. Pihak keluarga wanita harus menerima hal itu dan menikahkan mereka. Norma ini tentu tidak akan berlaku bagi Suku jawa, bugis, bali, dst. Sebab kalau itu berlaku, maka pada suku lain akan terjadi pertumpahan darah.
Sumber : http://ratudiny007.blogspot.co.id/2012/04/v-behaviorurldefaultvmlo.html

b) Amoral dan Imoral
           Amoral berarti tidak berhubungan dengan konteks moral, di luar suasana etis, non-moral. Immoral berarti bertentangan dengan moralitas yang baik, secara moral buruk, tidak etis.
Seringkali ditemukan pencampuradukan antara dua istilah dalam ranah filsafat moral yaitu amoral dan immoral, dengan itu maka penggunaan istilahnya tentu tidak tepat pula. Oleh karena itu persoalan ini perlu dijernihkan supaya nantinya tidak memalukan jika berbicara secara publik mau pun dalam membuat makalah. Juga yang tidak kalah pentingnya! Kedua istilah ini merupakan istilah yang wajib dipahami dengan baik sebagai dasar dalam memahami filsafat moral, mengapa wajib dipahami? Untuk menghindarkan kesalahpahaman dalam memahami literatur baik yang berbahasa Indonesia mau pun berbahasa Inggris.

Istilah Amoral

Dalam website ensiklopedia terbesar, Wikipedia, Amoral didefinisikan sebagai Immoralism is a system that does not accept moral principles and directly opposes morality, while amoralism does not even consider the existence of morality plausible. Menurut Bertens dalam buku Etika karangannya, bahwa amoral artinya tidak berhubungan dengan konteks moral (2002:7). Tidak berhubungan bagaimana? Anda melihat saya sedang meninju lantai, apakah Anda akan bilang bahwa itu berhubungan dengan moralitas? Tentu tidak, oleh karenanya Anda bisa menyebut bahwa saya sedang melakukan hal amoral. Untuk memahaminya lebih mudah lagi, istilah amoral bisa dikaitkan dengan kata berikut:
  • Tidak mempunyai relevansi etis (Bertens, 2002:8)
  • Tidak berkaitan dengan masalah moral
  • Bebas moral

Istilah Immoral

Masih dari Wikipedia yang mendefinisiakan bahwa immoral adalah fervently rebels against any sort of moral code. Yup, pemberontakan atau lawan dari sikap bermoral. Barulah benar jika Anda mengatakan, bahwa saya melakukan tindakan yang immoral apabila saya memukul anak kecil yang tidak bersalah. Istilah lain yang menjadi acuan dalam memahami istilah immoral adalah:
  • Tidak etis
  • Jahat
  • Tidak bermoral
  • Tidak berakhlak

    c) Etika dan Etiket
               Etika dan etiket memiliki arti yang berbeda. Etika adalah moral dan etiket berarti sopan santun.
    Akan tetapi etika dan etiket memiliki persamaan.
    1) Etika dan etiket menyangkut perilaku manusia;
    2) Etika dan etiket mengatur perilaku manusia secara normatif.

    Sedangkan perbedaan antara etika dan etiket tergambar dalam tabel berikut.
    Etika
    1) Etika tidak terbatas pada cara dilakukannya suatu perbuatan.
        Etika memberi norma tentang perbuatan itu sendiri; Contoh jangan mencuri!
    2) Etika selalu berlaku walaupun tidak ada saksi mata;
    3) Etika jauh lebih absolute;
    4) Etika menyangkut manusia dari segi dalam.

    Etiket
    1) Menyangkut cara suatu perbuatan harus dilakukan manusia.
    2) Etiket hanya berlaku dalam pergaulan. Jika tidak ada orang lain, etiket tidak berlaku;
    3) Etiket bersifat relatif. Berbeda tempat dan budaya, bisa berbeda pula etiketnya;
    4) Etiket hanya memandang manusia dari segi lahiriah.

    d) Etika Sebagai Cabang Filsafat
                 Etika merupakan cabang filsafat yang mengenakan refleksi serta metode pada tugas manusia dalam upaya menggali nilai-nilai moral atau -menerjemahkan berbagai nilai itu ke dalam norma-norma dan menerapkannya pada situasi kehidupan konkret.
    Sebagai ilmu, etika mencari kebenaran dan sebagai filsafat, ia mencari keterangan (benar) yang sedalam-dalamnya. Sebagai tugas tertentu bagi etika, ia mencari ukuran baik-buruk bagi tingkah laku manusia.
                 Sebagai ilmu dan filsafat, etika menghendaki ukuran yang umum, tidak berlaku untuk sebagian dari manusia, tetapi untuk semua manusia.
  • Sumber : http://aprillins.com/2009/1232/istilah-filsafat-moral-amoral-dan-immoral/
ETIKA SEBAGAI FILSAFAT
Pada dasarnya, etika merupakan cabang filsafat yang mengenakan refleksi serta metode pada tugas manusia dalam upaya menggali nilai-nilai moral atau menerjemahkan berbagai nilai itu ke dalam norma-norma dan menerapkannya pada situasi kehidupan konkret.
Sebagai ilmu, etika mencari kebenaran dan sebagai filsafat, ia mencari keterangan (benar) yang sedalam-dalamnya. Sebagai tugas tertentu bagi etika, ia mencari ukuran baik-buruk bagi tingkah laku manusia.
Dalam arti etis, baik dan buruk ini memainkan peranan dalam hidup setiap manusia. Tak hanya sebatas kini, tapi juga di masa lampau. Bertens (1993:12), misalnya, menyebutkan, ilmu-ilmu seperti antropologi budaya dan sejarah memberitahukan kita bahwa pada semua bangsa dan dalam segala zaman ditemukan keinsafan tentang baik dan buruk, tentang yang harus dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan.
Akan tetapi, lanjut Bertens, segera perlu ditambah bahwa tidak semua bangsa dan tidak semua zaman mempunyai pengertian yang sama tentang baik dan buruk. Ada bangsa atau kelompok sosial yang mengenal “tabu”, sesuatu yang dilarang keras (misalnya, membunuh binatang tertentu), sedangkan pada bangsa atau kelompok sosial lainnya perbuatan-perbuatan yang sama tidak terkena larangan apa pun. Dan sebaliknya, ada hal-hal yang di zaman dulu sering dipraktekkan dan dianggap biasa saja, tapi akan ditolak sebagai tidak etis oleh hampir semua bangsa beradab sekarang ini. Sebagai contoh dapat disebut: kolonialisme, perbudakan, dan diskriminasi terhadap wanita. Jadi, semua bangsa mempunyai pengalaman tentang baik dan buruk, tapi tidak selalu ada pendapat yang sama tentang apa yang harus dianggap baik dan buruk.
Sebagai ilmu dan filsafat, etika menghendaki ukuran yang umum, tidak berlaku untuk sebagian dari manusia, tetapi untuk semua manusia. Apa yang ditemukan oleh etika mungkin memang menjadi pedoman bagi seseorang, namun tujuan pertama dan utama dari etika bukanlah untuk memberi pedoman, melainkan untuk tahu. Atau, seperti ungkapan Poedjawijatna (1990:7), “etika mencari dengan kemungkinan untuk keliru, dan kalau keliru, akan dicari lagi sampai terdapat kebenaran.”
Pokok permasalahan yang dikaji filsafat mencakup tiga segi, yakni apa yang disebut benar dan apa yang disebut salah (logika), mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap buruk (etika), serta apa yang termasuk indah dan apa yang termasuk jelek (estetika). Ketiga cabang utama filsafat ini kemudian bertambah lagi yakni, pertama, teori tentang ada: tentang hakikat keberadaan zat, tentang hakikat pikiran serta kaitan antara zat dan pikiran yang semuanya terangkum dalammetafisika; dan, kedua, politik: yakni kajian mengenai organisasi sosial/pemerintahan yang ideal (Suriasumantri, 1994:32).
Berkaitan dengan sifat yang “ada” maka cabang filsafat yang pertama adalah filsafat yang menjadikan yang “ada” secara umum sebagai objek penyelidikannya (Mulkhan, 1994:36). Cabang filsafat selanjutnya adalah filsafat yang menyelidiki yang “ada” secara khusus, dalam arti kekhususan sesuatu secara umum.
Begitulah seterusnya; sifat-sifat khusus yang beragam dari yang “ada” melahirkan berbagai cabang khusus dari filsafat. Karenanya, cabang-cabang filsafat dapat dipahami dari kekhususan objeknya yang tersusun secara hierarkhis dan secara fungsional. Secara hierarkhis, karena sifat-sifat khusus dari sesuatu yang “ada” tersusun sebagai suatu kesatuan sehingga membentuk yang “ada” itu sendiri. Selanjutnya, kekhususan yang “ada” secara fungsional karena kekhususan sesuatu dapat dilihat dari sudut fungsi dari sifat-sifat khusus yang “ada” tersebut. Secara keseluruhan bagi struktur maupun fungsi merupakan kesatuan dari apa yang disebut “ada” tersebut.
Berdasarkan pandangan teoretis di atas akan dapat dipahami mengenai lahirnya cabang-cabang filsafat serta aliran-aliran pandangan di dalamnya. Cabang-cabang serta aliran filsafat yang timbul tidak mengurangi arti yang “ada” sebagai yang “ada” sebagaimana dirinya sendiri.
Atas dasar kerangka hierarkhis dan fungsional kekhususan objek filsafat di atas, dapat dikemukakan berbagai cabang dan aliran dalam filsafat. Kemudian, dapatlah dipahami bahwa cabang-cabang serta aliran filsafat akan berkembang sesuai dengan perkembangan pemikiran dan kemampuan akal atau pikir manusia itu sendiri.
Misalnya, dalam buku Filsafat Ilmu Abas Hamami (1996:155-156) membagi filsafat ke dalam dua kelompok bahasan, yaitu filsafat teoretis dan filsafat praktis. Kelompok pertama mempertanyakan segala sesuatu yang ada, sedangkan kelompok kedua membahas bagaimana manusia bersikap terhadap apa yang ada tersebut. Jadi, filsafat teoretis mempertanyakan dan berusaha mencari jawabannya tentang segala sesuatu, misalnya manusia, alam, hakikat realitas sebagai keseluruhan, tentang pengetahuan, tentang apa yang kita ketahui, tentang yang transenden, dan sebagainya. Dalam hal ini filsafat teoretis pun mempunyai maksud dan berkaitan dengan hal-hal yang bersifat praktis, karena pema­haman yang dicarinya untuk menggerakkan kehidupan.
Etika termasuk kelompok filsafat praktis dan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu etika umum dan etika khusus. Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika berkaitan erat dengan pelbagai masalah nilai karena etika pada pokoknya membicarakan masalah-masalah predikat nilai “susila” dan “tidak susila”, “baik” dan “buruk”. Kualitas-kualitas ini dinamakan kebajikan yang dilawankan dengan kejahatan yang berarti sifat-sifat yang menunjukkan bahwa orang yang memilikinya dikatakan orang yang tidak susila. Sesungguhnya etika lebih banyak bersangkutan dengan prinsip-prinsip dasar kebenaran dalam hubungannya dengan tingkah laku manusia.
Sementara itu, Jujun Suriasumantri, selain membagi kajian filsafat ke dalam lima pokok permasalahan yang menyangkut logika, etika, estetika, metafisika, dan politik, sebagaimana disinggung di muka, juga menyebutkan bahwa kelima cabang utama ini kemudian berkembang lagi menjadi cabang-cabang filsafat yang mempunyai bidang kajian yang lebih spesifik, di antaranya filsafat ilmu. Cabang-cabang filsafat tersebut antara lain mencakup:
(1) Epistemologi (Filsafat Pengetahuan);
(2) Etika (Filsafat Moral);
(3) Estetika (Filsafat Seni);
(4) Metafisika;
(5) Politik (Filsafat Pemerintahan);
(6) Filsafat Agama;
(7) Filsafat Ilmu;
(8) Filsafat Pendidikan;
(9) Filsafat Hukum;
(10) Filsafat Sejarah;
(11) Filsafat Matematika (Suriasumantri, 1994:32-33).
Dari cabang filsafat lain etika dibedakan oleh karena tidak mempersoalkan keadaan manusia, melainkan bagaimana ia harus ber­tindak. Etika adalah filsafat tentang praksis manusia. Etika adalah praksiologik. Semua cabang filsafat berbicara tentang “yang ada”, sedangkan etika membahas “yang harus dilakukan”. Itu sebabnya etika tidak jarang disebut juga “filsafat praktis” (Bertens, 1993:27). “Praktis”, karena menurut Bertens, cabang ini langsung berhubungan dengan perilaku manusia, dengan yang harus atau tidak boleh dilakukan manusia.
Sifat dasar etika adalah sifat kritis. Etika bertugas untuk mempersoalkan norma yang dianggap berlaku. Diselidikinya apakah dasar suatu norma itu dan apakah dasar itu membenarkan ketaatan yang dituntut oleh norma itu. Terhadap norma yang de facto berlaku, etika mengajukan pertanyaan tentang legitimasinya. (Apakah berlaku de jure pula). Norma yang tidak dapat mempertahankan diri dari pertanyaan kritis ini akan kehilangan haknya (Zubair, 1990:9-10).
Pemikiran kritis dari filsafat, menurut Abdul Munir Mulkhan, mempersoalkan segenap kenyataan yang salah satu di antaranya merupakan objek persoalan ilmu. Penelitian filsafat adalah pene­litian terhadap segala ilmu dan kenyataan serta proses mengetahui atau memperoleh ilmu. Bagian khusus yang menyelidiki mengenai hal-hal yang berkaitan dengan ilmu ini dikenal dengan epistemolo­gi atau filsafat ilmu atau bahkan ada yang menyebut dengan meto­dologi (Mulkhan, 1993:43).
Ilmu itu sendiri merupakan suatu pengetahuan yang mencoba menjelaskan rahasia alam agar gejala alamiah tersebut tidak lagi merupakan misteri (Saefuddin,dkk, 1987:15). Penjelasan ini akan memungkinkan kita untuk meramalkan sesuatu yang akan terjadi, dan dengan demikian memungkinkan kita untuk mengontrol gejala terse­but. Untuk itu, ilmu membatasi ruang jelajah kegiatannya pada daerah pengalaman manusia. Artinya, objek penelaahan keilmuan meliputi segenap gejala yang dapat ditangkap oleh pengalaman manusia lewat pancainderanya.
Dalam kaitan ini, filsafat bukan saja mempunyai pertautan dengan segenap ilmu akan tetapi bersangkut-paut dengan seluruh ilmu pengetahuan. Selain itu, filsafat merupakan sumber informasi lengkap mengenai tumbuh-kembangnya suatu pengetahuan yang bagaimanapun akan senantiasa bersumber pada filsafat. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa filsafat merupakan pendasar atau penelaah ilmu, pengalaman dan karya manusia, atau pemberi arah, serta pemberi kritik dan kontrol.
Karena itu, apabila kita sepakat dengan suatu konsep bahwa filsafat adalah “induk” segala ilmu pengetahuan, maka metode, objek, dan sistematika filsafat mempunyai arti fungsional bagi setiap upaya pengembangan ilmu-ilmu lain. Jadi, atas dasar konsep itu, setiap ilmu lain yang bersifat terapan, termasuk etika, merupakan pengembangan metode dan sistematika disiplin filsafat. Atau sebagai pengkhususan dari salah satu perhatian objek analisis filsafat.
Bahwa sedemikian besar implikasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu, barangkali tampak paling jelas, jika kita menginsafi arti perkembangan itu untuk filsafat dan etika. Perkembangan itu mempunyai arti khusus bagi filsafat, karena refleksi tentang apa yang dinyatakan ilmu pengetahuan dan teknologi mengenai hakikat manusia sangat penting untuk menjawab pertanyaan manusia tentang dirinya sendiri dan tentang arti keberadaannya di dunia. Perkembangan itu mempunyai arti khusus pula untuk etika, karena seperti dikatakan A.G.M. van Melsen (1992:130), refleksi filosofis tidak pernah netral, tetapi men­gundang kita untuk mengambil suatu sikap hidup dan mewujudkan kehidupan kita sesuai dengan apa yang dinyatakan sebagai hakikat manusia
\
1.2       PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA
Nilai, norma, dan moral adalah konsep-konsep yang saling berkaitan. Dalam hubungannya dengan Pancasila maka ketiganya akan memberikan pemahaman yang saling melengkapi sebagai sistem etika. Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu nilai yang menjadi sumber dari segala penjabaran norma baik norma hukum, norma moral maupun norma kenegaran lainnya. Di samping itu, terkandung juga pemikiran-pemikiran yang bersifat kritis, mendasar, rasional, sistematis dan komprehensif. Oleh karena itu, suatu pemikiran filsafat adalah suatu nilai-nilai yang bersifat mendasar yang memberikan landasan bagi manusia dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai tersebut dijabarkan dalam kehidupan yang bersifat praksis atau kehidupan nyata dalam masyarakat, bangsa dan negara maka diwujudkan dalam norma-norma yang kemudian menjadi pedoman. Norma-norma itu meliputi.
1.       Norma Moral
Yang berkaitan dengan tingkah laku manusia yang dapat diukur dari sudut baik maupun buruk, sopan atau tidak sopan, susila atau tidak susila.
2.       Norma Hukum
Suatu sistem peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam suatu tempat dan waktu tertentu dalam pengertian ini peraturan hukum. Dalam pengertian itulah Pancasila berkedudukan sebagai sumber dari segala sumber hukum. Dengan demikian, Pancasila pada hakikatnya bukan merupakan suatu pedoman yang langsung bersifat normatif ataupun praksis melainkan merupakan suatu sistem nilai-nilai etika yang merupakan sumber norma.
1.3       PENGERTIAN ETIKA
E$tika adalah kelompok filsafat praktis (filsafat yang membahas bagaimana manusia bersikap terhadap apa yang ada) dan dibagi menjadi dua kelompok. Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran tertentu atau bagaimana kita bersikap dan bertanggung jawab dengan berbagai ajaran moral. Kedua kelompok etika itu adalah sebagai berikut :
1.       Etika Umum, mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia.
2.       Etika Khusus, membahas prinsip-prinsip tersebut di atas dalam hubungannya dengan berbagai aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu (etika individual) maupun mahluk sosial (etika sosial).
1.4       PENGERTIAN NILAI, NORMA DAN MORAL
Pengertian Nilai (value) adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok. Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah sifat dan kualitas yang melekat pada suatu obyeknya. Dengan demikian, maka nilai itu adalah suatu kenyataan yang tersembunyi dibalik kenyataan-kenyataan lainnya. Menilai berarti menimbang, suatu kegiatan manusia untuk menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain kemudian untuk selanjutnya diambil keputusan. Keputusan itu adalah suatu nilai yang dapat menyatakan berguna atau tidak berguna, benar atau tidak benar, baik atau tidak baik, dan seterusnya. Penilaian itu pastilah berhubungan dengan unsur indrawi manusia sebagai subjek penilai, yaitu unsur jasmani, rohani, akal, rasa, karsa dan kepercayaan. Dengan demikian, nilai adalah sesuatu yang berharga, berguna, memperkaya bathin dan menyadarkan manusia akan harkat dan martabatnya. Nilai bersumber pada budi yang berfungsi mendorong dan mengarahkan (motivator) sikap dan perilaku manusia. Nilai sebagai suatu sistem merupakan salah satu wujud kebudayaan di samping sistem sosial dan karya. Oleh karena itu, Alport mengidentifikasikan nilai-nilai yang terdapat dalam kehidupan masyarakat pada enam macam, yaitu : nilai teori, nilai ekonomi, nilai estetika, nilai sosial, nilai politik dan nilai religi.
Hierarkhi Nilai sangat tergantung pada titik tolak dan sudut pandang individu – masyarakat terhadap sesuatu obyek. Misalnya kalangan materialis memandang bahwa nilai tertinggi adalah nilai meterial. Max Scheler menyatakan bahwa nilai-nilai yang ada tidak sama tingginya dan luhurnya. Menurutnya nilai – nilai dapat dikelompokan dalam empat tingkatan yaitu :
1.       nilai kenikmatan adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan indra yang memunculkan rasa senang, menderita atau tidak enak,
2.       nilai kehidupan yaitu nilai-nilai penting bagi kehidupan yakni : jasmani, kesehatan serta kesejahteraan umum,
3.       nilai kejiwaan adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan kebenaran, keindahan dan pengetahuan murni,
4.       nilai kerohanian yaitu tingkatan ini terdapatlah modalitas nilai dari yang suci.
Sementara itu, Notonagoro membedakan menjadi tiga, yaitu :
1.       nilai material yaitu segala sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia,
2.       nilai vital yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk mengadakan suatu aktivitas atau kegiatan,
3.       nilai kerokhanian yaitu segala sesuatu yang bersifat rokhani manusia yang dibedakan dalam empat tingkatan sebagai berikut :
4.       nilai kebenaran yaitu nilai yang bersumber pada rasio, budi, akal atau cipta manusia.
5.       nilai keindahan/estetis yaitu nilai yang bersumber pada perasaan manusia
6.       nilai kebaikan atau nilai moral yaitu nilai yang bersumber pada unsur kehendak manusia
7.       nilai religius yaitu nilai kerokhanian tertinggi dan bersifat mutlak Dalam pelaksanaanya, nilai-nilai dijabarkan dalam wujud norma, ukuran dan kriteria sehingga merupakan suatu keharusan anjuran atau larangan, tidak dikehendaki atau tercela. Oleh karena itu, nilai berperan sebagai pedoman yang menentukan kehidupan setiap manusia. Nilai manusia berada dalam hati nurani, kata hati dan pikiran sebagai suatu keyakinan dan kepercayaan yang bersumber pada berbagai sistem nilai.
Pengertian Moral berasal dari kata mos (mores) yang sinonim dengan kesusilaan, tabiat atau kelakuan. Moral adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang menyangkut tingkah laku dan perbuatan manusia. Seorang pribadi yang taat kepada aturan-aturan, kaidah-kaidah dan norma yang berlaku dalam masyarakatnya, dianggap sesuai dan bertindak benar secara moral. Jika sebaliknya yang terjadi maka pribadi itu dianggap tidak bermoral. Moral dalam perwujudannya dapat berupa peraturan dan atau prinsipprinsip yang benar, baik terpuji dan mulia. Moral dapat berupa kesetiaan, kepatuhan terhadap nilai dan norma yang mengikat kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
Pengertian Norma Kesadaran manusia yang membutuhkan hubungan yang ideal akan menumbuhkan kepatuhan terhadap suatu peraturan atau norma. Hubungan ideal yang seimbang, serasi dan selaras itu tercermin secara vertikal (Tuhan), horizontal (masyarakat) dan alamiah (alam sekitarnya) Norma adalah perwujudan martabat manusia sebagai mahluk budaya, sosial, moral dan religi. Norma merupakan suatu kesadaran dan sikap luhur yang dikehendaki oleh tata nilai untuk dipatuhi. Oleh karena itu, norma dalam perwujudannya dapat berupa norma agama, norma filsafat, norma kesusilaan, norma hukum dan norma sosial. Norma memiliki kekuatan untuk dipatuhi karena adanya sanksi.
Nilai Dasar Sekalipun nilai bersifat abstrak yang tidak dapat diamati melalui panca indra manusia, tetapi dalam kenyataannya nilai berhubungan dengan tingkah laku atau berbagai aspek kehidupan manusia dalam prakteknya. Setiap nilai memiliki nilai dasar yaitu berupa hakikat, esensi, intisari atau makna yang dalam dari nilai-nilai tersebut. Nilai dasar itu bersifat universal karena menyangkut kenyataan obyektif dari segala sesuatu. Contohnya : hakikat Tuhan, manusia, atau mahluk lainnya. Apabila nilai dasar itu berkaitan dengan hakikat Tuhan maka nilai dasar itu bersifat mutlak karena Tuhan adalah kausa prima (penyebab pertama). Segala sesuatu yang diciptakan berasal dari kehendak Tuhan. Bila nilai dasar itu berkaitan dengan hakikat manusia maka nilai-nilai itu harus bersumber pada hakikat kemanusiaan yang dijabarkan dalam norma hukum yang diistilahkan dengan hak dasar (hak asasi manusia). Apabila nilai dasar itu berdasarkan kepada hakikat suatu benda (kuantitas, aksi, ruang dan waktu) maka nilai dasar itu dapat juga disebut sebagai norma yang direalisasikan dalam kehidupan yang praksis, namun nilai yang bersumber dari kebendaan tidak boleh bertentangan dengan nilai dasar yang merupakan sumber penjabaran norma itu. Nilai dasar yang menjadi sumber etika bagi bangsa Indonesia adalah nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Nilai instrumental adalah nilai yang menjadi pedoman pelaksanaan dari
nilai dasar. Nilai dasar belum dapat bermakna sepenuhnya apabila belum memiliki formulasi serta parameter atau ukuran yang jelas dan konkrit. Apabila nilai instrumental itu berkaitan dengan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari maka nilai itu akan menjadi norma moral. Namun jika nilai instrumental itu berkaitan dengan suatu organisasi atau negara, maka nilai instrumental itu merupakan suatu arahan, kebijakan, atau strategi yang bersumber pada nilai dasar sehingga dapat juga dikatakan bahwa nilai instrumental itu merupakan suatu eksplisitasi dari nilai dasar. Dalam kehidupan ketatanegaraan Republik Indonesia, nilai-nilai instrumental dapat ditemukan dalam pasal-pasal undang-undang dasar yang merupakan penjabaran Pancasila.
Nilai praksis merupakan penjabaran lebih lanjut dari nilai instrumental dalam kehidupan yang lebih nyata dengan demikian nilai praksis merupakan pelaksanaan secara nyata dari nilai-nilai dasar dan nilai-nilai instrumental. Oleh karena itu, nilai praksis dijiwai kedua nilai tersebut diatas dan tidak bertentangan dengannya. Undang-undang organik adalah wujud dari nilai praksis, dengan kata lain, semua perundang-undangan yang berada di bawah UUD sampai kepada peraturan pelaksana yang dibuat oleh pemerintah.
Keterkaitan nilai, norma dan moral merupakan suatu kenyataan yang seharusnya tetap terpelihara di setiap waktu pada hidup dan kehidupan manusia. Keterkaitan itu mutlak digarisbawahi bila seorang individu, masyarakat, bangsa dan negara menghendaki fondasi yang kuat tumbuh dan berkembang  Sebagaimana tersebut di atas maka nilai akan berguna menuntun sikap dan tingkah laku manusia bila dikongkritkan dan diformulakan menjadi lebih obyektif sehingga memudahkan manusia untuk menjabarkannya dalam aktivitas sehari hari. Dalam kaitannya dengan moral maka aktivitas turunan dari nilai dan norma akan memperoleh integritas dan martabat manusia. Derajat kepribadian itu amat ditentukan oleh moralitas yang mengawalnya. Sementara itu, hubungan antara moral dan etika kadang-kadang atau seringkali disejajarkan arti dan maknanya. Namun demikian, etika dalam pengertiannya tidak berwenang menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan seseorang. Wewenang itu dipandang berada di tangan pihak yang memberikan ajaran moral.




e) Peranan Etika Dalam Dunia Modern
Peranan Etika dalam Dunia Modern
1) Adanya pluralisme moral Adalah suatu kenyataan sekarang ini bahwa kita hidup dalam zaman yang semakin pluralistik, tidak terkecuali dalam hal moralitas.
2) Timbulnya masalah-masalah etis baru. Ciri lain yang menandai zaman kita adalah timbul masalah-masalh etis baru, terutama yang disebabkan perkembangan pesat dalam ilmu pengetahuan dan tekhnologi khusunya ilmu-ilmu biomedis;
3) Munculnya kepedulian etis yang semakin universal. Ciri nya adalah adanya suatu kepedulian etis yang semakin universal;
4) Hantaman gelombang modernisasi Kita sekarang ini hidup dalam masa transformasi masyarakat yang tanpa tanding.
5) Tawaran berbagai ideologi Proses perubahan social budaya dan moral yang terus terjadi, tidak jarang telah nmembawa kebingungan bagi banyak orang atau kelompok orang;
6) Tawaran bagi agamawan Etika juga diperlukan oleh para agamawan untuk tidak menutup diri terhadap persoalan praktis kehidupan umat manusia.

f) Moral dan Agama
          Hubungan Agama Dan Moral Berbicara tentang moral asosiasinya akan tertuju pada penentuan baik dan buruk sesuatu. Dengan rasio atau tradisi dapat juga dengan lainnya seseorang dapat menentukan baik atau buruk. Aliran rasionalisme berpendapat bahwa rasiolah yang menjadi sumber moral bukanlah yang lain. Yang menentukan baik dan buruknya sesuatu adalah akal dan pikiran manusia semata. Aliran hedonisme berpendapat bahwa sumber kebaikan dan keburukan adalah kebahagiaan.

g) Moral dan Hukum
              Moral berhubungan dengan manusia sebagai individu sedangkan hukum(kebiasaan, sopan santun) berhubungan dengan manusia sebagai makluk sosial. Antara hukum dan moral terdapat perbedaan dalam hal tujuan, isi, asal cara menjamin pelaksanaannya dan daya kerjanya.
1) Perbedaan antara moral dan hukum dalam hal tujuan:
a. Tujuan moral adalah menyempurnaan manusia sebagai individu.
b. Tujuan hukum adalah ketertiban masyarakat
2) Perbedaan antara moral dan hukum dalam han isi :
a. Moral yang bertujuan penyempuraan manusia berisi
b. Hukum memberi peraturan-peraturan bagi perilaku lahiriah.

Sumber : http://apriliaanidar.blogspot.co.id/2014/09/konsep-dasar-etika-umum.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar